KabariNews – Pagi itu cuaca Jakarta cerah, Kabari bertemu dengan Harry Widjaja di kantor Uni Papua di kawasan Jakarta Barat. “ Halo, silakan duduk,” ucap Harry membuka pembicaraan.

Harry merupakan founder dan CEO menceritakan awal mula terbentuknya Uni Papua. Uni Papua adalah organisasi sepakbola sosial. “Ini organisasi non goverment, organisasi non profit untuk membentuk karakter anak-anak melalui sepakbola,” jelas pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat 16 Desember 1972.

Lalu mengapa dinamakan Uni Papua? “Karena sejarahnya dibentuk di Papua. Kita juga ingin memopulerkan nama Papua. Jadi Papua adalah sepakbola, sepakbola adalah Papua dari Indonesia. Kita ingin memperkenalkan nama Papua ke seluruh dunia bahwa anak-anak Papua itu punya talenta di sepakbola,” ujar Harry.

SEJARAH

Uni Papua berdiri tahun 2013. Namun telah dirintis dari tahun 2008. “Saya mulai lihat bahwa sepakbola sebagai alat yang sangat baik. Saya mulai bersentuhan langsung dengan pembinaan anak usia dini. Tapi saya lihat sepakbola dari sisi yang lain, sepakbola bukan untuk turnamen dan prestasi, tapi sepakbola digunakan untuk mengantarkan nilai-nilai, membentuk karakter, memodali anak dengan kemampuan untuk menolak pengaruh-pengaruh buruk. Seperti minuman keras yang punya pengaruh kuat bagi anak-anak Papua dan anak-anak Indonesia Timur. Lalu ada penyebaran HIV secara massif, ada masalah-masalah intoleran yang merusak perdamaian. Kita pake bola untuk mengatasi itu. Jadi sepakbola itu sebagai alat mengantar, bukan tujuan untuk sepakbola,” urai pria yang menyelesaikan studi S1 jurusan Teknologi Informasi di Universitas Bina Nusantara Jakarta ini.

Diceritakan Harry, kecintaan dan keinginan untuk melakukan sesuatu bagi Papua, bermula saat ia mendapat tugas ke Papua. “Jadi tahun 1998, saya pertama kali ke Papua, ke Biak dan Nabire, untuk membantu satu yayasan membangun sekolah berasrama pertama kali di Papua. Jadi dalam kurun waktu 1998-2006, saya hanya bersentuhan langsung untuk mendukung sekolah berasrama ini, tapi tahun 2006, saya mendapat kesempatan pertama kali ke Jayapura. Setelah masuk tahun 2008, saya mulai memikirkan sesuatu yang sangat serius dan melihat Papua dengan lebih dekat lagi,” terang Harry.

Selanjutnya dalam kurun waktu 4 tahun, dari tahun 2008-2012, Harry memutuskan mengelilingi Papua. “Sampai sekarang baru 27 kabupaten yang saya datangi, kira-kira 60 persen dari Papua. Saya mencoba melihat Papua lebih dekat, apa, siapa dan bagaimana Papua. Di pegunungan tengah, di pulau-pulau terkecil, di kampung dan di pedalaman. Saya melihat bahwa Papua butuh untuk dibangun dengan sesuatu yang inovatif dan kreatif, karena ga cuma tantangan secara demografi, alam tapi terlalu banyak masalah,” ucap suami dari Joanny A.Wirjanto.

Dengan melihat kondisi Papua, Harry terpanggil untuk memberikan kontribusi. “Apa yang belum pernah dilakukan pemerintah, kelompok dan NGO lain bahkan dari luar negeri belum lakukan. Saya meminjam sepakbola sebagai alatnya,” katanya. Sebelum mendirikan Uni Papua, banyak hal telah dilakukan Harry untuk masyarakat Bumi Cendrawasih. Mulai dari kegiatan entrepreneurship, seminar, dan pelatihan. “Saya lihat hasilnya tidak terlalu memuaskan,” ucapnya.

Tak hanya itu, Harry juga membina mahasiswa Papua yang ada di pulau Jawa. “Ada 5 kota studi yang saya kunjungi, yang punya asrama Papua di Jawa. Mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Salatiga, dan Surabaya. Dari situ saya mengumpulkan dan membuat komunitas, menamakan Transformasi Papua. Tahun 2010 saya kumpulkan mahasiswa Papua yang sudah saya bina. Kira-kira 400 mahasiswa dari Papua yang studi di Jawa. Nah, ada satu anak binaan dari Sentani yang bapaknya punya SSB (Sekolah Sepakbola) Embun Syklop dan diberi tahu bahwa bapaknya mau tutupnya SSB-nya. Lokasinya ada di Waena Jayapura. Dari situlah saya mulai melihat anak-anak papua, main bola, latihan. Singkat cerita saya mau bantu mereka dengan teman-teman untuk men-set up manajemen yayasan supaya menolong SSB ini,” tukas Ayah dari Jocelyn Netanya Wijaya.

