KabariNews – Setiap tahun tanggal 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pahlawan nasional yang mempelopori kesetaraan derajat antara wanita dan pria di Indonesia. Hal ini dimulai ketika Kartini merasakan banyaknya diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu, dimana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Kartini sendiri mengalami kejadian ini ketika ia tidak diperbolehkan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

Legacy Picture bekerjasama dengan Screenplay Production mempersembahkan film drama biopik bertajuk Kartini yang diproduseri oleh Robert Ronny dan disutradari oleh Hanung Bramantyo.

Film ini adalah kisah nyata perjuangan Kartini, pahlawan wanita yang paling populer di Indonesia awal tahun 1900. Saat itu wanita tidak diperbolehkan memperoleh pendidikan yang tinggi, bahkan untuk kaum ningrat sekalipun.

Kisah bermula, saat Trinil (12) panggilan kecil Kartini yang mendadak dipisahkan dari orangtua kandungnya Ngasirah (Nova Eliza) agar dia memperoleh gelar Raden Ajeng dan bisa sekolah. Gadis muda yang mengalami kegalauan saat pingitan, harus dilakukan menunggu lamaran dari lelaki keturunan ningrat.

Kepada kakaknya, Sosrokartono (Reza Rahadian), ia berkeluh kesah tentang kebebasan. Melalui kakaknya
tersebut, Kartini (Dian Sastrowardoyo) menemukan kunci untuk membuka jendela dunia. Kemudian ia berkenalan dengan Cecile de Jong (Carmen Van Rijnbach) yang menulis mengenai Hilda van Suylenburg (Alinda Wit) tokoh feminis Belanda. Inilah yang kemudian mengantar Kartini menjadi perempuan yang pemikirannya melampaui kaum pada zamannya.

Kartini tumbuh dengan melihat langsung bagaimana ibu kandungnya, Ngasirah (Christine Hakim) menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri, diangggap pembantu hanya karena tidak mempunyai darah ningrat.

Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo) yang mencintai Kartini dan keluarganya juga tidak berdaya melawan tradisi saat itu. Kartini berjuang sepanjang hidupnya untuk memperjuangkan kesetaraan hak bagi semua orang, dan hak pendidikan bagi semua orang, terutama untuk perempuan. Bersama kedua saudarinya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha), Kartini membuat sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan lapangan kerja untuk rakyat di Jepara dan sekitarnya.

Film Kartini ini adalah perjalanan penuh emosional dari sosok Kartini yang harus melawan tradisi yang dianggap sakral bahkan menentang keluarganya sendiri untuk memperjuangkan kesetaraan hak untuk semua orang di Indonesia.

Film garapan Hanung ini bukan semata untuk kaum hawa, namun film ini juga berlaku untuk kaum pria. Menurutnya Kartini adalah kita. “Kalau kita laki-laki Kartini itu adalah perempuan yang kita cintai, semestinya yang kita cintai yaitu ibu kita, adik kita, istri kita, dan pacar kita, itulah Kartini sebetulnya di era sekarang,” kata Hanung saat acara konferensi pers pemutaran film perdananya di Plaza Indonesia, Jakarta Selatan.

Lanjut Hanung, apa yang terjadi di era sekarang adalah yang diimpikan Kartini seratus tahun yang silam. Bahwa perempuan saat ini bisa menggunakan namanya untuk berbuat sesuatu. Sedangkan di zaman Kartini hidup, perempuan akan dihargai dan dihormati apabila menggunakan gelar kebangsawanan. Seperti Raden Ayu, Raden Ajeng.

“Sekarang orang bisa menggunakan nama perempuan dengan gampang. Misalnya Sri Mulyani, orang tau bahwa beliau adalah seorang Menteri Keuangan, dan Susi Pudjiastuti adalah Menteri Kelautan,” jelas Hanung.

Namun, Kartini berbeda dengan wanita ningrat zaman itu. Ia ingin dipanggil hanya dengan nama tanpa gelar yang mengikutinya. “Panggil aku Kartini saja tanpa perlu embel-embel yang lain, misi dari film ini sebenarnya itu, dan pesannya sekarang yaitu Kartini adalah kita” tegas Hanung.

Dikatakan Hanung, Kartini adalah pemberontak. Namun, pemberontak dalam arti positif. Pemberontak untuk kaumnya. Ketika timbul sesuatu yang mengekang kebebasan perempuan, maka Kartini akan memberontak. Pemberontakan kartini bukan hanya emosional, namun pemberontakan yang bersifat intelektual.

Kartini memberontak, bukan karena ingin bebas tanpa adanya aturan. Pada dasarnya Kartini ingin mengembalikan harkat perempuan pada kehendaknya sebagai perempuan yang mandiri.

“Perempuan tetap pada nature-nya mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi. Empat hal itu tidak bisa ditinggalkan, tetapi hal-hal yang sifatnya diluar itu, itu menjadi hak perempuan yaitu pendidikan,” terang Hanung,

Jika perempuan tidak mengenyam pendidikan, bagaimana seorang ibu bisa mendidik anaknya. Karena itu, menurut Hanung, perempuan harus pintar, dan memiliki wawasan. Agar bisa menjadi penolong yang sepadan bagi suami.

“Jadi perempuan harus lebih pintar dari suaminya, sebetulnya untuk mengimbangi suaminya bukan untuk ngakali suaminya,” tegas Hanung.

Meski demikian, perempuan juga harus memiliki kemandirian, dan keterampilan. Tidak hanya terampil memasak saja, namun terampil dalam segala hal. “Misalnya terampil dalam bidang bisnis, terampil dalam hal mencari uang, terampil membuat sesuatu, terampil membuat film, terampil melukis, terampil menulis. Whatever yang penting perempuan itu terampil. Buat apa? Untuk membantu perekonomian suaminya,” katanya.

Film Kartini diharapakan bisa menjadi inspirasi bagi semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan. (Kabari1008)