Menjadi Muslim di Amerika ternyata menyimpan segudang cerita dan pengalaman. Mulai darinpandangan hingga perlakuan yang berbeda. Salah satunya dialami oleh keluarga dari Gautama Indrajaya, yang akrab dipanggil Indra. Bapak empat anak ini menginjakan kaki di Amerika pada tahun 1992 bersama keluarganya.

Walaupun hijrah ke Amerika, sebagai muslim ia tetap rutin menjalankan ibadah. Namun karena umat Islam menjadi minoritas di Amerika, ia menemukan beberapa kesulitan, contohnya mencari mesjid. Saat itu sedikit sekali mesjid yang bisa ditemukan sehingga Indra cukup kesulitan apabila ingin beribadah. Selain itu masih sedikit warga Amerika yang menganut agama Islam. Ketika di Indonesia Islam menjadi mayoritas, maka di negara Paman Sam ini terbalik, mereka menjadi minoritas. Kehidupan mereka pun berubah.

Sehari-hari Indra bekerja di IPTN North America, sebuah perusahaan trading suku cadang pesawat dan engineering services berlokasi di Seattle. Sedangkan sang istri, Lis, bekerja di sebuah cafetaria di Universitas Washington, tempat kedua anaknya, Kiki dan Bima, kuliah. Menurut Indra, banyak perbedaan antara menjadi Islam di Indonesia dan di Amerika. Contohnya jam ibadah yang berbeda. Karena masalah geografis, waktu shalat di Amerika memiliki waktu
yang berbeda. Waktu shalat Maghrib yang di Indonesia jatuh pada sekitar pukul 6 sore, di Amerika Maghrib jatuh sekitar pukul delapan malam. Sedangkan untuk sholat Isya mendekati tengah malam. Belum lagi ketika musim panas, di Amerika biasanya ada daylight saving time sehingga jadwal sholat pun bergeser.

Perbedaan lainnya adalah ketika berpuasa. Pada musim panas, waktu Subuh hingga Maghrib ternyata berjarak sekitar 18 jam, yaitu dimulai pada pukul 3 pagi dan berakhir sekitar pukul 9 malam. Berbeda dengan di Indonesia yang berpuasa sekitar 13-14 jam, di Amerika durasi puasa lebih lama. Selain itu di Amerika lebih banyak godaan karena Islam adalah kaum minoritas di sana. Ketika puasa, melihat pemandangan orang sedang makan adalah hal yang biasa. Lis sempat khawatir apabila anak-anaknya kesulitan menjalankan puasa mengingat mereka juga punya banyak kesibukan “Inilah tantangannya, tapi Insya Allah kami bisa melewatinya,” ujarnya.

Ketika pertama kali datang, kesulitan lain adalah menemukan makanan halal. “Pertama kali datang ke sini, saya sulit menemukan makanan halal. Bahkan restoran cepat saji pun kebanyakan menyediakan makanan tidak halal,” jelas Lis. “Tapi seiring waktu, sekarang sudah banyak restoran atau toko makanan yang menjual makanan halal.” tambahnya.

Lis juga berusaha memasak makanan sendiri yang menyerupai menu-menu di Amerika sehingga anak-anak dapat menikmati makanan menu ala Amerika dengan label halal. Tapi menurut Lis, hidup sebagai Muslim di Amerika sekarang sudah jauh lebih mudah daripada waktu pertama kali ia datang.

“Setelah tujuh belas tahun, sekarang sudah banyak masyarakat Amerika yang sadar dengan keberadaan Islam dan banyak yang sudah mengetahui tentang Islam,” ujar Indra.

Indra maupun Lis berusaha menjalani
hidup sebagai Muslim yang taat. Begitu pula dalam mendidik anak. Lis
mengaku cukup sulit membesarkan anak di Amerika, karena secara
psikologis budayanya berbeda. Apalagi pergaulan di sini cukup bebas,
tidak seperti di Indonesia. 

Lis khawatir anak-anaknya tumbuh ke arah yang tidak baik. Untuk itu ia benar-benar membesarkan anak-anaknya secara ulet dan tegas. Ia menerapkan disiplin tinggi. “Anak-anak harus bisa membagi waktu antara aktivitas dan belajar. Saya juga menerapkan nilai-nilai agama dengan mengajarkan secara detail arti-arti dari Al-Qur’an dengan harapan anak-anak saya mengikuti apa yang diajarkan agamanya,” katanya.

Kiki, anak pertama mereka merupakan lulusan Universitas Washington dan mengajar di sebuah sekolah Islam di Redmond. Sedangkan Bima, anak kedua yang kuliah di Universitas Washington adalah pemimpin organisasi MAS (Muslim American Society) Youth, sebuah perkumpulan remaja Muslim. “Lebih baik mengikuti kegiatan di sini daripada keluyuran di mall atau tempat-tempat gak jelas,” ujar Indra. Anak ketiga Indra dan Lis yaitu Gaya, baru saja lulus SMA dan rencananya akan melanjutkan kuliah di Universitas Washington. Sedangkan si bungsu Rama masih SMA.

Selain bekerja, Indra juga aktif dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Di sini Indra aktif melakukan kegiatan dengan sesama Muslim Amerika. Bisa dikatakan aktivitas Islam di keluarga ini sangat kental.

Mengenai pandangan Islam di Amerika, keluarga ini menyayangkan label teroris yang menempel akibat dampak peristiwa 9/11. Masyarakat di sana seringkali memandang negatif para pemeluk Islam. Untuk ke depannya keluarga ini berharap agar Islam lebih dimengerti oleh banyak orang dan tidak dicap sebagai agama terroris. “Sesungguhnya Islam adalah agama yang cinta damai,” kata Indra. Selain itu mereka juga berharap adanya hari libur ketika merayakan hari besar agama Islam, misalnya Lebaran. “Kalau di Indonesia, hari besar agama biasanya diliburkan, di sini tidak. Saya hanya berharap ke depannya Lebaran menjadi hari libur nasional bagi umat Muslim, atau bahkan hari libur untuk semua orang,” pinta Lis.

Great story and great wishes. Semoga sukses selalu untuk keluarga ini. (chika)

<object width=”425″ height=”344″><param name=”movie” value=”http://www.youtube.com/v/7xlEs2Gdvqk&hl=en&fs=1&”></param><param name=”allowFullScreen” value=”true”></param><param name=”allowscriptaccess” value=”always”></param><embed src=”http://www.youtube.com/v/7xlEs2Gdvqk&hl=en&fs=1&” type=”application/x-shockwave-flash” allowscriptaccess=”always” allowfullscreen=”true” width=”425″ height=”344″></embed></object>

Klik disini untuk melihat Podcast Part 2

Klik disini untuk melihat Podcast Part 3

Klik disini untuk melihat Podcast Part 4

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33467

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :