Suatu ketika, Bung Hatta pernah bernazar bahwa dirinya tidak akan menikah sampai Indonesia merdeka. Tidak lama pasca kemerdekaan, Bung Karno melamar seorang gadis 19 tahun asal Bandung yang bernama Rahmi Rachim dan memperkenalkannya kepada Bung Hatta yang telah berusia 43 tahun saat itu. Setelah menerima pinangan Bung Hatta, keduanya mengikat tali kasih pada 18 November 1945 di Megamendung, Jawa Barat.

Di luar kelaziman, Bung Hatta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI memberikan sebuah buku karangannya yang berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mas kawin kepada Rahmi. Dari pemberian tersebut tersirat makna yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Bung Hatta bahwa mas kawin merupakan sesuatu yang berharga di hati dan tidak semata-mata yang memiliki nilai duniawi saja. Menurut penuturan putri sulung Bung Hatta, Rahmi tidak merasa kecewa sedikitpun meskipun mahar yang diterimanya tidak berwujud emas dan berlian.

Pasangan Bung Hatta dan Rahmi Hatta dikaruniai tiga putri: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabiah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Meskipun terpaut 24 tahun dengan suaminya, Rahmi merupakan sosok pendamping hidup yang suka belajar dan sangat cepat menyesuaikan diri demi mengimbangi sang suami. Sebagai Nyonya Wakil Presiden, ia selalu mendukung dan mendampingi Bung Hatta, termasuk pada saat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda).

Saat ditemui di kediaman pribadi Bung Hatta di kawasan Menteng, Meutia mengungkapkan bahwa Bung Hatta bukanlah seorang ayah yang diktator dan gila hormat dalam berumah tangga sekalipun merupakan sosok yang paling senior dan sarat prestasi dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga. Bung Hatta merupakan sosok yang santun dan mendidik keluarganya dengan kasih sayang dan contoh. “Kalau Ayah mau memanggil kami dan masuk ke kamar itu pun mengetuk pintu dahulu artinya supaya jangan sampai kami (putrinya) dalam posisi berpakaian yang kurang rapi saat Ayah masuk,” ujar putri sulung sang proklamator.

Pada zaman itu, tidak banyak wanita yang melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Meski demikian, menurut Meutia, ayahnya selalu memperhatikan pendidikan ketiga putrinya dan banyak memberikan masukkan kepada mereka. “Bung Hatta prinsipnya adalah memberikan teladan dan kasih sayang. Anak tidak dimarahi karena beliau berpandangan kalau dimarahi jadi benci dan malah tidak suka dengan yang dipelajari,” pungkasnya.

Semasa hidupnya, Bung Hatta selalu mengajak ketiga putrinya untuk aktif terlibat dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti ayahandanya, Meutia Hatta juga sempat masuk ke sektor pelayanan publik sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan di Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Mengamati perkembangan emansipasi wanita di Indonesia sekarang, mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden era SBY ini berpesan bahwa wanita Indonesia dimana pun berada harus selalu belajar dan tidak boleh lepas dari pengetahuan. “Jangan pernah berhenti belajar dan tidak boleh membiarkan dirinya dilecehkan orang meskipun dari segi ucapan… Kalau tidak bisa menghormati diri sendiri, jangan harap orang lain menghormati kita,” ungkap Meutia Hatta di penghujung wawancara dengan Kabari News.