Suatu sore di bulan Mei 1998, Dedy, seorang guru bahasa Inggris di sebuah SMP swasta, keluar dari sekolahnya. Bergegas mengendarai motor tua, menjemput anak perempuannya.

“Saya tergesa sekali, karena Ellen pasti sudah lebih dari 30 menit
menunggu saya,” ujar Dedy. Dia seorang guru keturunan Tionghoa. Anaknya
yang masih SD kelas 6 bersekolah di sebuah swasta berjarak 3 kilo dari
sekolah Dedy. “Saya tak terlalu hirau dengan situasi kota saat itu. Yang
saya lakukan adalah rutinitas sebagai orangtua,” lanjutnya.

Dia juga tidak memperhatikan jika jalan menuju sekolah anaknya agak
lengang dibanding biasanya. Banyak masyarakat menghindari jalan itu.
Tapi Dedy tak sempat mengikuti perkembangan kota Jakarta beberapa hari
ini.

Benar saja, dari kejauhan dia sudah melihat Ellen menanti di depan
sekolah yang sudah sepi. Saat jarak antara ia dan anaknya masih sekitar 3
meter, ia dicegat oleh sekawanan pemuda bertampang preman yang
berteriak kepadanya, “Mau ke mana kau, Cina?!”

“Saya kaget. Tak tahu mereka datang dari arah mana. Tiba-tiba
sekelompok preman itu mencegat saya. Mana sekolah sudah sepi sekali,”
katanya.

Ia dipaksa turun dari sepeda motor. Pemuda-pemuda itu merampas tas
dan dompetnya, bahkan saku celana pun digeledah. Ia ketakutan dan cemas,
karena beberapa pemuda juga menghampiri anaknya dan berusaha merenggut
tas sekolahnya.

“Jantung saya seperti mau copot melihat mereka menghampiri anak
perempuan saya. Saya takut dia diperkosa. Saya langsung ingat berita di
televisi semalam. Hanya saja karena lokasi rumah dan sekolah saya
aman-aman saja, saya tak hirau dengan perkembangan beberapa hari ini,”
kata Dedy. Ia bertambah panik ketika anaknya berteriak minta tolong.

Lepasin… jangan tarik… ini isinya cuma buku pelajaran…,” Ellen berteriak. “Papa… papa … tolong aku…… bukuku,” teriak anaknya.

Dedy sangat ketakutan dan tanpa sadar, sebaris kalimat meluncur
spontan dari bibirnya: “’Masya Allah, Astagfirullahaladzim’. Entah
kenapa saya mengucapkan kaa-kata ini. Saya bukan muslim, tapi kalimat
itu meluncur begitu saja karena paniknya”, ujarnya.

Seolah kata-kata itu punya kekuatan gaib, pemuda-pemuda tersebut
terpaku sesaat mendengarnya. Sejenak, tak ada yang bergerak. Lantas
seorang lelaki paruh baya yang kebetulan ada di tempat kejadian
berteriak, “Jangan apa-apakan mereka! Mereka ini Cina lain dari yang
lain!”

Para pemuda itu akhirnya meninggalkan mereka. Dedy dan dan anaknya
kemudian dibawa oleh si lelaki paruh baya ke rumahnya dan sementara
berlindung di sana sampai situasi aman. Awalnya dia khawatir mereka akan
diapa-apakan “Awalnya saya ketakutan, karena kesan awal bapak itu
berada di pihak preman-preman tadi. Dia juga tak tahu, bahwa saya bukan
muslim. Saya mengucapkan tiga kata itu, sepenuhnya karena panik,” ujar
Dedy. Namun ternyata bapak itu memang benar-benar bermaksud baik hendak
melindungi mereka.

Kini, 13 tahun berlalu. Dedy belum melupakan peristiwa itu dan selalu
ingat bila melalui bekas sekolah Ellen. Saat ini dia sudah menjelang
pensiun, sedangkan Ellen sudah menyelesaikan kuliahnya dan bekerja di
sebuah perusahaan swasta.(Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36749

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :