KabariNews – Terlahir dengan nama Umiyati di Temanggung, Jawa Tengah, 50 tahun yang lalu, Ima merupakan bocah miskin anak dari petani penggarap. Tapi tekadnya untuk maju sangat kuat. Dia pun rela tinggal di asrama panti asuhan agar bisa makan banyak dan bersekolah.

“Ini adalah keagungan Tuhan, saya sebetulnya dari keluarga yang sangat miskin, bukan hanya miskin, karena orang tua saya hanya buruh tani, artinya tidak punya lahan pertanian,“ kata Ima

Sejak kecil Ima suka belajar, dan ketika SD ia nekad datang ke pastoran menemui suster mengajukan diri untuk bisa ikut sekolah dan tinggal di asrama pastor. Meskipun pada minggu pertama ia meminta pulang. Ima berkisah, saat tiba di kampung dirinya minta kembali ikut suster ke sekolah, karena sesampainya di rumah ternyata tidak ada makanan, hal inilah yang membuat ima ingin kembali ikut suster.

Sejak itu ima tidak pulang lagi ke kampung halamannya dan kembali mengikuti pendidikan di sekolah suster. Ketika tamat SD, ima meneruskan SMP di Jogja.

Saat itu makanan menjadi motivasi agar dirinya bisa maju, dari sepotong roti milik anak ibu asrama yang ia tempati, muncullah semangat agar dia bisa menjadi juara kelas untuk bisa membeli roti. Menurutnya, hal kecil seperti itulah bisa menjadikan motivasi untuk bisa sekolah yang lebih tinggi lagi. “Saya tidak pernah menjadi orang yang cengeng, bagaimana aku bisa mendapatkan makanan itu dengan cara yang positif,“ kata Ima.

Mengalami batu krikil dalam perjuangan merupakan hal biasa, namun baginya, kebangkitan merupakan solusi terbaik untuk mencapai mimpinya.

Bagi Ima hidup itu harus mencapai target dan selangkah lebih maju, “Jadi saya selalu yakin bahwa kalau kita mau, itu sebetulnya kita bisa melakukan, dan ini yang ingin saya berikan kepada orang lain bahwa kita bisa melakukan sesuatu dan kita bisa mencapai target itu,“ ujar Ima.

Menjadi wanita yang kuat, ia pun bersyukur atas pencapaian tersebut dengan usaha yang maksimal. Ketika menemui anak didiknya yang memiliki karakter seburuk apapun, bahkan seliar apapun serta seagresif apapun, menurut Ima, jika ditangani dengan pendekatan hati yang tulus maka anak akan merasa tenang sehingga anak menjadi adaptif (menyesuaikan diri), anak pun bisa menjadi pribadi yang mandiri.

Mendidik anak autis adalah kebahagiaan yang tak tertandingi, meskipun mengalami pahit getirnya bersama anak autis. Sedih, panik, ketika melihat anak sakit, karena biasanya anak autis tidak bisa mengeluh merasakan bagian mana yang sakit, untuk itu ia sangat memperhatikan kebersihan serta asupan makanananya.

Namun dibalik kepanikan tersebut ia merasakan bahagia ketika menerima kejutan baru dari anak didiknya. Ima sendiri memiliki pikiran yang selalu positif untuk menghadapai anak autis, meskipun ada sebagian orang berpendapat miring tentang anak autis.

Ima sangat bahagia mendidik anak autis apalagi jika sudah pada tingkat pencapaiannya. Ia berkisah, pada suatu saat menemui anak didiknya sedang marah besar karena terlambat dijemput oleh orang tuanya, anak itu marah sekali, ima menilai kemarahan anaknya justru unik, pasalnya dia bisa menempatkan kemarahan pada hal yang postif, “Dia masuk ke kamar mandi kemudian kloset duduk nya diangkat,“ cerita Ima.

Menurutnya, kemarahannya positif karena tidak memukul kepada orang lain atau diri sendiri, dia justru masuk kamar mandi dan meluapkan kemarahannya.

Dijelaskan ima, pada umumnya anak autis jika sedang meluapkan emosinya, biasanya menghancurkan benda yang ada disekitarnya, bahkan jika ada orang lain, maka dia yang kena imbasnya, misalnya ditendang atau digigit, melihat kemarahan anak tersebut, bagi Ima adalah prestasi dan membuat dirinya bahagia pasalnya kebahagiaannya terukur dari perkembangan anak.

Pesan Ima kepada orang tua yang memiliki anak autis, sebaiknya anak jangan dibiarkan menganggur karena nanti si anak akan cooling down dengan sendirinya, untuk menanganinya adalah memberikan makanan yang tepat yang sudah dianjurkan dokter makanan apa yang boleh dimakan. Selain itu, beri anak kegiatan yang berguna hingga waktu yang terbatas, karena biasanya anak autis tidak memiliki rasa capek. Kemudian setelah melihat hasil diatas, para orang tua harus berikan apresiasi kepada sang anak.

Selanjutnya, ima menambahkan, jika ketiga pilar tersebut dijalankan dengan baik, anak akan merasa senang, pun begitu orang tua juga merasakan hal yang sama,

“Ciptakan kebiasaan ketiga hal tersebut semaksimal mungkin, buang rasa kesedihan, kekecewaan yang berkepanjangan, syukuri apa yang sudah menjadi nikmat dari Tuhan,“ pungkas Ima penuh bijak.(Kabari1008)