KabariNews – Polemik hak angket KPK kian terus memanas. 7 fraksi dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) menyatakan menyetujui hak angket, sedangkan 3 fraksi menolaknya. Nantinya ke-7 fraksi dalam DPR akan membentuk Panitia khusus (Pansus) Hak Angket KPK. Namun di balik itu, penguatan dukungan penolakan hak angket terhadap KPK oleh masyarakat juga kian bertambah. Dukungan masyarakat tidak hanya menolak secara langsung melalui petisi atau aksi-aksi lainnya guna mendukung KPK juga terus mengalir. Masyarakat juga mendukung dengan cara menggugat Pansus DPR hak angket KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena masyarakat menilai, hak angket KPK hanya bertujuan untuk melemahkan KPK.

Sejalan dengan itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode tahun 2008-2011. Mahfud MD mempertanyakan kewenangan DPR dalam hak angket KPK yang akan dibawa ke dalam Pansus saat Diskusi yang bertemakan “Pro dan Kontra Hak Angket KPK Dalam Perspektif Hukum”, di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Kamis (20/07).

Diskusi yang juga dihadiri oleh pakar-pakar hukum seperti Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM. Yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Trimulya D. Soerjadi, SH. Advokat ternama, dan Dr. Ferry Amsari, SH MH. Tampak juga dalam diskusi tersebut Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntha dan perwakilan dari KPK.

Sebenarnya diskusi itu akan lebih menarik jika Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR-RI dan Dossy Iskandar, Anggota Komisi III DPR-RI hadir ditengah-tengah diskusi itu. Namun, dengan adanya Sidang Paripurna DPR-RI yang digelar bertepatan dengan jadwal diskusi, Fahri Hamzah dan Dossy Iskandar akhirnya tidak bisa hadir dalam diskusi tersebut.

Lebih jauh pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957 ini, mengemukakan pandangannya tentang Pemerintah sebelum mengulas lebih dalam tentang hak angket KPK. Pemerintah itu apa sih? Pemerintah itu punya arti dua. Yang pertama, pemerintah dalam arti generik. Hal itu ada di dalam ilmu konstitusi. Sedangkan yang ke dua, yaitu pemerintah dalam arti spesifik. Itu ada di dalam konstitusi. Jadi ini berbeda antara ilmu konstitusi dengan konstitusi. Sama bedanya ilmu hukum tata negara dan hukum tata negara itu beda.

Di Indonesia kalau mengatakan pemerintah, pasti itu lembaga eksekutif. Misal kata Mahfud, DPR mengadakan rapat dengan presiden, artinya rapat dengan aparat presiden. Kalau rapat dengan KPK atau rapat dengan MA (Mahkamah Agung) tidak disebut rapat dengan pemerintah, walaupun KPK dan MA adalah pemerintah dalam arti luas.

“Kalau saya sekarang rapat konsultasi dengan BPK, bukan pemerintah. Karena kalau kita menyebut pemerintah pasti presiden”, ujar Mahfud.

Bukti itu ada dalam pasal 4 ayat 1, presiden memegang pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian pasal 5, Presiden membuat peraturan pemerintah untuk melaksanakan undang-undang. Pasal 22, dalam hal kepentingan yang memaksa, presiden membuat peraturan pemerintah. Jadi pemerintah selalu presiden dalam arti konstitusi kita, bukan arti dalam ilmu konstitusi kita.

“Nah sekarang saya ingin katakan bahwa KPK bukan pemerintah” tegas Mahfud.

Dan sejak negara Republik Indonesia lahir tidak pernah menganut Trias politika, itu salah. Karena hal itu ada dalam ilmu konstitusi, bukan di dalam konstitusi. Kalau di dalam konstitusi, kita sejak awal sudah menganut Spanca AS Politik atau lima poros kekuasaan antara lain Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, Auditif, dan konsultatif. Hal itu merupakan poros-poros yang sejajar di negara kita.

Sekarang kita menganut Hasta AS atau delapan poros kekuasaan yang sejajar, antara lain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, MK, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), dan MA. Jadi beda antara ilmu konstitusi dengan konstitusi.

“Kenapa bukan KPK? Karena KPK ada di luar eksekutif. Sama sekali tidak masuk dalam pemerintah, apa lagi dikaitkan dengan Trias Politika”, kata Mantan Menteri Pertahanan era Kabinet Persatuan Nasional.