Tahun 2012, SSB Embun Syklop melakukan eksebisi ke Singapura. “Main 2 kali lawan akademi sepakbola terbaik Singapura dan melawan klub profesional. Itu termasuk ujicoba dan akhirnya kami menang. 2 hari, 2 tim yang berbeda, kami hanya membawa satu tim. Jadi menurut saya anak-anak ini superior. Setelah kembali saya melihat power dari football ini sangat luar biasa,” ucap Harry.

Di negeri Singa Putih, Harry mendapat kesan bahwa dari sepakbola ini ada kehormatan dan martabat, baik anak-anak maupun bangsa. “Kita menang di negara orang, saat pulang ada suatu kehormatan. Saya punya kepuasaan. Jadi kalau bisa mempersiapkan anak-anak ini bukan hanya sekadar memenangkan suatu pertandingan tapi kualitas, daya saing. Mau tidak mau, kita harus bangun karakter mereka,” jelas Harry.

Karena sepakbola sebagai alat, ada nilai-nilai utama yang diajarkan di Uni Papua. “Nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, integritas, dan kepedulian. Bola jadi alatnya,” tukas Harry.

BERKEMBANG PESAT

Harry tak menyangka, Uni Papua yang awal berdiri ditujukan untuk anak-anak Papua, kini berkembang ke 50 daerah di Indonesia. “Kami sebenarnya inisiatif hanya di Papua,” kata Harry.

Saat mendirikan Uni Papua tahun 2013 di pulau Biak, berkembang dari 1 cabang menjadi 3 cabang. “Kami basis itu komunitas. Jadi anak-anak itu bergabung setelah pulang sekolah. Lalu anak-anak Papua yang saya bina di Jawa itu beberapa pulang ke papua. Dari Biak, kami bergerak ke Maybrat, Papua Barat. Lalu di pegunungan tengah, Mulia Puncak Jaya, Wamena, Mamberamo Tengah, dan Sentani. Jadi 1-2 tahun pertama kami di Papua, yang membuka dan mengembangkan ini bukan tangan saya lagi tapi anak-anak yang saya bina itu. Jadi inisiatif itu sudah didelegasikan,” ucapnya.

Seiring berjalannya waktu Uni Papua, tidak hanya berkembang di Papua, tapi di berbagai daerah di Indonesia. Daerah di luar Papua yang pertama kali bergabung ikut visi misi Uni Papua, yakni dari Soe dan Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Kini khusus Papua, ada 14 cabang yang berada di Timika, Sorong, Sentani, Jayapura. “Di luar Papua, kita total ada di 14 provinsi, kurang lebih 50 komunitas. Mereka menggunakan nama Uni Papua yang disesuaikan dengan daerah asalnya. Misalnya Uni Papua Aceh, Uni Papua Poso, Uni Papua Salatiga, Uni Papua Bali. Sekarang hampir 2 minggu sekali ada yang minta untuk bergabung,” kata Harry bangga.

Dalam membangun Uni Papua, Harry tidak mengutamakan untuk mengikuti turnamen, tapi lebih pada membangun karakter anak-anak. “Karena kita ini beda dengan pola pembinaan umum. Jadi kita tidak berfokus pada turnamen atau kompetisi. Kita banyak fokus pada pembinaan karakter. Jadi program kita, di setiap latihan, ada nilai-nilai yang kita hantar,” kata Harry.

Anak-anak yang dididik di Uni Papua dari usia 6-23 tahun. Namun difokuskan dari usia 10-18 tahun. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa, definisi anak di bawah 18 tahun, masih di bawah perwalian orang tua. “Jadi kami perlakukan mereka sebagai anak-anak, bukan sebagai atlet atau pun sebagai pemain sepakbola. Jadi prinsipnya dulu, mereka sebagai anak-anak. Anak-anak harus bermain. Karena dunia anak adalah bermain,” terang Harry.

Yang mengajarkan nilai-nilai hidup kepada anak-anak adalah para relawan yang menjadi pelatih di Uni Papua. “Kami ajari para relawan ini yang terpanggil dijadikan pelatih. Mereka boleh siapa saja, yang penting mereka punya keinginan besar untuk urus anak-anak. Jadi kemampuan sepakbola kami akan latih secara periodik. Latihan pertama 5 hari, kami akan kasih sertifikat,” kata Harry.

Bagi Harry, pelatih merupakan pengganti ayah di rumah. ”Jadi kalau di rumah ada bapak, di lapangan ada pelatihnya. Maka di Uni Papua, konsepnya para pelatih itu kita sebut instruktur. Instruktur artinya dia sebagai pelatih, mentor, konselor dan leader. Jadi ga hanya ngurus skill tapi bisa bermain, sharing, curhat, makan bareng. Jadi teman, itu konsepnya,” ucap Harry.

Hingga saat ini ada lebih dari 3 ribu anak dididik di Uni Papua. “Setiap cabang ada 60-150 orang anak. untuk pelatih ada 40-50 relawan yang full involved,” katanya.

TERCUKUPI

Untuk mengelola 50 cabang yang berada di berbagai daerah, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, Harry bersyukur selalu tercukupi. “Puji Tuhan, 80% dari kantong sendiri,” katanya tertawa.

“Semua tidak digaji, relawan bekerja dengan kerelaan dia sendiri. Beberapa program juga dibantu. Contohnya kita ada program sepakbola antara suku, 50% dana itu dari CSR FIFA. Lalu kalau kita ada program lain, misalnya trauma healing ke daerah bencana, kita mencari donatur. Kalau ada eksebisi internasional, kita mencari sponsor,” lanjutnya.

Meski dengan keterbatasan dana, anak-anak yang berprestasi di Uni Papua sering dikirim ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan hingga studi lanjut. “Saya memang paling hobi kirim anak ke luar negeri. Kenapa? Karena anak-anak daerah seharusnya punya hak yang sama. Nah, kita ini jadi jembatan. Kalau mereka ke luar negeri, kita persiapkan dulu supaya kepergian mereka itu punya manfaat. Mereka lebih percaya diri, punya wawasan, punya pengalaman. Ketika mereka pulang, mereka bisa cerita ke anak-anak lain,” ceritanya bersemangat.

“Kalau beasiwa terbatas, baru di Spanyol, S2 Sport Management atau Sport Science. Yang sering itu training atau pun pelatihan di Asia atau Eropa. Biayanya biasa ditanggung pihak yang mengundang, yang membiayai tiket dan segala macam, tapi kadang-kadang sharing dengan kami. Kami carikan sponsor atau donatur,” sambungnya.

Lanjut Harry, setiap ada kesempatan untuk pelatihan atau pun studi, ia biasanya akan mempromosikan anak-anak yang punya karakter baik, atau pun pelatih-pelatih yang berdedikasi dan memiliki loyalitas. “Semua cabang dikasih kesempatan yang sama,” katanya.

Melihat Uni Papua berkembang pesat, kini Harry secara serius menanganinya. “Karena ini sudah berkembang dan kita melihat ini harus berkelanjutan, mau tidak mau kita sekarang membuat kantor, manajemen, bekerjasama dengan corporate dan pemerintah supaya ini berkelanjutan. Jadi tidak ada pilihan, kita masuk Jakarta, memperkenalkan diri kita, baik ke media atau ke perusahaan, ke orang-orang yang terpanggil dan terbeban. Mulai tahun ini kita strateginya dari donatur perorangan menjadi korporasi. Kita ingin men-develop program-program yang kerjasama dengan korporasi, entah sponsorship atau CSR. Mau tidak mau itu pilihan. Ayo kita lakukan sesuatu melalui sepakbola,” kata Harry tersenyum.

Sebagai lembaga yang tidak memiliki donatur tetap, kesulitan keuangan merupakan ‘makanan’ sehari-hari baginya. “Masalah itu sudah menjadi sahabat sehari-hari, jadi makanan saya tiap bulan. Saya pernah nangis kayak anak kecil, waktu cabang kita dari 5 jadi 8 tahun 2013, mau beli bola aja, ga ada uang, butuh 300 bola saat itu. Itu 3 tahun lalu, beli bola aja ga mampu, padahal harga 1 bola Rp 60 ribu. Masa kita bilang komunitas bola, ga ada bola. 1-2 minggu dari hari itu, saya ketemu dengan satu lembaga namanya One World Football yang memproduksi bola karet, magic ball yang tidak perlu dipompa dan ga bisa pecah. Tahun 2105 kami dapat donasi, 1 kontainer dari One World Football, 2016 dapat 2 kontainer, bola disebar seluruh Indonesia. Dari setiap pergumulan, masalah, tantangan, saya ngelihat, seperti kata orang, sehabis hujan, itu ada matahari. Jadi saya percaya kesulitan-kesulitan itu ada sesuatu dibalik itu,” katanya optimis.

Modal Harry bertahan hingga kini adalah bersyukur. “Sebenarnya ga terlalu tahan kalau dibanting, sakit juga. Cuma lewati saja, bersyukur aja, masih bisa nikmati kesakitan-kesakitan itu. Kadang-kadang kita pikir kenapa kita buat sakit orang lain, dari situlah saya menemukan, oh dari situlah hidup saya memiliki manfaat untuk orang lain. Semua orang harus sakit untuk orang lain,” ucapnya bijak.

Mimpi Harry untuk Uni Papua adalah membangun akademi sepakbola di Papua. “Saya ingin kalau diberi umur panjang, Uni Papua ingin membangun satu center akademi sepakbola berbasis karakter. Jadi isunya karakter, saya pengen anak-anak Indonesia dapat pendidikan, pembinaan karakter di center ini, mempersiapkan mereka mau jadi profesi apa saja terserah, yang penting kita bekali dengan karakter dan nilai-nilai supaya mereka memang ke depannya dapat meraih mimpi dan cita,” pungkasnya. (Kabari1009)