Musisi yang juga aktor senior, H. Enteng Tanamal merupakan penggagas Karya Cipta Indonesia (KCI) dan PAPRI (Persatuan Artis dan Pencipta Lagu Dan Penata Musik Rekaman Indonesia) pada tahun 1980-an.

“Waktu itu saya buat PAPRI tahun 1985, dengan harapan bisa membantu para teman-teman seniman ini, membantu mereka saat baru melakukan negosiasi dengan para pengusaha khusunya para industri rekaman,” terang Enteng saat wawancara dengan Kabari di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan.

Peringatan Hari Musik Nasional bersama Presiden RI Joko Widodo

Menurutnya, PAPRI masih terbatas karena ini merupakan organisasi profesi, “Jadi paling hanya mengimbau teman-teman pengusaha itu biar bisa adil dalam mengembangkan teman-teman seniman ini,” imbuh Enteng.

Sebagai sesama seniman, lainnya bagi Enteng, para pencipta lagu pantas mendapatkan hak atas karyanya untuk kehidupannya.

“Para seniman ini pencipta lagu, kalau penyanyi kan bisa mendapatkan yang lebih baik, namun kalau pencipta lagu susah, cuma sekali diberikan penghargaan, Jadi sudah tidak dapat apa-apa lagi, jadi kasihan sekali para pencipta lagu ini,” ungkap Ayah dari Yoan Tanamal ini.

Baginya, Pencipta lagu merupakan satu profesi yang mulia, dalam mereka menciptakan lagu, kemudian proses masuk rekaman, itu adalah perjuangan buat karya dia.

Bagi mereka para seniman musik merasakan belum adanya keadilan dalam menghargai hak-hak mereka khususnya di dalam pendapatan yang mereka terima dari para pengusaha rekaman, terutama para pencipta lagu yang karya cipta lagunya dihargai paling kecil nilainya, apalagi lagu-lagunya ini sangat dibutuhkan sehingga keberadaan para pencipta lagu ini bertumbuh sangat banyak bahkan mencapai ribuan.

Pada tahun 1987, Enteng pergi ke Jepang, di sana ia menemukan wadah yang bisa hanya dapat kuasa dari pencipta, kemudian ia mengadakan perbandingan agar para pencipta lagu di tanah air mendapatkan hak ekonominya. Wadah di Jepang itu namanya Jasrat.

Berangkat dari situlah, Enteng Tanamal bersama teman musisi senior lainnya seperti Chandra Darusman, Titiek Puspa, Guruh Soekarno Putra, Rinto Harahap, Aryanto dan lainnya mendirikan sebuah wadah perjuangan hak untuk kehidupan para pencipta lagu, yang saat ini dikenal dengan organisasi PAPPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia) dan menjadi cikal bakal lahirnya KCI yang kita kenal sebagai Lembaga Manajemen Kolektif Indonesia yang pertama dan terpercaya di Indonesia.
“Kembali ke Indonesia saya ajak teman-teman musisi lainnya, kita buat KCI ini,” katanya.

KCI seiring dengan masa aktifnya dari tahun 1987 hingga 1990 mulai membuahkan hasil, para pencipta lagu mulai mendapatkan haknya meski perjuangannya masih tertatih-tatih.

Meski demikian, salah satu pendiri seperti Chandra Darusman pun menunjukkan keberhasilannya. Chandra bekerja di wadah yang sama di Genewa, Swiss, yaitu WIPO, hal ini membuat KCI bisa melihat hal semacam di kancah internasional. Dan kini Chandra bekerja di WAIPO Singapura.

Namun perjuangan tidak berhenti dengan melihat keberhasilan Chandra, KCI akan terus memperjuangkan haknya para pencipta lagu demi hidupnya.

Bagi Enteng, tidak mudah menjalankan wadah seperti ini meskipun Undang-undang sudah diberlakukan sejak tahun 1982.

Para pencipta lagu memiliki dua hak, lanjut Enteng, “Pencipta lagu punya dua hak mechanical yaitu membuat piringan hitam, kaset, CD dan yang kedua, namanya performing, yaitu hak mengumumkan kalau dipakai di karaoke, di hotel, di penerbangan, dipakai di televisi si pencipta punya hak, untuk mendapatkan manfaat ekonomi,” katanya.

Tantangan menjalankan wadah ini adalah dikarenakan masyarakat pengguna kurang menghargai, “Kalau saya lihat dari hak-hak para pencipta ini kurang dihargai sama masyarakat pengguna ini,” terangnya.

Lanjutnya, kata Enteng, “Kurang menghargai, kurang menghormati para pencipta ini sesuai undang-undang, disitu yang jadi terhambat. Beda dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, mereka sudah lebih menghormati hukum dan Undang -Undang yang berlaku, sehingga mereka lebih maju,” terangnya.

Kini, pendapatan KCI selama 28 tahun berjalan kisaran 12 milyar pertahun, dibanding dengan negara lain yang sudah mencapai ratusan milyar.

“Beda kalau dibanding dengan Malaysia sudah bisa mencapai seratus milyar, Singapura sudah bisa dapat sekitar 200 milyar, Korea Selatan sudah capai 500 milyar, Jepang sekitar 6 triliun apalagi Amerika. Indonesia memang susah, kurangnya kesadaran untuk menghargai para pencipta lagu,” jelas Enteng.

Meski demikian, KCI akan terus berjuang karena memiliki anggota atau pemberi kuasa KCI ada sekitar 400-an, “Mereka sudah berharap, bahwa mereka harus bisa dapatkan melalui KCI untuk hidup mereka. Pun dengan ahli warisnya, karna di undang-undang kita menyebutkan si pencipta ini bisa mendapatkan haknya ini selama dia hidup dan sesudah dia meninggal 70 tahun. Jadi ahli warisnya itu bisa mendapat selama 70 tahun apakah istrinya, anak, atau cucu,” ungkap Enteng.

Menurutnya, KCI harus terus berjuang, Enteng menilai, banyak pencipta lagu mengharapakan apa yang KCI sudah jalankan untuk kehidupan para pencipta lagu.