KabariNews – Keinginan mengubah wajah Indonesia mendasari Dedi Wijaya Kusuma membangun Yayasan Ayo Lanjut Sekolah. Semua bermula saat Dedi menjadi pengajar muda melalui Indonesia Mengajar. Dedi yang menyukai tantangan memutuskan menjadi pengajar selama satu 1 tahun di daerah terpencil di Indonesia. “Saya merasa harus membayar balik. Kayak kita diberi berkat, dan diberi banyak kelimpahan melalui pendidikan. Cara paling gampang untuk membayar balik, dengan memberikan pendidikan juga. Jadi Indonesia Mengajar memberikan kesempatan hanya 1 tahun. Saya donasikan waktu saya setahun,” terang Dedi Kusuma Wijaya, Founder Yayasan Ayo Lanjut Sekolah yang ditemui KabariNews di salah satu mall di Jakarta Selatan.

Setelah merampungkan tanggungjawab sebagai pengajar muda, pria asal Makassar memutuskan mengambil seorang anak di desa tersebut untuk di sekolahkan. “Saya mutusin bawa anak, satu anak untuk saya sekolahkan. Saya selalu bilang ke teman-teman di Indonesia Mengajar bahwa kita bisa loh ga hanya 1 tahun tapi mengambil tanggungjawab seterusnya. Kita jadi mentor untuk anak cemerlang di desa  dan kita sekolahkan, lalu kelak kita pastikan, mereka punya mimpi sama kayak kita,” ucap Dedi yang merampungkan studi S1 di Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya.

Keinginan menyekolahkan anak dari desa , karena suatu waktu Dedi menonton film Laskar Pelangi. “ Di film itu, ada anak yang paling pintar di desa, namanya Lintang, dia tidak bisa melanjutkan sekolah, karena keterbatasan biaya dan keluarga. Nah itu menganggu saya sekali. Karena anak paling pintar bisa jadi pemimpin tapi sekolahnya berhenti dan akhirnya menjdi bukan siapa-siapa ya. Nah sebagai orang kota, saya punya kesempatan mengajar di desa selama 1 tahun. Nah saya bertemu dengan seorang anak, yang pintar banget, namanya Nindi, punya jiwa kepemimpinan, punya cita-cita tinggi, tapi  sama juga dengan Lintang, ia tidak punya kesempatan untuk melanjutkan, karena orangtuanya terbatas. Saya punya pemikiran seperti ini, saya punya kemampuan untuk mengubah akhir cerita. Nah kalau Lintang hanya terkunci di sana, nah saya bisa. Saya putusin, saya sekolahin aja deh. Keputusan singkat, mudah diambil, walau dijalankan sulit,” tegas pria yang lahir di Makassar 22 Agustus 1986.

Pilihan untuk menyekolahkan seorang anak dari desa diambil Dedi, karena keinginan untuk membayar balik, semua hal baik yang telah diterimanya dalam hidup. “Karena saya merasa, anak muda zaman sekarang, dikaruniai banyak kemudahan. Kita besar dengan teknologi. Puji Tuhan saya mendapat pendidikan yang baik. Jadi menurut saya, kita punya tangggungjawab sosial untuk membayar balik kepada negara, masyarakat yang telah memberikan keistimewaan itu. Bagi saya, ikhtiar kecil yang bisa saya lakukan adalah memastikan Lintang Lintang lain seperti ini tidak berakhir seperti itu,” aku Dedi yang menyelesaikan studi S2 di Universitas Edinburg, Skotlandia.

Dengan mengambil tanggungjawab tersebut, Dedi ingin agar pendidikan anak-anak Indonesia semakin baik. “Jadi aku waktu ke desa, aku melihat mereka begitu dekat dengan kita, pake Bahasa Indonesia tapi mereka jauh. Jauh itu, mereka ga kebayang, yang orang Jakarta anggap itu biasa. Misalnya, tinggal di apartemen, konsep yang tidak bisa dibayangkan oleh mereka. Aku berpikir kita itu harus ikut membantu, anak-anak ini kan tidak bermimpi lahir di desa. Kayak kita juga tidak berpikir lahir di kota. Jadi yang bisa kita lakukan, memastikan bahwa anak-anak yang kebetulan lahir di desa, jauh dari hingar bingar sekolah yang bagus. Itu ada loh anak-anak yang lahir di desa ditakdirkan menjadi pemimpin. Tugas kita kalau kita ketemu sama mereka, kita harus mendampingi, mengambil dan memastikan masa depan mereka. Mimpi saya adalah 20 tahun lagi, kita punya banyak pemimpin di Indonesia yang lahir di desa yang tidak ada listrik, dan sinyal sehingga kita bisa lihat wajah Indonesia yang berbeda,” pungkas pria yang gemar olahraga sepakbola. ini.(Kabari1009/Foto&Video:1006)