KabariNews – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mencatat di tahun 2016, belum menunjukan tanda-tanda perbaikan situasi ekologis terutama di Pulau Jawa.

“Setidaknya telah terjadi 127 kasus sosial ekologis. Situasi tersebut didorong oleh dua faktor yaitu faktor regulasi yang lebih condong ke pihak kepentingan investasi, bahkan cenderung mengancam keselamatan lingkungan. Dan faktor berikutnya  adalah faktor tidak adanya perlindungan masyarakat yang sedang berjuang menyelamatkan lingkungan,” kata Rere Cristanto, Koordinator Walhi Jatim saat jumpa pers di markas Walhi Jatim, Jalan Karah 7H Surabaya.

Lanjut Rere, regulasi yang tidak berpihak kepada keselamatan ruang hidup rakyat menjadi momok. Rezim pembangunan infrastruktur menjadi penanda utama, mengapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah masih tidak memberi harapan akan perbaikan situasi lingkungan.

“Sepanjang tahun 2016, Walhi Jatim telah menemukan berbagai regulasi, baik ditingkat nasional hingga di tingkat daerah yang bisa dianggap sebagai ancaman terhadap ekologi di Jatim,” ungkap Rere.

Menurutnya, setidaknya ada 69 regulasi yang dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan ekologi, dengan rician 35 regulasi di tingkat pusat, 3 regulasi di tingkat provinsi, dan 32 regulasi di tingkat daerah.

Salah satu regulasi di tingkat pusat yang menjadi problem penyelamatan lingkungan adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menjadi kepanjangan dari Master Plan Percepatan Perluasan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang membuka ruang besar-besaran terhadap investasi untuk masuk dan mengeksploitasi ruang hidup rakyat. Di sisi lain, regulasi daerah semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga melebarkan kepentingan pencaplokan wilayah.

“Kita bisa lihat saat ini, pencaplokan wilayah kelola rakyat dari luasnya lahan usaha pertambangan, baik migas (minyak dan gas) maupun mineral di Jatim. Disektor migas, tercatat 63 wilayah kerja pertambangan dengan pembagian 31 wilayah kerja pwertambangan dengan status eksploitasi atau KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama), dan 32 wilayah kerja pertambangan dengan status sedang dalam status eksploitasi.

Sementara itu disektor pertambangan mineral, menurut Rere, data yang dihimpun melalui Koordinasi-supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) untuk pertambangan mineral dan batubara menunjukan bahwa per tanggal 29 Agustus 2016, jumlah IUP (Ijin Usaha Pertambangan) di Jatim mengalami penurunan bila dibanding dengan data dari Kementrian ESDM di tahun 2012. Dari 378 IUP di tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016. Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jatim hanya 86.904 hektar, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jatim mencapai 551.649 hektar. Jika memacu pada dua data tersebut, kenaikan luasan pertambangan di Jatim mencapai 535% hanya dalam jangka waktu 4 tahun.

“Selain itu, perluasan lahan pertambangan di Jatim akan meningkatkan  konflik sosial ekologis. Hal ini ditandai dengan sering terjadi konflik ditengah masyarakat, “ kata Rere.

Walhi Jatim telah melakukan pemetaan wilayah Jatim yang berdampak pada kerusakan ekologi dan merekomondasikan kepada pemerintah untuk segera diperbaiki dan mencabut regulasi yang berdampak pada beban pencemaran dan kerusakan. Sebagai pulau dengan penduduk terpadat di pulau Jawa, Jatim mengalami beban puncak terhadap investasi, terutama dalam bentuk ekstraktif, karena industri ini rakus lahan dan air yang dapat memicu konflik sosial ekologis dengan masyarakat.

Pada wilayah Surabaya Raya yakni Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik, konflik berbasis ruang, perampasan kelola rakyat, dan pencemaran akan terus terjadi. Kemudian pada Wilayah Malang Raya yakni Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang, perusakan mata air dan wilayah tangkapan mata air, akan terus terjadi karena maraknya industri pariwisata. Lanjut di pesisir pantai Selatan Jatim yakni Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kabupaten Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi, akan terus dilanda konflik ruang akibat masifnya investasi pertambangan mineral. Kemudian di wilayah pantai Utara yakni Tuban, Lamongan, dan Bojonegoro, serta wilayah Madura beserta kepulauannya mengalami kerusakan akibat pertambangan karst (pabrik semen) dan investasi migas.

Dan terakhir di wilayah Mataraman yakni Madiun, Nganjuk, Ngawi, Magetan, Kediri, Blitar, dan Ponorogo akan terus mengalami konflik wilayah akibat wilayah kelola rakyat (agraria) dan berkurangnya kawasan produksi pertanian akibat alih fungsi.

Walhi Jatim juga mengharapkan agar pemerintah membentuk badan otoritas sungai Indonesia. Dengan maksud sebagai upaya untuk memelihara kelangsungan ekologi dan  keberadaan sungai-sungai di Indonesia dari hulu ke hilir. (Kabari1003/foto& video :1003)