KabariNews – Ajang Los Angeles Asia Pacific Film Festival (LAAPFF) tahun ini kembali menampilkan sebuah film asal Tanah Air. Mewakili Indonesia kali ini adalah film Ini Kisah Tiga Dara karya Nia Dinata.

Film tersebut mengisahkan tentang tiga dara yang diboyong oleh ayahnya ke Flores. Ketiganya adalah Gendhis (Shanty), Ella (Tara Basro) dan Bebe (Tatyana Akman). Ketiga bersaudari yang berbeda karakter ini menjalankan bisnis hotel milik keluarga di Maumere. Suatu ketika Oma (Titiek Puspa) datang ke keluarga ini karena merasa khawatir melihat ketiga cucunya yang selalu sibuk bekerja dan belum memiliki pasangan hidup. Di sisi lain, Krisna (Ray Sahetapy) yang merupakan ayah mereka, dijadikan kambing hitam oleh oma karena dianggap tidak mampu mengatur cucunya. Kedatangan Oma dalam hidup Gendhis, Ella dan Bebe membuat ketiganya kembali mempertanyakan mimpi dan ambisi mereka. Terutama ketika Oma memilih urun rembug soal jodoh cucu-cucunya.

Film musikal yang dibintangi oleh Shanty, Tara Basro, dan Tatyana Akman ini terinspirasi oleh film lawas berjudul Tiga Dara (1956) besutan sineas legendaris Usmar Ismail. Nia mengaku sangat menggemari film Tiga Dara sejak ia kecil. Melalui film ini, ia hendak mengingatkan publik Indonesia akan posisi wanita, baik dalam relasi dengan dirinya sendiri dan keluarga. Menurutnya, perbedaan kedua film yang terpaut 6 dekade tersebut terletak pada peran dan karir wanita yang kini jauh lebih dinamis. “Masing-masing mempunyai passion di luar keinginan hanya untuk
mencari jodoh,” imbuhnya.

Terjun ke dunia perfilman sejak tahun 1998, Nia telah melahirkan banyak film. Beberapa di antaranya seperti Arisan, Ca-bau-kan, dan Berbagi Suami. Meski demikian, pembuatan Ini Kisah Tiga Dara bukan tanpa tantangan. “Tantangannya ya tantangan musikal itu sendiri karena harus mencampur antara adegan dramatis, musikal, menari, dan aktingnya sendiri,” ungkapnya saat menjelaskan mengenai tantangan terbesar yang dihadapinya kali ini.

Seperti film-film karyanya yang lain, Nia secara konsisten menampilkan isu-isu sosial yang relevan di Indonesia. Keberaniannya dalam mengungkap hal-hal tersebut seringkali dianggap kontroversial di dalam negeri, tetapi justru banyak diapresiasi dan digemari oleh dunia internasional. Alhasil, film-film karya sutradara berdarah Minang dan Sunda ini pun sering tayang di berbagai film festival internasional.

INDUSTRI PERFILMAN TANAH AIR DI MATA NIA DINATA

Sebagai salah satu tokoh perfilman Indonesia yang memulai kiprahnya di awal abad ke-21, Nia menilai industri perfilman Tanah Air telah menelurkan banyak film (rata-rata 90-100 film per tahun) dengan hasil dan genre yang sangat bervariasi. Hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya investor yang menanamkan modalnya di sektor industri kreatif tersebut.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Nia menilai peran pemerintah masih berada di sideline dan belum nyata. “Pemerintah harus lebih berani memberikan insentif-insentif terhadap pembuat film Indonesia,” sarannya. Adapun insentif yang dimaksud mencakup perundangan dan peraturan pemerintah, terutama dalam manajemen tayang dan sistem perpajakan. Cucu pahlawan nasional Otto Iskandardinata ini juga berharap pemerintah Indonesia dapat melahirkan kebijakan yang lebih konkret dan berpihak pada sineas dalam negeri. Meski demikian, dengan lahirnya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Direktorat Jenderal Kebudayaan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pihaknya merasakan sedikit perubahan pada aspek partisipasi keduanya dalam hal promosi film Indonesia di luar negeri.

Saat disinggung mengenai rencananya ke depan, Nia mengaku tidak muluk-muluk dan mengalir saja. Ia mengaku akan tetap membuat film dengan topik yang kesukaannya, terutama yang mengangkat isu kesetaraan. (Kabari1007)