KabariNews – Menulis kasus-kasus sensitif membuat Febriana Firdaus rawan ancaman. Ia bercerita saat masih menjadi wartawan  Tempo, saat itu ia sedang meliput tentang penganiayaan yang dialami Tama Satria Langkun dari Indonesian Corruption Watch. “Saya bahkan diancam oleh terduga dari pelaku penganiayaan, dan saya memutuskan untuk menginap di kantor Tempo untuk keselamatan,” katanya

Setelah kejadian tersebut, Febri justru banyak menulis berita mengenai korupsi, minoritas, dan kasus 1965. “Naluri sebagai manusia tentu ada rasa takut, tapi rasa tanggungjawab sebagai jurnalis lebih besar. Karena saya merasa kalau saya tidak menulis, saya tidak tau jurnalis mana lagi yang mau menulis tentang topik itu, “ tegasnya.

Wanita berhijab ini menceritakan tantangan selama bekecimpung di dunia jurnalistik. Baginya wartawan bukan hanya  menulis, namun lebih memberikan perspesktif. “Karena banyak dari wartawan-wartawan, ya mungkin saya juga di masa lalu hanya menulis atas perintah redaktur, tapi wartawan itu sendiri tidak memberikan warna di tulisan itu tentang apa yang dia rasakan dilapangan dan apa yang dia temukan, sehingga dia bisa memberikan perspektif tentang berita yang dia tuliskan. Misalnya soal LGBT, mungkin dari kantor atau dari redaktur diminta untuk meminta tanggapan terhadap MUI, kelompok LGBT, “  imbuhnya.

Menurut Febri, menulis saja tidak cukup. Semestinya harus dapat memberikan perspektif kepada masyarakat. “Misalnya, kenapa sih isu LGBT muncul, padahal sebelumnya isu LGBT ini ga pernah muncul,“ tukasnya. Menghadirkan perspektif namun tidak terbawa arus, hal tersebut menjadi penting yang dianggap menjadi tantangan baginya.

Ancaman lain yang pernah dialaminya, ketika diintimidasi FPI. “Karena saya merasa kurang mendapat perlindungan dari orang-orang yang seharusnya melindungi saya,” ungkapnya.

Meskipun sempat down, Febri bersyukur ada orang yang mau  melindunginya. “Orang tersebut cukup memiliki power dan sangat credible, mental saya kembali terbangun,“ ujar Febri. (Kabari1008/foto&video:1008)