KabariNews – Pemilu memang selalu memberikan warna tersendiri di Indonesia. Dengan jumlah caleg yang ribuan dan semua bersaing ketat agar dapat terpilih, membuat para caleg ini harus kreatif dalam menjaring pemilih . Bagi yang tak punya modal kuat (baca:duit) mereka umumnya hanya berupaya menjaring pemilih dengan cara konvensional, yakni pasang spanduk dan menyebar brosur.
Tapi bagi yang bermodal kuat, tentu memiliki cara ‘canggih’ lain, bukan cuma memasang spanduk atau menyebar brosur. Biasanya mereka merekrut dan membentuk tim sukses dari warga yang menjadi daerah pemilihannya.

Tim sukses yang terdiri dari aneka profesi mulai dari tukang becak hingga intelektual diberi tugas oleh si caleg untuk menggolkan tujuan si caleg, yakni meraih suara sebanyak-banyaknya.

Sebelum bekerja, mereka diberi pembekalan oleh si caleg. Tentu bukan cuma pembekalan materi kampanye tapi juga ‘pembekalan’ dalam arti yang disukai banyak orang, yakni duit. Nah usai dibekali, tim sukses ini melakukan pendekatan berbagai cara kepada masyarakat. Lengkap dengan kalimat pesanan : “Pilih caleg yang ini ya..”

Dalam prakteknya, mereka bertanggung jawab kepada si caleg atas perolehan suara yang didapat di tempat mereka ditugaskan. Nah tak sedikit caleg yang meinginkan jalur cepat, yakni langsung melakukan penetrasi kepada masyarakat dengan cara membagi-bagikan sembako atau uang.

Money Politic?

Yudi Heryanto (24), warga Matraman, Jakarta Timur mengaku mendapat undangan audiensi dengan seorang caleg partai tertentu. Audiensi itu dilakukan di rumah salah seorang tetangganya yang memang menjadi pengurus partai tersebut. Yudi mengaku saat dirinya menerima undangan, orang yang mengantarkan undangan berkata bahwa kalau datang nanti ada uang rokoknya.

Begitu juga Imam Akhsan (19), pemuda pengangguran yang baru lulus STM ini mendapat undangan yang sama. Ia juga ditawari uang rokok jika mau menghadiri acara. Malamnya dia bersama Yudi datang ke acara itu. Disana sudah ada puluhan orang, termasuk si caleg yang tampak ramah menyambut para tamu.

Di acara tersebut, si caleg mengemukakan program-programnya jika ia terpilih menjadi anggota parlemen. Tak lupa pula dia mengumbar janji-janji muluk. “Janjinya bener-benar muluk Mas, saya sampai terlena ngedengernya he-he-he.” kata Imam sambil tertawa.

Sementara Yudi, mengatakan “Mengumbar janji sih biasa. Yah biar mereka dapat simpati kan, lagian orang kita emang senengnya dijanji-janjiin.” ujar Yudi.

Selain ada acara formal semacam Tanya Jawab dan Dengar Pendapat, layaknya rapat DPR, mereka juga disuguhi aneka makanan. Usai acara sebelum mereka meninggalkan tempat, mereka diabsen kembali, kali ini mereka diberikan sepotong kaus dan beberapa stiker bergambar caleg bersangkutan. Tim sukses caleg minta agar stiker ditempel di tempat-tempat strategis di sekitar rumah mereka.

Saat mengabsen itulah mereka diselipkan sebuah amplop putih. Isinya tentu bukan daun, tapi uang sebesar dua puluh lima ribu rupiah. Sudah kenyang, dapat kaus, dapat makan, dapat uang pula, siapa tak yang senang?

Imam bahkan berkata, “Kalau bisa sering-sering ngadain acara kayak gini, lumayan kan..he-he-he.” ujarnya terkekeh. Yudi juga berharap demikian, “Itung-itung cari uang rokok.” katanya.

Untung bagi Yudi dan Imam, sial bagi si caleg. Rupanya dua pria ini melek politik. Saat ditanya apakah akan memilih si caleg tersebut saat pemilu nanti. Yudi dan Imam dengan tegas menolak “Ah gila aja gue milih dia, orangnya dah tua, bicara ngalor ngidul gak karuan, dah gitu kebanyakan ngumbar janji lagi.” kata Yudi.

Imam menambahkan, “Ya iyalah kita enggak bakal pilih dia. Sekarang dia punya duit buat bagi-bagikan ke kita, Entar kalau kepilih dia tinggal cari duit buat modal balik.” ketus Imam.

Rupanya Imam dan Yudi hanya ingin memanfaatkan kesempatan ini. “Hari gini, ada yang bagi-bagi duit, siapa yang nolak coba. Ya maulah. Soal milih dia atau enggak. Entar dulu!” kata Imam tegas.

Yudi malah berkata “Jaman krisis gini kalau ada orang yang kasih duit masak ditolak, goblok namanya Mas. Terima aja duitnya, asal jangan pilih orangnya, Enggak salah kan?”

Alasan mereka memang sangat masuk akal, mereka tak peduli apakah si caleg itu dikategorikan melakukan money politic atau tidak. Yang penting mereka terima uang, tapi urusan memilih atau tidak adalah urusan lain.

Meski bagi Yudi dan Imam uang bukanlah segalanya, mereka bahkan tak munafik mau menerima pemberian uang dari si caleg, tapi kalau soal pilihan, mereka mengatakan itu adalah hak asasi, berapapun seseorang dibayar dengan uang, sesungguhnya itu tak akan cukup.

Jadi mikir, kalau saja semua orang seperti Yudi dan Imam, betapa banyak caleg yang dikibuli.

Sudah capek-capek keluar duit, ternyata yang dikasih duit malah enggak memilih dia.

“Gak apa-apa kan sekali-kali kita ngebohongin caleg.” kata Yudi terkekeh.