Suatu ketika pada tahun 1963 di sebuah kios barang loak Jalan
Surabaya, Jakarta, Indonesianis asal Amerika Serikat Ben Anderson, menemukan
sebuah buku yang menarik perhatiannya. Buku
itu berjudul “Indonesia Dalem Api dan Bara” terbitan
yang ditulis oleh seseorang bernama Kwee Thiam Tjing. Dalam kata pengantar itu,
Kwee Thiam Tjing mengaku disuruh oleh si
pengarang untuk menerbitkan buku ini supaya menjadi peringatan bagi generasi mendatang.
Sementara perihal si pengarang, tak ada keterangan sama sekali.
Tionghoa, buku ini mengurai sejarah dinamika sosial politik masyarakat Malang Jawa
Timur pada masa revolusi dengan perspektif yang sangat berbeda. Dalam buku ini,
banyak sekali kritik sosial yang disampaikan secara nakal namun mengena.
Berdoeri”. Tapi usahanya kala itu bisa dibilang sia-sia karena tak ada satu pun
titik terang tentang sosok “Tjamboek Berdoeri”. Selama puluhan tahun Ben
mengidap rasa penasaran tak terhingga. Bahkan sampai ia dilarang masuk ke
lebih 20 tahun oleh pemerintahan Soeharto akibat tulisannya tentang G30S, rasa penasaran
itu tak pernah surut.
kembali ke
Ben ingin segera menuntaskan rasa penasarannya. Bersama sejumlah peneliti ia
membentuk sebuah tim kecil yang tugasnya mengungkap jati diri si “Tjamboek
Berdoeri”.
tahun 2001 tim peneliti berhasil mewawancarai seorang sahabat Kwee Thiam Tjing di Malang. Menurut keterangannya,
Kwee Thiam Tjing yang menulis kata pengantar buku “Indonesia Dalem Api dan Bara”
itu, adalah si “Tjambeok Berdoeri” itu sendiri.
keberadaan Kwee Thiam Tjing yang tidak lain adalah “Tjambeok Berdoeri”. Sayang,
menurut informasi dari seseorang yang mengenal keluarga Kwee Thiam Tjing, yang
bersangkutan sudah meninggal dunia tahun 1974.
Berdoeri?
Kwee Thiam Tjing atau “Tjamboek Berdoeri” lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 9 Februari 1900. Ia menempuh
pendidikannya di ELS (
menjadi seorang jurnalis. Daya pikirnya yang kritis membawanya menjadi seorang
jurnalis dengan
tulisan yang nakal namun bernas. Banyak hal yang ditulisnya, dari mulai hal kecil
misalnya soal kebiasaaan-kebiasaan warga keturunan Tionghoa, hingga kritik-kritik
yang nakal namun bernas.
Ia tak segan-segan mengkritik sebagian kaumnya sendiri, keturunan Tionghoa, yang dianggapnya oportunis. Atau kecaman
kerasnya kepada pemerintah Hindia Belanda hingga membuatnya dijebloskan ke
Penjara Kali Sosok Surabaya dan Cipinang,
pada tahun 1926.
Kwee Thiam Tjing pernah memiliki
kabar sendiri bernama “Pembrita Djember” (1933). Pada koran yang terbit 2 halaman setiap sepuluh
hari sekali itu itu, Kwee Thiam Tjing bekerja sendirian sebagai wartawan sekaligus
pemimpin redaksi dengan dibantu seorang kawannya yang bertugas sebagai administrasi.
Koran “Pembrita Djember” dicetak oleh
percetakan Handelsdrukkerij “The Eureka”, Embong Tengah Jember, yang merupakan
percetakan milik Kwee Thiam Tjing pribadi.
Selain “Pembrita Djember”, sebelumnya Kwee Thiam Tjing
pernah tercatat sebagai wartawan wartawan koran “Lay Po” (1920), “Pewarta
Soerabaia” (1921), dan “Sin Jit Po” (1929).
Pada dekade 40-an semasa revolusi kemerdekaan, gerakan
pemuda-pemuda revolusioner belum terkoordinasi dengan baik sehingga terjadi kekacauan
di berbagai daerah, termasuk di
waktu tersebut ia melaporkan kejadian-kejadian itu dengan cermat dan runtut,
termasuk peristiwa Mergoseno yang mengakibatkan puluhan warga keturunan
Tionghoa tewas.
kertas merang, berjudul “Indonesia Dalem Api dan Bara”. Buku itu dimaksudkan
sebagai kenangan bagi anak cucunya, agar kejadian serupa tidak terulang. Buku
ini kemudian diterbitkan kembali tahun 2004 dengan kata pengantar dari Ben
Anderson, orang yang amat sangat penasaran dengan Kwee Thiam Tjing. Tak heran, Ben
sampai menulis 78 halaman hanya untuk kata pengantarnya saja.
Setelah terbitnya buku kenangan itu, Kwee Thiam Tjing pindah ke
dari aktifitas jurnalistik. Tak diketahui pasti alasan Kwee Thiam Tjing pindah
ke
di
keluarganya.
Tahun 1971 atau sekira 24 tahun kemudian, ia kembali muncul dengan tulisan bersambung
berupa obituari atau memoar di harian “Indonesia raya” yang dikelola Mochtar
Lubis. Lama tak muncul, tak membuat tulisan
Kwee Thiam Tjing kehilangan greget. Sedikitnya ia menulis sebanyak 34 judul dalam
91 edisi penerbitan selama kurun waktu 1971-1973.
Tulisan-tulisan Kwee Thiam Tjing di harian “Indonesia Raya” kemudian
diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Menjadi Tjambeok Berdoeri: Memoar Kwee Thiam
Tjing” tahun 2010.
Kwee Thiam Tjing meninggal dunia pada akhir Mei 1974, ia dimakamkan di
pemakaman Tanah Abang I (sekarang Taman Prasasti) di Jakarta. Pemakaman ini
pernah digusur, akibatnya makam Kwee digali kembali dan tulang-belulangnya
dikremasi dan abunya ditabur ke Laut Jawa.
Berikut kutipan kata pengantar Kwee Thiam Tjing dalam buku “Indonesia Dalem
Api dan Bara” :
“Oleh penoelis dari ini boekeoe saja diminta boeat
perkenalken
dalem api dan bara pada Pembatja.
boekan hendak dibanggaken sebagi boekoe-hikajat,poen tida disajiken seperti
boekoe dari mana pembatja bisa tambahken pengetahoeanja tentang so’al so’al
jang mempunjai sangkoet paoet dengen timboelnja api paperangan jang perna bakar
seloeroeh benoea
Tida,itoe semoea tida dimaksoedken oleh penoelis,hanja ia toelis ini
boekoe sekedar sebagi tjatetan-tjatetan peringetan bagi anak tjoejoenja,soepaia
marika itoe poen mengetahoein apa jang perna dialamken oleh orang orang jang
hidoep di zaman pantjaroba.”
Kwee Thiam Tjing
(berbagai sumber/foto:blog kenangan
journalist tjamboek berdoeri)
Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36089
Untuk
melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini
di sini
untuk Forum Tanya Jawab
Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini
______________________________________________________
Supported
by :