Bumi Nusantara diberkahi dengan flora dan fauna yang sangat beranekaragam, salah satunya bekantan yang menjadi maskot kebanggaan provinsi Kalimantan Selatan. Bekantan memiliki ciri tubuh (morfologi) yang membedakannya dari spesies primata lainnya. Selain warnanya yang pirang, satwa dengan nama ilmiah Nasalis larvatus ini juga memiliki hidung yang mancung (khususnya untuk bekantan pejantan). “Bekantan juga memiliki selaput renang yang menjadikannya perenang dan penyelam ulung,” ungkap Ketua Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), Amalia Rezeki.

Hasil pendataan bersama Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan dan SBI dalam 4 tahun terakhir menunjukkan populasi bekantan di luar kawasan konservasi mengalami penurunan yang cukup tajam, yakni sekitar 30 sampai 50%. Sebaliknya, bekantan yang berada di dalam wilayah konservasi mengalami penambahan populasi dari 300 (2013) ke kisaran 800 ekor (2017). Amalia menilai penurunan populasi bekantan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti alih fungsi lahan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit, perburuan, dan perdagangan satwa liar.

Sejak didirikan pada tahun 2013, SBI selah ecara aktif melakukan berbagai upaya pelestarian bekantan melalui:

  • Program rescue dan evakuasi bekantan yang mengalami konflik dengan manusia dan satwa liar lainnya.
  • Pembangunan sanctuary dan pengembangan pusat rehabilitasi.
  • Pelepasliaran bekantan ke habitat aslinya.
  • Sosialiasi dan edukasi konservasi mulai tingkatan siswa taman kanak-kanak hingga mahasiswa.
  • Pengembangan eco wisata yang mempertahankan prinsip-prinsip konservasi dan mendukung perekonomian masyarakat yang berbasis kearifan lokal.

Sejauh ini, SBI telah melakukan 30 kali evakuasi bekantan dan berhasil melepasliarkan kurang lebih 20 ekor bekantan ke habitat alamnya. Menurut Amalia, lamanya proses hingga mencapai tahap pelepasliaran kembali ke habitat dapat memakan waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 3 tahun, tergantung latar belakang kasus yang dialami oleh masing-masing bekantan.

Wanita yang sehari-harinya berdinas sebagai Dosen Universitas Lambung Mangkurat ini mengaku SBI tidak bisa bekerja sendiri dalam mengupayakan pelestarian fauna khas Kalimantan tersebut. Menurutnya, penduduk dapat melaporkan kepada yayasan yang diasuhnya sekiranya ada bekantan yang perlu diselamatkan. “Masyarakat juga bisa membantu untuk menggalang dana bersama untuk menyelamatkan sisa-sisa hutan dan kantong-kantong vegetasi yang ada supaya tidak terjadi konflik antara manusia dan satwa liar (khususnya bekantan),” tambahnya.