Karya Cipta Indonesia (KCI) adalah sebuah Lembaga Kolektif Manajemen (LKM) yang berbadan hukum yayasan. Wadah ini sebagai pemegang hak cipta yang dikuasakan oleh pencipta sebagai pemilik hak cipta sesuai Undang – Undang Republik Indonesia No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta.

 

Dharma Oratmangun, S.Sos.M.SI selaku ketua umum KCI

Pada tanggal 12 Juni 1990, KCI didirikan oleh para musisi kawakan seperti Enteng Tanamal, Aryanto Titiek Puspa, Guruh Soekarno Putra dan masih banyak lagi nama musisi senior yang terlibat untuk mendirikan KCI LMK tersebut bersama dengan PAPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia)

Dharma Oratmangun, S.Sos.M.SI selaku ketua umum KCI memaparkan tujuan dari didirikannya KCI, “KCI didirikan khusus untuk mengatur, mengelola, meng-collect kemudian menditribusikan royalty atau hak-hak dari para pemilik hak cipta di tanah air khususnya para pencipta lagu,” terang Dharma saat wawancara dengan Kabari di kawasan Fatmawati, Jakarta.

Di seluruh nusantara, untuk pemberi kuasa atau anggotanya berjumlah kisaran 3000an para pemilik hak cipta dan ahli waris.

Lebih lanjut dikatakan Dharma, para pemilik hak cipta di berbagai daerah memiliki kurang lebih 14 perwakilan, yang terdiri dari pencipta lagu daerah, tradisional, kemudian para legendaris, kemudian ahli waris lagu-lagu nasional, kurang lebih ada 8 komponen yang dikuasakan di KCI.

Lainnya menurut dia, hal ini merupakan perintah undang-undang, bahwa para pemilik hak cipta ini harus berada di dalam apa yang disebut sebagai LMK seperti yang dijalankannya. baru kemudian hak-hak ekonomi tersebut bisa didapatkan.
“Jika para pencipta lagu pemilik hak cipta tidak masuk dalam LMK sesuai Undang – Undang, hak tersebut tidak bisa mendapatkan hak ekonominya,” jelas Dharma.

Para pendiri Karya Cipta Indonesia

Lanjutnya, ia mengatakan, “Oleh karena itu wajib hukumnya para pemilik hak cipta ini mendaftar atau menguasakan karya ciptanya di LMK untuk bisa di-collect hak-haknya, kemudian didistribusikan kepada pemilik hak cipta baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal melalui ahli warisnya, inilah gambaran umumnya tentang KCI,” terang Dharma.

KCI, melalui perjalanannya hingga 25 tahun mengalami sebuah pasang surut yang sebenarnya butuh perjuangan panjang.
Dalam hal ini, tidak semua para pengguna hak cipta di Indonesia menyadari bahwa undang-undang mengenai hal tersebut sudah ada sejak tahun 1987 yang silam.
“Para pemilik hak cipta juga harus disosialisasikan tentang hak-hak mereka, apalagi perintah undang-undang no 28 ini jelas-jelas menyebutkan bahwa pemilik hak cipta untuk mendapatkan hak ekonominya itu harus terdaftar atau harus melalui lembaga manajemen kolektif,” ujar Dharma.

Lanjutnya, “Dia tidak bisa menggunakan kolektif sendiri-sendiri dan itu sudah perintah undang-undang sejak tahun 2014 dan itu sudah berlaku seperti itu,” imbuhnya.

Bagi Dharma, pasang surut tersebut mengalami dinamika serta romantika. Sehingga pasang  surut menurutnya, bahwa para user / pengguna di Indonesia sebenarnya belum mematuhi perintah undang-undang.

“Dan terkesan melanggar hak cipta dengan disadari maupun tidak disadari, karena ketika kita melakukan komunikasi, baru berupaya terkaget-kaget, padahal sejak tahun 1987 Undang-Undang itu sudah ada bahkan dipertegas terus hingga ada perubahan Undang – Undang,” jelas Dharma.

“Kemudian pada tahun 2002 – 2014 dipertegas lagi pasal tentang Lembaga Manajemen Kolektif ini pada pasal 87 dan 88 yang jelas-jelas tertulis di dalamnya,” katanya.

Dinilai Dharma, para pengguna tersebut mengabaikan begitu saja. Ia menegaskan, bahwa royalty bagi para pemilik hak cipta di tanah air, jika dihitung dalam nilai ekonomisnya, tarifnya paling rendah di dunia. “Selama 20 tahun lebih, tidak naik-naik, kalaupun naik diprotes, jangankan naik, kita minta aja, mereka minta diskon,” terangnya.

