Dunia kesusastraan Indonesia dirundung duka. Salah satu
putra terbaik dalam bidang seni sastra dan drama, WS Rendra  tutup usia pada Kamis (06/08) pukul 22.10 di Rumah
Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

Penyair dan dramawan kondang yang dijuluki “Burung
Merak” meninggal dunia setelah mengidap sakit jantung koroner dan sempat dirawat
di sejumlah rumah sakit selama sebulan belakangan.

WS Rendra yang bernama lengkap Wilibordus Surendra Broto Rendra
dan kemudian menjadi Wahyu Sulaiman Rendra meninggal dunia dalam usia 74 tahun.

Istrinya, Ken Zuraida, mengatakan beberapa bulan belakangan kesehatan Mas Willi,
sapaan akrab Rendra memang drop. Sebelum meninggal almarhum sempat dirawat di tiga
rumah rumah sakit hanya dalam tempo sebulan.

Photobucket

WS Rendra rencananya akan dimakamkan hari ini (07/08) sehabis
Shalat Jum’at di kompleks pemakaman bengkel teater Rendra di Citayam Depok,
satu kompleks dengan makam sahabatnya Mbah Surip yang meninggal dunia beberapa
hari lalu.

Dalam dunia sastra, WS Rendra dikenal sebagai penyair yang
tak pernah kehabisan energi mengekspresikan sajak-sajaknya di atas panggung. Suaranya
lantang dan selalu mampu menyihir penonton. Pria kelahiran Solo 7 November 1935
ini sempat kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dan
tidak lulus. Selama tiga tahun, WS Rendra juga pernah mendapat beasiswa untuk
belajar seni drama di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Serikat.

Energi Rendra

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat
itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan
drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga
piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil
sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Karya pertamanya yang dipublikasikan adalah  pada tahun 1952 di majalah Siasat. Setelah itu,
puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu,
seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus
berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya,
terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

Photobucket

“Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di
SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat
penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah
duduk di SMA.

Sekembalinya dari Amerika, karya-kaya Rendra terus
mengalir dan banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa diantaranya bahasa  Inggris, Jerman, Belanda, Jepang   dan India.

Rendra juga rajin menulis terjemahan karya-karya penulis dunia diantaranya “Hamlet
“ dan “Machbet” karya William Shakespeare, “Antigone” karya Shopocles, “Perang
Troya Tak Akan Meletus” karya  Jean
Giradoux.

Rendra menulis bebebarapa naskah teater yang dipentaskan sendiri diantaranya
 “Selamatan Anak Cucu Sulaiman”, “Mastodon
dan Burung Kondor”, “Panembahan Reso” dan “Kisah Perjuangan Suku Naga”.   

Sepulangnya dari Amerika Rendra juga membentuk “Bengkel Teater” yang
kemudian menjadi salah satu kelompok teater terkemuka di Indonesia.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The
Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne,
Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur
(1992), dan Tokyo Festival (1995).

Semasa muda terutama ketika kuliah di UGM, Rendra suka hidup bebas dan
urakan, dia bersahabat dengan Ebiet G Ade yang kala itu juga masih kerap ngamen
di Yogyakarta. Meski begitu kecerdasan dalam
dunia sastra jualah yang mengangkat Rendra  sebagai salah satu penyair muda berbakat.

Dia sering mendorong gerakan-gerakan penyadaran kebudayaan dikalangan
mahasiswa. Tahun 1975 Rendra mengadakan Perkemahan Kaum Urakan  di Pantai Parangtritis.

Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia
yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan
menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A
Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”.

Si Burung Merak

Bagi banyak orang sosok Rendra memang bak seekor burung merak ketika sedang
berada diatas panggung. Kharisma dan energinya begitu luar biasa, orang tentu masih
ingat pada tahun 80-an ketika Bengkel Teater mementaskan Panembahan Reso di Istora
Senayan selama dua hari. pemetasan itu berlangsung hampir tujuh jam nonstop dan Rendra tampil memukau diatas
panggung, hampir tiada cela sedikitpun. Energinya seolah tak pernah habis.

Lakon Panembahan mampu menyedot sekitar tujuh ribu penonton. Drama setebal 242 halaman ini terdiri atas 43 bagian
(adegan). Setiap bagian (adegan) diberi judul secara berbeda, tidak
sama antara satu dan yang lain. Konon, drama ini merupakan drama
terpanjang, paling tidak di Indonesia.

Sama dengan penampilannya di panggung teater, sebagai penyair Rendra pun benar-benar
seperti burung merak yang tengah mengembangkan bulu-bulu indahnya diatas
panggung. Suaranya lantang, intonasinya jelas, gayanya ekspresif dan berjiwa. Itulah
Rendra.

Photobucket

Ada cerita
menarik kenapa Rendra dijuluki Burung Merak. Ini terkait dengan sejarah
pernikahannya. Pada usia 24 tahun Rendra menikahi seorang gadis bernama Sunarti
Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat
lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel
Musa, dan Klara Sinta.

Rendra juga punya banyak murid di bengkel teater miliknya, salah satunya Bendoro
Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta Hadiningrat
 yang bersedia lebur dalam kehidupan
spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra
kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Rendra kemudian malah jatuh cinta pada Jeng Sito dan melamarnya  untuk menjadi istri kedua. Jeng  Sito mau menerima pinangan Rendra, tapi
ayah Jeng Sito menentang pernikahan ini karena Rendra beragama katolik. Tapi Rendra,  yang pernah menulis litani dan mazmur, serta
memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih
untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12
Agustus 1970, dengan saksi penyair Taufiq Ismail   dan
Ajip Rosidi.

Tentu saja perbuatan Rendra mengundang sinis, tapi Rendra mengatkan bahwa
ketertarikannya pada Islam sudah jauh terjadi sebelumnya, tepatnya ketika dia
mulai mempersiapkan pementasan “Kasidah Barzanji”, beberapa bulan sebelum
pernikahannya dengan Jeng Sito.

Dengan gaya
khasnya yang ringan tapi berbobot,  Rendra
juga menjelaskan kepada media yang mencecarnya, bahwa ada alasan prinsipil. Yakni karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus
menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya.  “Saya bisa langsung beribadah kepada Allah
tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya
dihargai,” katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah
lebih dekat dari urat leher seseorang.

Sementara julukan Burung Merak terjadi ketika dia menjamu seorang rekannya
dari Australia di Kebun
Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika
melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil
tertawa terbahak-bahak, “Itu Rendra! Itu Rendra!.”  Sejak itu, julukan Burung Merak melekat
padanya hingga kini. Dari Sitoresmi,
ia mendapatkan empat anak: Yonas
Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.

Setelah memiliki dua istri, Rendra menikah lagi dengan salahs atu muridnya
di bengkel teater bernama Ken Zuraida. Dari Ken Zuraida  rendra mendapat dua anak, Isaias Sadewa dan
Maryam Supraba.

Sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada
1979, dan Sunarti pada tahun 1981, sehingga sampai akhir hayatnya hanya Ken Zuraida
yang menemani si Burung Merak.

Selamat
Jalan Mas Willy…

(sumber wikipedia)

 <object width=”425″ height=”344″><param name=”movie” value=”http://www.youtube.com/v/DdwQFoB7Tcc&hl=en&fs=1&”></param><param name=”allowFullScreen” value=”true”></param><param name=”allowscriptaccess” value=”always”></param><embed src=”http://www.youtube.com/v/DdwQFoB7Tcc&hl=en&fs=1&” type=”application/x-shockwave-flash” allowscriptaccess=”always” allowfullscreen=”true” width=”425″ height=”344″></embed></object>

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33543

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :