KabariNews – Pernah hidup di jalanan menumbuhkan kepekaan dan empati kepada kaum papa. Nurrohim yang berasal dari keluarga berada ternyata pernah menjalani hidup yang tak biasa. Kenakalan di masa muda menjadi pembelajaran baginya. Tahun 2000, ia memutuskan membangun Sekolah Master Indonesia. Ini merupakan  sekolah gratis untuk kaum marjinal, mulai dari pemulung, pengasong dan pengamen. Kini Sekolah Master Indonesia telah berdiri selama 17 tahun, ribuan anak telah berhasil lulus dari sekolah ini. Bagaimana perjuangan Nurrohim membangun sekolah ini?

Pagi itu cuaca Kota Depok mendung, Kabari mendatangi Sekolah Master Indonesia yang berlokasi di belakang terminal terpadu Depok, Jawa Barat. Sambil menunggu Nurrohim, Founder Sekolah Master Indonesia, Kabari melihat-lihat bangunan sekolah yang tidak umum. Gedung sekolah ini unik karena ‘terbuat’ dari container. Tak hanya itu, pada dindingnya digambari layaknya coretan graffiti di jalanan.

MERINTIS

Tak lama menunggu, Kabari bertemu dengan Nurrohim. Ia menyapa Kabari dengan hangat. “Silakan duduk,” katanya membuka pembicaraan siang itu. Diceritakan Nurrohim, awal mula mendirikan Sekolah Master Indonesia, karena keprihatinan melihat anak-anak usia sekolah yang tidak mampu bersekolah. “Yang melatarbelakangi berdiri Sekolah Master, kita berangkat dari keprihatinan. Depok dikenal sebagai kota pendidikan, perdagangan, pemukiman yang nuansanya religius. Kita liat perguruan tinggi UI (Univeristas Indonesia,-red) ada di Depok. Inilah membuat hati saya miris, kota pendidikan tapi banyak usia sekolah yang ga bisa sekolah dan putus sekolah,” terang pria yang lahir di Tegal, Jawa Tengah ini.

Lanjut Nurrohim karena melihat situasi seperti itu, ia bersama beberapa remaja masjid dan aktivis mahasiswa menginisiasi dan menggagas adanya pendidikan alternatif bagi masyarakat marjinal. “Banyak anak-anak pengamen, pengasong, pemulung di usia-usia sekolah, mereka punya keinginan sekolah cuma keterbatasan ekonomi dan akses pendidikan, sehingga terpaksa mereka turun ke jalan. Jadi keinginan mereka sekolah tinggi, tapi tidak mungkin mereka kita arahkan ke sekolah formal, harus ada pendekatan khusus. Jadi pendidikan yang sifatnya informal,” ucap Nurrohim yang menyelesaikan studi S1 dari Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM.

Karena memiliki keinginan kuat agar anak-anak marjinal ini bisa sekolah, Nurrohim mulai mengumpulkan anak-anak kaum papa ini untuk diajari. “Kita kumpulin (anak-anak) di kios-kios saya di situ (terminal,red). Tempatnya ga nampung, kita pinjam bis-bis yang lagi nunggu penumpang, kita pakai sarana belajar. Jadi sambil bermain, berdiskusi. Jadi awalnya komunitas ini kita ngeriung, kita makan bareng, kita berdiskusi. Kita latih mereka punya skill, belajar komunitas lah,” kata Nurrohim yang saat itu menjadi supplier sembako untuk warung di seputaran Terminal Depok.

Seiring waktu, Nurrohim menyadari bahwa anak-anak ini membutuhkan tempat khusus agar mereka bisa belajar dengan lebih baik. “Jadi kita minta izin di emperan masjid di terminal karena masjid itu sebagai fasus dan fasum Pemkot Depok untuk pengguna jasa terminal. Jadi kita koordinasi dengan kepala terminal, polisi yang ada di terminal dan pengurus masjid. Nah, kebetulan aku diminta sebagai koordinator masjid di situ,” ucapnya.

Karena belajar dekat masjid dan berlokasi di terminal hingga kelompok belajar ini dinamakan Sekolah Master (Masjid Terminal.) “Jadi awalnya di situ, rahim kegiatan kami,” katanya.

Saat mulai mendirikan Sekolah Master pada tahun 2000, ada 20-30 orang anak yang datang untuk belajar. Setiap minggu bertambah yang datang belajar. Nurrohim memiliki pendekatan khusus agar semakin banyak anak yang datang untuk bersekolah. “Jadi mereka anak-anak ini gerombolan, berkelompok dan masing-masing kelompok itu selalu bangga dengan abang-abangnya. Jadi ini kayak kafilah. Kalau abang-abang/komandan itu sudah kita deketin, nah yang lain ikut,” katanya tertawa.

Dikatakan Nurrohim membutuhkan waktu 2 tahun sampai berdirinya Sekolah Master Indonesia. Jadi pra sekolah itu 2 tahun. Saya buat komunitasnya. Setelah kita pilah komunitas, mulai SD, SMP sambil kita nunggu pengajar-pengajarnya. Tahun 2002, kita bikin kelas SD, lalu SMP, SMA tahun 2003, 2004,” ucapnya.

Ketika Sekolah Master Indonesia baru didirikan, dalam seminggu 3 proses belajar berlangsung hanya 3 hari. Waktu itu, anak-anak marjinal yang diajari hanya pengamen, pengasong, dan pemulung. Saat ini kaum marjinal yang belajar di Sekolah Master makin beragam. “Sekarang udah nambah anak jalanan, anak terlantar, anak-anak berkebutuhan khusus, dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum,” tukasnya.

Biasanya mereka mulai ke sekolah, setelah melakukan aktivitas ‘sosial’. “Setelah mendekati jam 10 udah mulai panas, di saat itu sambil santai kita ngeriung. Pola pikir mereka sudah terbuka, mereka berpikir sudah harus berubah nasibnya. Perubahan itu dimulai dari pendidikan. Mereka punya harapan, mimpi, cita-cita 5 tahun ke depan harus jadi apa. Artinya mereka sudah punya harapan dan cita. Nah tugas kita mendampingi, menjembatani mereka kepada pemangku kebijakan. Kami sadar punya keterbatasan dari sisi keilmuan dan finansial, jadi saya jadikan isu bersama. Bahwa pendidikan itu problem kita semua. Seandainya anak terlantar ini tidak mendapat pendidikan yang baik dan layak, mereka akan menjadi beban negara, pemerintah. Karena itu, mereka harus diberi bekal hidup, dibina dari sisi karakter, akhlak, dan harus dibekali keterampilan,” jelasnya panjang lebar.

Seiring waktu, para relawan harus menyesuaikan, dan mendalami apa keinginan anak-anak marjinal ini. “Kita harus melakukan pendekatan khusus, mereka nyaman dulu. Makanya kita dirikan di tempat-tempat nongkrong, jadi komunitas itu datang ke sini. Mau main musik, mau olahraga, yang penting mereka menghargai kita. Jadi tempat ini bukan untuk mabuk, narkoba, tapi untuk istirahat,” ungkap suami dari Elvirawati.

Yang paling mereka butuhkan adalah tempat perlindungan. “Komunitas mana yang mau menerima mereka dengan segala keterbatasan. Jadi mereka selama ini menjadi orang yang tidak diakui, menjadi orang asing di negerinya sendiri. Mereka dicaci maki, dicemooh, dicibir, bahkan dituduh pelaku kriminal. Saya melihat mereka adalah korban. Korban ketidakberdayaan keluarganya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Seharusnya masyarakat peduli dan negara hadir, mereka juga korban sistem negaranya juga. Jadi kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya bagi anak-anak ini. Negara suatu waktu akan mengalami bencana sosial, kalau orang-orang ini menjadi berandal dan menjadi pendendam. Mereka akan buat keonaran di mana-mana,” terang Ayah dari Faisal, Rayhan, Sabrina dan Nalinda.

Para anak-anak kaum marjinal ini tidak hanya diajari mata pelajaran sekolah, tapi mereka juga diberikan informasi dan motivasi. “Pendekatan kayak bimbingan konseling, jadi lebih kepada motivasi, wawasan, lebih ke pengayaan informasi. Kalian bisa loh dapat hak-hak seperti ini. Jadi kita menjembatani untuk mewujudkan impian, harapan mereka. Jadi orang-orang yang punya kapasitas berbeda berdatangan ke sini. Jadi kalau kita menyelesaikan masalah jangan ributin masalahnya, tapi bagaimana kita duduk bareng mencari solusi masalah. Mereka adalah orang-orang yang dari hulunya sudah bermasalah, dari keluarga-keluarga yang broken, keluarga miskin. Jadi dari situ keterbatasan wawasan, pengasuhan, dan pendidikan. Karena itu dalam pendekatannya, mau ga kita menjadi struktur keluarga yang hilang. Kita bisa menjadi kakek, abang, kakak, bunda. Kayak anak-anak itu beda-beda manggil saya, ada yang encang, abang, babe. Yang penting nyaman,” ujar pria yang hobi baca ini tersenyum.

Jadi di Sekolah Master Indonesia ini, anak-anak datang karena membutuhkan tempat berlindung dan bernaung.
“Di sini mereka bisa mendapatkan kenyamanan dan ketenangan. Guru atau relawan yang bergabung dengan sekolah kami ini, mau bersahabat dengan mereka, “Imbuh pria yang lahir 3 Juli 1971 ini. “Teman-teman mahasiswa yang terlibat, mereka punya kepedulian yang tinggi, mereka semangat luar biasa,” sambungnya bangga.

Model pendidikan di Sekolah Master Indonesia berbeda dengan sekolah umum lainnya. Nurrohim beserta teman-temannya membuat program sekolah berdasarkan kebutuhan. “Makanya kurikulum di sini model sekolah pendidikan khusus dan layanan khusus. Bisa dibilang education for all jadi model. Semua orang bisa sekolah dari anak-anak sampai yang punya anak. Jadi kita kalau mau bikin program, kita diskusi, kita berikan angket, ada pilihan-pilihan, pilihan terbanyak kita berikan prioritas. Minimal kurikulum berdasarkan kebutuhan (KBK). Tugas relawan ini bagaimana menjadi sahabat, juga memotivasi, menginspirasi peserta didik dan menggali potensi. Setiap orang kecerdasan yang berbeda-beda. Nah kita coba keunggulan-keunggulan ini, kita lejitkan, matangkan, lalu kita kelompokkan,” tukasnya.

Nilai-nilai utama hidup diajarkan kepada anak-anak marjinal ini. “Minimal dia nyaman dengan kebaikan, bahwa jadi orang baik itu ternyata nyaman, tidak dicurigai. Boleh di jalan tapi punya adab, punya etika. Kalaupun mau ngamen, mau mulung, jangan dalam kondisi mabuk dan tidak membawa senjata tajam, Bagaimana kita ajarkan bahwa mereka punya rasa, walaupun miskin tapi kepeduliannya tinggi, artinya membantu orang kan tidak harus dengan uang. Ketika orang mau nyebrang, atau orang bawa berat dibantuin,” tukasnya.

Dari hal-hal sederhana yang diajarkan itu, berita tentang Sekolah Master tersebar. Bahwa yang utama adalah perubahan mental dan karakter. “Jadi awalnya saya dibilang mengumpulkan gerombolan pencoleng, saya diduga aneh-aneh. Apalagi mereka kan suka tidur sembarangan, duit pada hilang, nah mereka biasa nitip uang ke saya. Bagi mereka yng tidak tau, pikirnya orang setoran upeti, atau uang keamanan,” katanya.

Anak-anak marjinal yang mulai nabung ini ternyata membuat orangtuanya senang. “Ada orangtua yang datang, senang anaknya punya tabungan. Perilakunya banyak yang berubah. Jadi sekolah yang berbasis karakter dan entrepreneur itu di sini. Dari wara wiri, jadi wirakarya dan wirausaha,” imbuhnya.

Sebagai Pendiri Sekolah Master, Nurrohim sangat mengutamakan pendidikan karakter dan keterampilan. “Mereka kan berangkat dari gerombolan Romusa (rombongan muka susah), mereka orang-orang yang terpuruk, udah bodoh, miskin, penyakitan. Kata orang Betawi bilang, udah ketiban ember dan kerek-kerekannya, apa ga bonyok. Jadi minimal orang miskin tapi dia sehat, juga pintar, jadi produktif, bisa berdaya, secara skill mereka mumpuni, jadi ketika dia masuk dunia kerja, punya ijazah, akhlaknya baik, itu bisa bersaing dengan yang lain. Kalau dia mau wirausaha, kita sudah bekali itu, jadi bisa berdaya. Dengan pendidikan ini bisa memutus mata rantai kemiskinan dan keterpurukan, itu yang kita harapkan,” terangnya.