Memiliki prinsip TAAT (Transparan, Akuntabel, Akseptabel, Terpercaya) diharapkan KCI, menurut Dharma, prinsip transparasi terpercaya ini bisa diterima. “Kita lakukan penyelanggaraan kegiatan kolektif maupun distribusi yang diamanatkan oleh undang -undang dan itu diperintahkan oleh para pendiri KCI,” katanya.

Apa yang menjadi hak daripada pemilik hak cipta tersebut diselenggarakan oleh KCI LMK dengan sebaiknya, komunikasikan kepada para user supaya bisa menerapkan prinsip KCI, yaitu TAAT.

Dengan demikian para anggota maupun para pemilik hak cipta tersebut bisa menerima apa yang menjadi haknya, ditegaskan kembali oleh ketua umum KCI, bahwa LMK ini bukan lembaga dep kolektor yang terkenal sangar karena menagih utang, “Ini mesti kita luruskan persepsi ini di masyarakat, kita ini lembaga KCI, bukan lembaga penagih utang, tapi dia justru membantu para pengguna hak cipta supaya tidak terjadi pelanggaran hak cipta, disitulah fungsi lembaga ini dibentuk, “Jelas Dharma yang juga sebagai pencipta lagu ini.

Menjalankan perjuangan sering ditemui akan kendala dan tantangan, Dharma mengungkapkan, “Kendala utama adalah para pengguna ini merasa bahwa kalau dia sudah beli CD atau dia putar-putar di tempat-tempat yang memberikan dampak ekonomi, dia rasa dia udah beli CD jadi dia tidak perlu bayar lagi, padahal perintah undang-undang itu adalah ketika sebuah karya cipta digunakan lalu memberikan dampak ekonomi bagi penyelanggara yang menggunakan jasa atau lagu musik tersebut itu wajib hukumnya untuk mereka memohon izin / mendapatkan izin dari pemilik hak cipta,” katanya.

Melihat para pemilik hak cipta tidak bisa keliling dunia untuk melakukan controlling, maka melalui LMK inilah bisa dibantu melakukan controlling, kemudian bantu untuk mengumpulkan lalu didistribusikan kepada pemilik hak cipta tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelanggaran hak cipta.

Diakui Dharma, perhatian pemerintah terhadap LMK sudah cukup baik terlihat dari peraturan menteri dan perintah undang-undang.

Selama puluhan tahun KCI berdiri, sudah melakukan kampanye di berbagai forum, namun hal ini disampaikan ketua umum KCI jika kampanye dilakukan sendiri secara masif, “Apa jadinya jika kita melakukan kampanye sendiri secara masif, berapa biaya untuk itu, kita harus potong untuk manajemen terhadap karya cipta itu, kita menyiasatinya bekerja sama dengan pemerintah,” terang Dharma.

Berdasar pada pelanggaran hak cipta masih terbesar di Indonesia karena kurangnya kesadaran terhadap pelanggaran hak cipta, dengan demikian KCI melakukan kampanye besar-besaran. Dengan harapan kementerian Hukum dan HAM bisa memberikan skala prioritas. Selain itu, BEKRAF pun melakukan kampanye dengan cukup baik meski belum maksimal. Hal ini perlu kesadaran menyeluruh bagi para pengguna yang masih belum sampai pencapaiannya, bahkan kini tercatat belum mencapai hingga pada level 30 %.

Dengan demikian, KCI terus berjuang dengan cara kampanye secara masif bekerja sama dengan para pengguna, karena bagi KCI, para pengguna bukanlah musuh, namun para pengguna adalah sahabat para pemilik hak cipta.

“Dengan mereka menggunakan hak cipta sebanyak-banyaknya tentunya income bagi para pemilik hak cipta, sebanyak-banyaknya juga. Oleh karena itu, kita akan terus menerus melakukan komunikasi dengan para pengguna,” tegas Dharma.

“Kita minta pemerintah setempat sebagai payung memberikan ruang, memediasi ruang itu untuk terjadi komunikasi yang elegan, saling menghargai supaya bangsa kita tidak disebut bangsa pelanggar hak cipta,” pungkasnya.

“Salam hangat dari para pemilik hak cipta yang masih belum mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya sesuai dengan perintah Undang-undang, namun doakanlah, semoga para kreator ini dapat berkarya terus untuk menghibur bangsa dan negara walaupun hak cipta kami masih dilanggar dimana-mana. Terima kasih, salam musik Indonesia,” pesan Ketua Umum KCI di akhir wawancara dengan Kabari.