Tidak terasa tragedi badai Katrina sudah melewati tiga
tahun, dan tragedi ini merupakan bencana badai terbesar di Amerika Serikat.
Badai yang terjadi 29 Augustus 2005 itu menghantam kota-kota di negara bagian
selatan AS, terutama Louisiana.
Diperkirakan kerugian USD 81 Milyar, dengan jumlah korban jiwa mencapai 1836
orang. Korban terbanyak berasal dari Lousiana (1577 orang) dan kedua berasal dari
Mississipi (238 orang).

Film dokumenter “Trouble The Water” yang diproduseri oleh
bintang Hollywood Danny Glover merupakan film tentang badai Katrina yang dahsyat
dan luar biasa. Yang membuat film ini berbeda adalah hadirnya sang bintang dan
pengarah kamera. Kimberly Rivers Roberts, seorang wanita tegar asal New Orleans yang tinggal
di daerah kaum kelas bawah kulit hitam atau istilahnya _ghetto_ inilah yang
mendokumentasi kehidupannya dan lingkungan sekitar selama badai Katrina
terjadi. Seminggu sebelum badai Katrina datang, Kimberly membeli sebuah
camcorder seharga $20 saja dari seorang penjual di jalanan. Awalnya wanita
berkulit hitam ini membeli camcorder tersebut hanya untuk meliput acara-acara
keluarganya saja. Tidak disangka bahwa kamera “kacangan” tersebut merupakan
alat dokumentasi berguna yang akhirnya membawa nama Kimberly ke layar lebar.

Liputan klip-klip atau video amatir arahan Kimberly penuh
dengan goyangan dan buram akibat rintik hujan, dan kadang bikin jelimet mata
dan pusing kepala. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gambaran bukti nyata badai
Katrina beserta korban-korban selamat maupun meninggal, dan juga adegan-adegan
tangisan, jeritan, kepasrahan, dan ketidak-berdayaan para masyarakat miskin New
Orleans yang terlantar akibat banjir sungguh mengalahkan keamatiran Kimberly
dalam mendokumentasi peristiwa tersebut.

Beberapa hari sebelum Katrina menghantam, Walikota New
Orleans dan pemerintah Amerika Serikat menghimbau kepada seluruh warga New
Orleans untuk meninggalkan kota dan mengungsi ke kota terdekat. Namun ternyata,
pemerintah tidak menyediakan transportasi apapun kepada masyarakat New Orleans yang tidak
mampu. Hanya mereka yang dari kelas atas dan menengah saja yang memiliki
kendaraan bisa mengungsi ke luar kota,
tetapi warga kelas bawah yang tidak mampu, terlantar. Kimberly dan sang suami
Scott merupakan salah satu pasangan yang terjebak di New Orleans selama badai terjadi dan
diabaikan oleh pemerintah. Kimberly tetap mendokumentasi selama badai dan hujan
berjalan, bahkan ketika bendungan hancur akibat hantaman Katrina yang akhirnya
menghasilkan banjir dan. Sungguh merinding melihat rumah-rumah tenggelam,
mobil-mobil hancur dan mayat mengambang. Yang paling merinding adalah adegan
panggilan minta tolong 911 oleh seorang warga yang bersama keluarganya dan
anak-anak terjebak dalam sebuah atap rumah, namun sang operator secara halus
menolak mentah-mentah dengan menjawab, “There are no rescue available, and the
police are not coming out until the weather clears.”. Dengan pasrah sang ibu
berkata, “I guess we’re going to die then.”

Kimberly dan Scott akhirnya berhasil “melarikan diri” dari
badai Katrina dan banjir atas bantuan tetangganya dengan menggunakan perahu dan
sansak tinju mengambang dari kota Mobile negara
bagian Alabama
yang mereka temukan. Dengan modal alat-alat tersebut mereka menolong para
tetangga satu-persatu. Selain itu, adegan kuat lainnya adalah dimana Kimberly
dan sang suami meminta tolong kepada tentara-tentara yang berada di gedung militer. Kimberly dan Scott secara baik-baik memohon kepada tentara ntuk menampung para keluarga yang terlantar, terutama
wanita dan anak-anak. Secara halus permohonan mereka ditolak dengan alasan
basis militer tidak boleh menampung siapapun bahkan korban-korban terlantar
untuk “melindungi” para tentara, walaupun sebenarnya di gedung tersebut penuh
dengan ratusan kamar kosong. Yang lebih mengenaskan, sebelumnya pernah ratusan
warga korban Katrina pergi mengunjungi gedung basis militer tersebut untuk
meminta pertolongan, namun mereka malah disambut dengan moncong senapan
M-16.  Tidak lama kemudian, para tentara gedung basis militer
tersebut diberi semacam penghargaan dan komendasi “keberanian” oleh pemerintah
Amerika Serikat karena berhasil “melindungi” properti pemerintah.

Bukan hanya menggambarkan terlantar dan pedihnya
masyarakat korban Katrina New Orleans saja, film ini juga mengkritik pemerintah Amerika Serikat dalam menanggulangi korban-korban kelas
bawah bencana alam Katrina. Bayangkan, pertolongan mulai datang dua minggu
setelah Katrina menghantam, selama menunggu, masyarakat (yang kebanyakan
kulit hitam dan kelas bawah) mengalami kelaparan, kehausan, kesedihan, dan
ketidak-berdayaan. Dan juga seolah-olah terbukti pada saat itu, bahwa
pemerintah Presiden Bush lebih mementingkan perang Irak daripada warganya sendiri yang
tertimpa musibah.   

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31916

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Photobucket