Saat ini Sekolah Master punya program yakni satu keluarga, satu sarjana. “Karena pendidikan ini bisa mengangkat martabat, dan derajat keluarga. Jadi tidak direndahkan lagi. Kalau dulu ibunya paling tukang cuci, kalau ada satu anaknya sarjana. Kita ingin memasterkan masyarakat yang marginal, harapan kita itu pengentasan kemiskinan, keterpurukan, keterbelakangan dengan pendidikan,” ucapnya.

MELULUSKAN RIBUAN ORANG

17 tahun berdiri, Sekolah Master sudah meluluskan ribuan orang. “Satu tahun untuk SMA saja kita meluluskan sekurang-kurangnya 600-800 orang. Kita mulai ujian dari tahun 2005, jadi alumni udah banyak, 6-7 ribu orang. Mereka sudah tersebar di berbagai perguruan tinggi, perusahaan swasta, dan wiraswasta. Jadi kalau saya ke pasar, ke mall, banyak yang negor, itu karyawan dari satpam, cleaning service, SPG itu hampir 30% alumni master di Jabodetabek. Karena mereka baru masuk wilayah itu. Ke depannya lebih dari itu. Suatu saat level manager itu bagian dari master,” katanya.

Target Nurrohim, 10 tahun ke depan, mulai dari kepala dinas, DPRD hingga walikota adalah lulusan dari Sekolah Master Indonesia. “Jadi kita ingin membangun peradaban masyarakat yang lebih baik, jadi bukan hanya membangun sekolah aja. Jadi suatu bangsa mau maju itu bagaimana generasinya berani punya cita-cita tinggi, berani bermimpi. Nah kita ingin mendampingi impian-impian, harapan mereka. Jadi untuk masa depan yang lebih cerah, lebih baik lagi,” katanya.

TANPA DIPUNGUT BIAYA

Yang membuat Sekolah Master Indonesia ini istimewa karena siapa pun yang bersekolah di sini tidak dipungut biaya. “Semua gratis, tapi bayar juga pake DUIT (Doa, Usaha, Iman dan Tawakal),” kata Nurrohim tersenyum.

Karena membangun sekolah gratis, Nurrohim punya trik khusus agar bisa mencukupi berbagai kebutuhan. “Kita punya program pemberdayaan ekonomi untuk membiayai ini semua. Tapi memang uniknya Master, kita swadaya. Jadi ini bukan sekolah Jepang tapi pake yen di sini, yen ono (ya ada) ya dikasih, yen ga ono (ya ga ada), ya terima kasih karena gotong royong. Jadi ada donasi waka produktif, waka produktif itu orang mendonasikan dana, tapi bukan untuk kebutuhan konsumtif tapi untuk pemberdayaan. Jadi kita bikin di sektor riil yang bergerak di bidang jasa, perdagangan dan supplier pengadaan barang. Kita juga pengembangan sektor ekonomi, peternakan, pertanian. Kita punya juga jasa perbengkelan, dari hasil-hasil ini kita sisihkan untuk operasional, disamping ada program CSR perusahaan, atau personal yang peduli program ini,” kata Nurrohim.

Dalam membangun Sekolah Master Indonesia, Nurrohim menerapkan managemen berbasis keluarga. “Artinya bukan karyawan tapi relawan. Kita budidayakan para alumni ini, mereka menjadi kakak asuh, pendamping bagi adik-adik dan ini seperti keluarga. jadi misalnya program pengabdian, anak SMA ngajarin SD kelas 1, 2. Ngajar baca tulis, hitungan. Jadi di sini murid jelangkung, relawan juga banyak jelangkung, datang ga diundang, pergi ga diantar,” katanya tertawa.

Bagi para tenaga pendidik, pedekatan yang dilakukan Nurrohim adalah relawan, bukan karyawan. “Kalau karyawan itu harus ada gaji UMR. Kalau di sini ada UMR juga, Upah Minimum Relawan. Yah sekadar untuk kopi, transport, untuk beli pulsa, itu pun kalau ada.

Jadi rata-rata orang yang datang ke sini mendonasikan ilmu, kemampuan dan potensi untuk anak-anak,” kata Nurrohim.

Selama membangun sekolah Master Indonesia, banyak hal dialami Nurrohim. Ia pun mengaku biasa jika mengalami kekurangan uang untuk biaya operasional sekolah. “Itu biasa, tapi kelaparan sih ga. Justru keterbatasan itu, kita menjadi orang yang selalu optimis. Orang yang optimis itu di saat kesulitan itu pasti banyak kesempatan. Banyak Kesempatan belajar, merenung, introspeksi, supaya kita bangkit semangatnya. Tapi orang pesimis walaupun banyak kesempatan, dia selalu nemu kesulitan, karena dia selalu bingung terus hidupnya, ga punya tujuan, harapan, Semangat. Kita modalnya berani, terjun dan bismillah. Pasti orang yang menyayangi hamba-hambaKu di bumi, maka Sang Pencipta di langit akan menyayangi kita, akan memberikan kemudahan bagi hamba-hambaku di sini. Jadi pada dasarnya orang yang berbuat baik itu bagi diri kita sendiri, kita menanamkan energi positif, managemen berkah. Dengan kita semakin banyak berbuat baik, itu akan balik ke kita juga. Insya Allah hidup kita lancar, sehat. Artinya rizki itu ga harus harta yang berlimpah, tapi kita punya saudara, teman yang baik, relasi itu bagian dari kekayaan yang berlimpah yang tidak bisa diukur dengan materi. Persahabatan, pertemanan, persaudaran itu bagian dari kenikmatan dan keberkahan hidup. Jadi di situ kita percaya bahwa kesulitan itu, ada kemudahan,” jelasnya optimis.

Lanjut Nurrohim, di dalam kesulitan itu pasti ada pembelajaran. “Jadi karena hidup kita selalu optimis, sehingga kita tidak perlu mengeluh. Orang hebat itu selalu dihasilkan dari proses yang sulit, tapi orang yang dihasilkan dari kondisi nyaman aja, dia pasti tidak sedahsyat, seperkasa orang-orang yang dihasilkan dari kesulitan. Jadi harus banyak tempaan, kesulitan, kita tumbuh menjadi besar, dewasa, bijaksana,” katanya.

Nurrohim bersyukur, anak-anak yang lulus dari Sekolah Master Indonesia, sudah banyak yang melanjutkan di perguruan tinggi di Indonesia maupun luar negeri. “Di UI aja udah 12 orang, terus di UIN, UNJ, belum perguruan tinggi di luar negeri. Luar negeri ada hampir 20 orang, semua itu beasiswa. Jadi nanti mengabdi lagi ke sini, tapi ada juga yang ke Perguruan Tinggi Swasta,” ucap Nurrohim.

Untuk mendukung pendidikan para anak-anak lulusan Sekolah Master Indonesia ini, Nurrohim bekerjasama dengan banyak lembaga. Mulai dari Rumah Zakat, Baznas, dan Dompet Duafa. “Lalu ada program CSR Bank Mandiri, Danamon. Kita juga buat proposal ke Antam, Nindya Karya, atau personal melalui orangtua asuh,” kata Nurrohim. “Jadi kalau anak pintar otomatis dicari jalan untuk kuliah. Maka kita motivasi, yang penting keterima dulu di PTN, PTS, masalah ke sono udah gampang,” imbuhnya.

TANTANGAN

Mengakhiri pembicaraan dengan Kabari, Nurrohim mengatakan tantangan yang dihadapi Master dewasa ini. “Kita berada di kawasan bisnis, jadi dari sisi tempat, banyak diminati, banyak diincar para pengembang. Jadi bagaimana master ini harus pindah. Kita berhadapan dengan birokrasi, perizinan,” tukasnya.

Nurrohim berharap Sekolah Master Indonesia menjadi sekolah percontohan. Suatu waktu menjadi mitra pemerintah pusat, dan daerah, supaya diberi penguatan kapasitas kelembagaannya, dan didukung dari sisi sumber daya manusia. “Ayo kita duduk bareng bahwa Master ini bukan punya saya, tapi punya warga Depok sehingga dinas pendidikan, dinas sosial bisa duduk di sini, artinya tugas kita semua. Berharap ke depan tidak boleh lagi anak-anak di negeri ini yang tidak bisa sekolah. Jangan sampai anak-anak menjadi asing di negeri sendiri. Jadi bagaimana mengakses sumber ekonomi, pendidikan. Itu harus kita fasilitasi, agar para pemangku kebijakan membuat kebijakan yang bisa dirasakan anak-anak seperti ini,” pungkasnya. (Kabari1009)