Lebih dalam Mahfud mengatakan, Komisioner KPK itu tidak diangkat oleh presiden, namun diresmikan. Karena menurut hukum itu diresmikan bukan di angkat. Kalau diangkat itu seperti menteri itu diangkat pemerintah. Kemudian seperti Direktur Jenderal dan sebagainya, itu angkat setiap berjenjang oleh lembaga eksekutif. Tapi seperti DPR, MA, MK, dan KPK itu diresmikan oleh presiden bukan diangkat oleh presiden berdasarkan kekuasaan eksekutifnya.

Dan semua tugas KPK tidak ada yang berkaitan dengan pemerintahan, lebih dekat ke yudikatif. KPK lebih dekat ke kuasi yudikatifnya.

“Disitu letak perbedaan saya dengan DPR dan sesama pakar dengan pak Yusril”, jelas Mahfud.

Menurutnya, ilmu itu benar berdasar perspektif-nya, ilmu itu benar berdasarkan komprehensif-nya. Tetapi dalam ilmu hukum, ilmu yang semula bersifat general benar-benar berdasarkan perspektif-nya itu mutlak jurnal-nya tentang keputusan KPK.

Sudah banyak keputusan-keputusan hakim yang berkaitan dengan KPK, seperti keputusan hakim MK nomor 16 dan 19 tahun 2006. Pada halaman 168, menyebutkan, bahwa teori-teori Trias politika itu sudah usang. Kemudian di halaman 269 yang menyebutkan, KPK bukan bagian dari pemerintah tetapi bertugas dan berwenang dalam hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesuai dengan pasal 24 ayat 3 Undang-Undang Dasar.

“Waktu jaman saya, KPK itu di gempur lagi, KPK harus masuk dalam pemerintah.  Saya buat keputusan nomor 05 tahun 2011 di halaman 75 yang menyebutkan, KPK adalah lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan hal-hal yang terkait dengan kekuasaan kehakiman sesuai dengan pasal 24 ayat 3 Undang-Undang dasar. Ini keputusan MK”, ungkap Alumnus Universitas Islam Jogjakarta ini.

Dengan logat Maduranya yang masih kentara, Mahfud berkata, KPK masih diserang lagi. Kembali lagi keputusan pak Hamdan (Hakim Konstitusi-red) pada tahun 2013, perkara nomor 49 halaman 30 yang menyebutkan, pembentukan lembaga terkait fungsi kekuasaan kehakiman seperti KPK mempunyai landasan konstitusional sesuai dengan pasal 24 ayat 3 Undang-Undang Dasar.

Sedikit intermezo, Mahfud menceritakan dirinya ketika berada di Kroasia dimintai keterangan pada sidang MK perkara nomor 49 melalui jaringan skype. Kemudian ia mendengar pak Yusril Indra Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara-red) yang mengatakan, kalau pak Mahfud begitu, tanding dengan saya di pengadilan, kita debat perkara. Kemudian Mahfud menjawab, lho ngapain kan sudah ada keputusannya.

“Saya kemarin juga kirim salam ke KPK. Kenapa anak-anak menggugat lagi KPK, wong sudah ada keputusannya. Paling-paling nanti keputusannya tidak dapat diterima MK, Karena kemarin sudah ada keputusannya dan sudah selesai”, terang Mahfud.

Dengan tegas Mahfud mempertanyakan “ Apa ada keputusan yang lebih kuat dari keputusan hakim?

Bahkan saya katakan hal itu ke DPR. Anda yang membuat Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 yang membuat adalah DPR, tentang kekuasaan kehakiman pasal 38 ayat 2 yang berbunyi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait dengan kekuasaan kehakiman.

Lalu KPK ke mana?

Kalau Kejaksaan, kehakiman, dan Kepolisian ke DPR karena memang secara resmi diangkat oleh eksekutif. Tapi kalau KPK?.

“Nah oleh karena itu, kalau mau berdebat di pengadilan silahkan buka keputusan. Pasti selesai, gak ada lagi pengadilan”, ujar Mahfud.

Maka berdasarkan pemikiran itu dengan tegas Mahfud katakan, saya katakan KPK tidak bisa diawasi dengan hak angket DPR. Ini Tata Negara.

Lalu timbul pertanyaan, kalau begitu KPK tidak bisa diawasi? menjawab hal itu, Mahfud mengatakan, bisa! Buktinya diawasi oleh kejaksaan. Contoh, kata Mahfud kembali, kasus Bibit dan Candra Hamzah, pernah ditangkap dan dimasukkan ke penjara, meskipun akhirnya keputusan hakim yang menyatakan mereka tidak bersalah. Karena tidak terbukti menerima uang. Itu berarti KPK bisa diawasi.

Kemudian contoh lainnya seperti MK juga bisa diawasi. Buktinya Aqil Muchtar dan Patrialis Akbar di tangkap. Semua bisa diawasi. Cuma pengawasan itu tidak dengan angket.

“Saya bilang, hukum yang lebih berat dengan angket, lakukan. Saya juga bertanya, kalau kesimpulan anda menemukan KPK sarat dengan begini-begini apa yang anda lakukan? Buat rekomendasi kan. Kalau itu Cuma buat rekomendasi sekarang juga bisa, ngapain pakai hak angket. Wong kesimpulannya sudah ada”, tegas Mahfud.

Beda kalau hak angket ke pemerintah, kalau anda menemukan sesuatu untuk mengangket pemerintah. Itu bisa dinyatakan pendapatnya kalau bisa menyelesaikan. Tapi bisa pendapat berikutnya, Impeachment ke presiden. Kalau KPK tidak ada, siapa yang mau memecat KPK? DPR atau presiden? Gak bisa.

Walaupun diundang-undang terkait DPR itu ada yang menyatakan, DPR mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan atau angket dalam pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan pemerintah.

Kemudian Mahfud mengibaratkan dengan setiap orang kalau berkendara sepeda motor harus membawa SIM. Tapi SIM untuk setiap jenis kendaraan itu berbeda. Sama dengan setiap anggota DPR yang berhak mengawasi setiap lembaga negara. Tetapi kalau mau mengawasi presiden dengan hak angket itu bisa. Kalau mau mengawasi KPK bisa menggunakan RDP atau pakai pengadilan itu bisa. Tapi kalau pakai SIM A untuk mengendarai truk itu tidak bisa.

Lebih lanjut Mahfud menjabarkan keterangannya, alasan saya itu bersumber atau berdasar pada pasal 79 ayat 3 beserta penjelasannya yang mengatakan, setiap pelanggaran hukum harus diadili. Tapi pengadilannya berbeda-beda. Sama KPK bisa diawasi atau dihukum, tapi tidak dengan hak angket.

Secara resmi saya juga bertanya ke DPR soal prosedur, menurut Undang-Undang MD 3 keputusan hak angket itu di putuskan dalam pleno melalui musyawarah untuk mufakat atau kalau tidak musyawarah mufakat itu voting. Kemarin itu dilakukan secara musyawarah atau voting?

Tak lama Mahfud menirukan jawaban yang ia peroleh dari DPR yang menjawab, tidak musyawarah dan tidak voting. Mestinya kata Mahfud, kalau ada yang tidak setuju jangan dilakukan. Itu artinya tidak mufakat dan harusnya bisa dilakukan voting.

Mahfud melanjutkan pertanyaan ke dua pada DPR soal prosedur kembali. Dalam undang-undang MD 3 yang mengatakan ada 2 pasal yang menyatakan bahwa panitia angket harus diwakili oleh semua fraksi. Sedangkan saat ini ada tiga fraksi yang tidak setuju bagai mana?

Mahfud pun menirukan kembali jawaban DPR pertanyaan tersebut saat rapat dengar pendapat di gedung DPR, “sebentar lagi masuk”. Tak pelak suara tawa dari peserta diskusi pun terdengar.

Menurut Mahfud, ini akhirnya bukan mencari kebenaran, tapi mencari menang. Kalau mencari menang, DPR bisa berbuat apa saja dan keputusannya bisa melalui hak apa saja.

“Ini mau mencari menang-menangan atau mau menurut hukum”, ujarnya.

KPK bisa diangket, tapi melalui pemerintah. Bukan KPK-nya yang diangket. Artinya atas intervensi pemerintah.

Mahfud menyimpulkan, bahwa di dalam sudut prosedur keputusan hak angket DPR terhadap KPK sudah menyalahi undang-undang dan ilegal. Seperti panitia hak angket sudah bekerja sejak tanggal 15 Juni. Sedangkan Surat Berita Negara sebagai alasan legalitasnya baru keluar pada tanggl 4 Juli. Kalau di lihat dari sudut pemerintah sudah jelas, bahwa KPK itu bukan pemerintah. (kabari 1003/foto dan video 1003)