Dalam pergulatan meraih mimpi, boleh
jadi hanya akan ada dua akhirnya. Tercapai atau terjerebab. Impian juga seperti
mata pisau yang bisa diasah dengan dua cara berbeda. Dengan cara-cara halal dan
semangat ketekunan, atau dengan cara obsesif dan menghalalkan segala tindakan. Tinggal
pilih yang mana.

Tapi sepakat dengan Hanung
Bramantyo, mimpi atau impian harus terus terpelihara. Karena mimpi adalah
pelecut, energi, suplemen, atau sejenis obat kuat lainnya yang dapat mendorong manusia
hidup untuk mencapai mimpi itu sendiri.

Karenanya, ini disadari betul oleh Hanung dan merasa perlu–kalau
tidak dikatakan berhutang–membuat film “Menebus Impian” yang tema besarnya memotret
perjuangan manusia meraih mimpi. Dalam konteks ini adalah pergulatan para pelaku
bisnis penjualan berjejaring (Multi Level Marketing) meraih tujuan. Cukup sepadan
memang. Pasalnya orang-orang pelaku bisnis penjualan berjejaring identik dengan
semangat baja, pantang menyerah dan tampak
selalu optimis. Konteks lebih jauh, Hanung ingin memotivasi orang lewat film
ini.

Pertanyaannya adalah; berhasilkah?
Jelas di film “Menebus Impian” Hanung sedang menjual mimpi. Tentu bukan menjual
mimpi yang artinya secara gramatikal sering kita tonton lewat layar kaca. Tapi menggambarkan dengan detil
bagaimana mimpi mula-mula menusuk benak Nur Kemala (diperankan Acha Septriasa),
menjadi harapan, berubah menjadi energi, dan akhirnya tercapai.

Proses tersebut sukses dibangun Hanung. Mulai dari realitas
buram kaum pinggiran, konflik ibu dan anak dari keluarga tak berkecukupan, sampai
mimpi sang anak yang terpaksa
berbenturan dengan keadaan. Semuanya diramu menjadi racikan yang cukup enak
diikuti. Apalagi hadir pula sosok ‘lelaki penyelamat‘ yang kehadirannya lazim
dalam film Indonesia
kebanyakan. Bertipikal tampan, kaya, dan
baik hati. Untungnya Hanung jeli menempatkan sosok si kaya pada
porsi sesuai. Tak lebih tak kurang. Sehingga tak merusak cerita.

Plot film ini menceritakan, Nur
Kemala adalah mahasiswi yang menjalani kehidupan yang keras bersama ibunya, Sekar
(diperankan Ayu Dyah Pasha). Tanpa kehadiran seorang suami, Sekar terpaksa bekerja
keras untuk membesarkan Nur sendirian. Bahkan dirinya rela menjadi tukang cuci untuk
membiayai kuliah Nur.

Tapi dasar Nur anak yang keras
kepala dan menyimpan sejuta mimpi untuk memperbaiki hidup keluarganya. Dia malah
ingin segera bekerja dan membantu menafkahi keluarga. Sementara Ibunya ingin
Nur lebih berkonsentrasi kepada kuliahnya.

Pertemuan dengan Dian (Fedi
Nuril) menjadi titik penting dalam hidup Nur. Seperti namanya yang berarti obor
atau pelita, Dian seolah memberi penerang kepada Nur yang tengah kehilangan
cahaya. Bekali-kali Nur tertusuk mimpi. Bekali-kali pula Dian menyemangatinya
agar bangkit kembali.

Sampai pada akhirnya Nur merasa mimpi
itu menusuk dirinya demikian dalam dan menyakitkan sehingga dia merasa tak
sanggup lagi meneruskan perjalanan ke pintu sukses.

Nur akhirnya memang harus
berdamai dengan situasi. Dia harus kembali ke jalan permulaan untuk menapaki jalan yang baru yang masih terkunci. Dan kunci
itu ada di telapak kaki ibunya. Biar setinggi langit seorang anak punya mimpi, restu
ibu adalah pembuka jalannya.

Pesan ini begitu tersirat. Tipis sekali.
Bahkan barangkali penikmat film baru
menyadari setelah menesulur tema konflik ibu-anak ini secara menyeluruh di
akhir cerita.

Kembali ke pertanyaan awal,
berhasilkah Hanung memotivasi orang lewat film ini? Tentu saja jawabannya
berbeda-beda tergantung bagaimana membaca nafas cerita yang diusung Hanung. Sebagai
cerita yang patut diteladani ya. Tapi sebagai cerita yang inspiratif, terlihat masih kurang.

Ini bisa jadi karena ada dua
pergulatan dalam batin Hanung. Cerita yang bersimpul pada konflik antara Ibu
dan anak atau mengangkat kisah keberhasilan seorang penjual bisnis berjejaring?

Boleh saja ini diurai diatas meja
bedah yang berbeda. Namun tampak sekali keduanya tak bisa dipisahkan dalam pledoi
Hanung : ingin memotivasi orang. Hanung terlihat kurang banyak menggali
lika-liku bisnis penjualan berjejaring. Padahal diakui sendiri oleh Hanung,
bahwa bisnis ini juga tak lepas dari intrik, saling makan, serta babak belurnya
mereka yang gagal eksis.

Atau bisa jadi bisnis penjualan berjejaring
dipakai sebagai latar cerita yang membungkus perjuangan ibu dan anak dalam
meraih impian mereka (baca: kehidupan yang lebih baik). Jika konteksnya
ditempatkan demikian. Maka selesai. Habis perkara.

Sebagaimana disebutkan Hanung dalam
jumpa pers, “Seperti kita nonton televisi di rumah memegang remote control, terserah penonton, kalau suka silakan tonton,
kalau tidak suka tinggal pencet saluran yang lain,”.  Beres. (foto: dapurfilm)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34771

Untuk

melihat artikel Film lainnya, Klik

disini

Klik disini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :