KabariNews – Membangun Tangan Pengharapan tidak mudah. Membutuhkan komitmen yang tinggi. Karena yang diutamakan adalah kepentingan orang banyak. Selama hampir satu dekade membangun Tangan Pengharapan, Henny melihat tangan Tuhan yang selalu menolongnya. Apalagi Tangan Pengharapan tidak memiliki donator tetap. “Donator tetap tidak ada tapi anugerah Tuhan yang selalu tersedia. Tidak pernah kekurangan,” ucapnya optimis.

Meski begitu, ada salah satu fase di mana kebutuhan yang sangat banyak tapi dana yang dimiliki terbatas. “Suatu hari di tahun 2013, setelah transfer uang untuk makan ke berbagai titik, uang yang tinggal sedikit. Saya stres berat, ke kamar mandi, duduk di shower dan air mengalir. Saya berdoa bilang gini sama Tuhan. ‘Tuhan saya ga mau tau uang dari mana, kalau sampai ga ada uang untuk ngasih makan anak anak, saya pulang ke Australia. Yayasan ini punya Tuhan, anak-anak ini punya Tuhan. Saya ini cuma salurannya Tuhan, saya mau mempercayakan keuangan tak terbatas dari surga ada untuk saya. Saya bilang sama Tuhan, saya mau menghidupi kemustahilan. Karena saya ini ga cari apa-apa loh, saya ga cari ketenaran, saya ngga cari posisi. Saya cuma ingat bahwa hidup kita hanya sekali. Suatu hari kita ga ada lagi, apa yang bisa kita tinggalin untuk negeri ini. Saya ingin hidup saya ini dikenang oleh anak-anak Indonesia sebagai pahlawan buat mereka,” kata Henny dengan air mata yang bercucuran.

Ia mengaku sedih melihat anak-anak Indonesia. “Ketidakmerataan pendidikan, ketidakadilan. Bagaimana anak-anak disiksa orangtua yang bukan orangtua mereka, yang ga sayang tapi hanya menggunakan tenaga mereka. Saya menyelamatkan anak-anak korban kekerasan di NTT, hati saya hancur bagaimana orangtua tega menyakiti mereka. Saya punya latar belakang tidak bahagia saat kecil, saya bisa merasakan penderitaan anak-anak ini, mau sekolah susah saya pernah alami itu. Anak-anak ini bagaimana untuk sekolah harus jalan kaki jauh, mau ikut UN aja ga punya duit, buat saya ini ga masuk akal, pemerintah tidak bangun pendidikan yang merata. Saya ingin anak-anak ini mendapat hak yang sama kayak anak-anak di Jawa. Kenapa Indonesia 71 tahun merdeka ga maju-maju, kenapa daerah ini dibiarkan terbelakang, Papua, NTT. Saya melihat itu beyond religion, bahwa setiap anak berhak sekolah, pendidikan itu seperti kebutuhan sembako. Pemerintah harus menengakkan aturan seperti sembako ga boleh mahal, sekolah itu ga boleh mahal. Pendidikan harusnya gratis. Indonesia harus memperhatikan orang yang lemah, anak-anak harus sekolah ga bayar terutama anak-anak miskin. Saya selalu pesan ke anak-anak jangan lupa dari mana kamu berasal,” katanya berapi-api.

“Sejak saya bilang keuangan tak terbatas dari surga, saya tidak pernah kekurangan lagi, entah bagaimana caranya, tiba-tiba ada saja dana cukup tiap bulan, demi bulan, tidak berlimpah tapi pas. Dan begitu terus sampai hari ini,” kata Henny yang hingga kini tidak sampai 10 orang yang berkomitmen membantu Tangan Pengharapan.

Selama membantu yang papa dan terpinggirkan, ada kejadian monumental yang diingat Henny. “Suatu hari ada seorang ibu, namanya Jenny, almahrum. Dia kena TBC stadium 4, dia tingga di desa Tua Pene, Timor Tengah Selatan, NTT. Ibu ini punya anak 2, suami tinggalin dia, karena dia tinggal kulit dan tulang, hitam sekali badannya, akut karena TBC. Dia tinggal di rumah bulat, dia ga punya uang, makanya ga pernah berobat. Suatu waktu suami saya nanya ke dia, ‘Ibu Jenny apa kerinduan ibu?’ saya berdoa setiap malam supaya Tuhan memberi saya rumah. Waktu saya dengar itu, hati saya hancur. Bagi orang miskin untuk makan saja susah, apalagi punya rumah,” cerita Henny menangis.

Saat itu Tangan Pengharapan membangunkan rumah untuk Jenny. Biaya untuk membangun rumah itu sebesar 10 juta. “Bisa buat 2 kamar, separuh beton, separuh bebak, atap seng. Kenapa Rp 10 juta karena kami punya uang cuma segitu, kemudian Rp 5 juta lagi untuk membangun kamar mandinya. Saya hanya berpikir begitu banyak orang miskin di Indonesia yang pasti berdoa supaya Tuhan menolong mereka. Dari generasi ke generasi mereka miskin dan ga ada yang nolong mereka, dan saya bersyukur karena Tuhan memakai saya dan suami sebagai tangan Tuhan yang menjawab doa mereka. Yang mungkin mereka sudah putus asa dan ga pernah mendapat jawaban. Kami betul-betul memberi pengharapan ke mereka bahwa Tuhan ada dan Dia menjawab doa. Ibu Jenny sempat tinggal di rumah barunya, yang membahagiakan suami kembali, dan tidak lama kemudian ia meninggal,” katanya bersemangat. (Kabari1009)