Ketika senja mulai mengalihkan mentari menjadi gulita,
Yogyakarta pun menampakkan keindahan seperti burung merak. Tak lagi
seperti 30 tahun lalu, dimana malam hanya ditemani oleh radio atau TV
yang didengarkan bersama-sama. Yogyakarta telah berubah gaya tanpa
melupakan akarnya.

Kepenatan kaum terpelajar terhadap ilmu berganti dengan relaksasi sebagai penyeimbang ketegangan. Namun demikian, pilihan refreshing
tidak jatuh kepada budaya negatif yang merusak dan tak bermanfaat.
Bukan hiruk pikuk disko dan alkohol. Namun nongkrong ditemani
kecanggihan teknologi informasi adalah pilihan untuk membangun budaya
berkomunitas dan berinteraksi dengan sesama kaum terpelajar. Yogyakarta
dengan ribuan mahasiswa dan pelajar itu kini penuh dengan kafé ber-hotspot pelepas ketegangan.

Yogyakarta masih tak bergeser dari akarnya. Cerdas, menghargai
tradisi, sederhana dan sabar. Siang hari wisatawan menikmati batik dan
aneka kerajinan di pasar serta toko kerajinan milik rakyat. Para tukang
becak dan andong juga rajin menawarkan jasanya. Bila malam hari ratusan
pedagang makanan kaki lima menggelar dagangannya. Angkringan, gudeg dan
makanan lainnya mereka sajikan. Sesekali mahasiswa yang ngamen menghibur
mereka.

Itulah Yogyakarta kini. Kota penting untuk Indonesia sejak masa
perjuangan kemerdekaan itu sampai kini memperlihatkan keistimewaannya.
Bukan saja sebagai wilayah yang secara administratif dan sejarahnya
istimewa, namun kemampuannya menyerap modernisasi, sekaligus memelihara
tradisi yang ada.

Keraton dan jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi raja
sekaligus gubernur, masih menjadi sentral kekuatan Yogyakarta yang tak
terbantah. Raja itu telah menjadi kecintaan rakyatnya. Bahkan ketika
akhir tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) mempersoalkan monarki dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menimbulkan reaksi keras warga Yogya. Hal itu diucapkan SBY ketika rapat kabinet terbatas terkait dengan penyusunan RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK-Yogya).
Secara spontan dan terbuka, rakyat Yogya memilih referendum. Ketika itu
Yogya penuh dengan orasi dan demo yang memperlihatkan kecintaan mereka
pada Rajanya.

Masih dalam konteks RUUK Yogya, lantas ada
tuntutan untuk melepaskan baju partai politik dari Sultan. Sultan pun
mengiyakan. Dia tidak keberatan melepaskan baju politiknya untuk
kesejahteraan rakyatnya. Sultan Hamengkubuwono sebelumnya aktif di
Golongan Karya (Golkar) kemudian di organisasi masyarakat (ormas) yang
berubah jadi partai politik, yaitu Nasional Demokrat (Nasdem) Suatu
tindakan yang sangat bijaksana.

Sri Sultan memang raja DIY. Tapi
ketokohannya melampaui batas-batas kerajaan. Ia tidak hanya dicintai dan
dihormati orang di daerahnya. Banyak warga masyarakat di luar
Yogyakarta bersimpati dan menaruh harapan kepadanya demi Indonesia yang
akan datang. Dengan demikian ia bukan hanya tokoh etnis lokal, melainkan
tokoh nasional.

Kecintaannya terhadap rakyat kecil dan solidaritasnya terhadap rakyat
yang menderita, juga sangat kentara. Sultan sebagai kepala daerah, bisa
saja membangun Jalan Malioboro dan sekitarnya menjadi areal yang megah
dan mewah. Tetapi ia membiarkan kawasan itu apa adanya, agar rakyat
kecil bisa menggapai rezeki halal demi kehidupan mereka. Sejak ia naik
takhta, belum pernah lahir keputusan yang merugikan kepentingan rakyat.
Begitu merakyatnya sikap Sultan, sehingga bertebaran mitos yang
mengharukan. Suatu pagi, Sri Sultan berkeliling dengan mobil, untuk
menyimak kehidupan kota dan warganya. Tiba-tiba seorang pedagang ayam
menghentikannya, mengira itu mobil omprengan. Ketika akan membayar,
bakul ayam itu baru sadar bahwa pengendara mobil itu adalah Gusti Ngarsa
Dalem, Sri Sultan. Sang pedagang tidak bisa bicara. Ia hanya jatuh
lunglai, pingsan beberapa lama.

Pendekatan Kultural

DI Yogyakarta, seperti juga Indonesia Raya, merupakan gudang
multikultur. Di sana hidup dan tumbuh manusia, warga negara dengan
multietnis dan multikultural. Hampir semua suku bangsa terdapat di
Yogya, ditambah pendatang dari mancanegara, termasuk mahasiswa asing dan
turis musiman.

Hingga kini Yogyakarta masih merupakan gudang tradisi kesenian
adiluhung (indah dan luhur). Juga pemikiran-pemikiran kultural,
filosofis yang selain bermanfaat sebagai fondasi jatidiri bangsa, juga
merupakan inspirasi bangsa untuk menempuh perjuangan menghadapi serbuan
globalisasi yang makin deras. Yogyakarta merupakan tulang punggung
peradaban bangsa.

Selain itu, masyarakat Yogya super-religius. Di sana hidup berbagai
agama dan keyakinan, tanpa saling tabrakan. Yogyakarta merupakan gudang
kaum pembaru keislaman, juga benteng kekuatan nasionalis religius, serta
Islam Budaya. Di sana pun berdiri gereja-gereja dengan arsitektur yang
menyemarakkan keindahan kota.

Sri Sultan telah mendapat mandat rakyat. Kekuasaan telah
dipersembahkan rakyat ke pangkuannya. Sri Sultan kemudian
mempersembahkan takhtanya kepada segenap rakyatnya. Tahta untuk Rakyat. 

Salah satu indikasi pembangunan daerah adalah keberadaan jalan raya.
Lihatlah jalan-jalan mulai dari Jalan Malioboro hingga jalan-jalan di
Kabupaten Gunung Kidul. Misal di desa-desa Ponjong, Semin, Karangmojo,
Baran, semua aspal halus mulus tanpa cacat satu lubang pun. Kini dengan
perkembangan Yogyakarta yang luar biasa, Pemerintah Daerah setempat
merencanakan membangun bandara internasional baru menggantikan bandara
Adi Sucipto yang tak lagi menampung kegiatan transportasi udara di
wilayah itu.

Kehidupan Yogyakarta adalah kehidupan rakyat yang ulet dan punya daya
tahan luar biasa. Mereka yang termiskin pun tidak pernah menyerah pada
keadaan. Mereka melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Nasib
kaum miskin, kaum jelata, kaum melarat, kaum duafa, itulah yang
menyentuh hati nurani pemimpin Yogya untuk membangun dan mengubah nasib
mereka.

Umumnya rakyat Yogya adalah orang yang nrimo (ikhlas, red) namun bercita-cita besar. Cukup makan dua atau tiga kali sehari, sekadar sega-jangan
(nasi dan sayur), tanpa ikan atau daging. Tetapi mereka akan menangis,
jika anak-anaknya tidak mampu bersekolah. Di Yogyakarta sekarang, masuk
sekolah teramat mahal, dengan mutu pendidikan terlalu beragam. Ini
tantangan utama bagi para pemimpin dan budayawan Yogyakarta: kapitalisme
sekolahan.

Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur barangkali juga tidak lupa kata sebuah peribahasa lama: Jer Basuki Mawa Bea
(Keselamatan Harus Dibayar). Kesejahteraan itu ada ongkosnya. Dan Sri
Sultan telah membayarnya dengan melepaskan diri terlibat partai politik.
Ini berarti ia akan makin konsentrasi mengabdikan diri kepada rakyat
yang begitu mencintainya. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37134

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :