Bila seorang anak didiagnosis autisme, hal tersulit adalah,
menyiapkan hati orangtua. Hati orangtua bisa hancur mendengarnya. Banyak
yang mengingkarinya Yang mengerikan adalah orang tua yang akhirnya
menyembunyikan kondisi anak itu. Bahkan ada yang melakukan kekerasan
terhadapnya. Bila terjadi, lama-lama dunia sang anak makin kecil,
menyakitkan dan terasing dari dunia luar.

Anak-anak dengan spektum autisme, unik, Impulsif, Sulit diduga. Kalau
anak normal berteriak kegirangan, karena mesin pemotong rumput, seorang
autis mungkin akan ketakutan, menjerit, dan menangis. Bila anak normal
menangis tersedu-sedu karena kaki berdarah kena pecahan kaca, anak autis
terlihat biasa saja, tak tersiksa karena rasa sakitnya itu. Kalau anak
normal senang berada di pesawat terbang yang penuh orang, sang autis
sangat terganggu dengan banyaknya orang dan berusaha menghindar.
Terlihat aneh.

Autisme, ditemukan pertama kali oleh Leo Kanner, ahli kesehatan jiwa
pada tahun 1943. Dari kata “auto” yang berarti sendiri. Kanner
menjabarkan penelitian awalnya. Penelitiannya tentang 11 pasien kecilnya
yang berperilaku aneh, asyik dengan dirinya sendiri. Seolah-olah hidup
dalam dunianya dan menolak berinteraksi dengan orang lain. Pada umumnya,
penyandang autisme mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang
melibatkan mereka. Jika ada reaksi, biasanya reaksinya tidak sesuai
dengan situasi. Bahkan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari
atau tidak menanggapi terhadap kontak sosial, baik pandangan mata,
sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak sebayanya dan sebagainya.

Berbagai hipotesa muncul sebagai penyebab autisme. Kanner menduga
penyebab autisme karena terjadi gangguan metabolisma, sejak lahir. Tahun
1964, Benhard Remland seorang psikolog dan ayah seorang penderita
autisme, berhipotesa bahwa kelainan susunan saraf pusatlah yang
melandasi gejala autisme. Pada tahun 1950, Margareth Bauman dari Department of Neurology, Harvard Medicene School, dan Erik Courchense dari Department of Neuroscience, University of California, San Diego, memperkuat dugaan Remland. Mereka menemukan kelainan Susunan Saraf Pusat (SSP) pada beberapa tempat dari anak autisme.

Kelainan itu adalah pengecilan Cerebellum (otak kecil) terutama Lobus VI-VII. Lobus VI-VII berisi sel-sel Purkinje, yang memproduksi Neurotransmiter Cerotonin. Pada anak autisme, jumlah sel Purkinje sangat kurang. Akibatnya produksi Cerotonin minim sehingga penyaluran rangsang/informasi antar sel otak kacau.

Ditemukan pula, adanya kelainan struktur pada pusat emosi dalam otak
(sistem limbik), yang bisa menerangkan kenapa emosi anak autisme sering
terganggu. Penemuan ini membantu para dokter untuk memberikan terapi
yang bekerja pada SSP dan mampu memperbaiki
emosi, proses pikir dan perilaku. Hasilnya, anak menjadi lebih mudah
bekerja sama sehingga terapi lain dapat berjalan.

Pada tahun 1997, seorang anak autisme dapat “sembuh” setelah diberikan sekretin (hormon perangsang pankreas sehingga lancar memproduksi enzim peptidase). Selanjutnya banyak orangtua memburu sekretin untuk anak autisnya. Tapi tidak semua berhasil baik. Hal ini menunjukkan bahwa autisme adalah sebuah spektrum.

Seorang dokter ahli pencernaan bernama dr. Andrew Wakefield, yang
berkebangsaan Inggris, dengan endoskopi menjumpai peradangan usus pada
kebanyakan anak autisme. Penyebabnya adalah virus campak yang sama
dengan vaksinasi MMR. Akibatnya, sejak saat itu banyak orangtua yang menolak imunisasi MMR pada anaknya.Tahun 2000, Sallie Bernard, ibu seorang anak autisme meneliti vaksin yang memakai Themerosal dan menemukan bahwa gejala anak autisme hampir sama dengan gejala keracunan merkuri.

Autisme di Indonesia

Setiap tahun jumlah penderita autisme di Indonesia terus mengalami
peningkatan. Kementerian Kesehatan mencatat, angka penderita autisme
tahun 2004 sebanyak 475 ribu penderita. Sekarang diperkirakan setiap 1
dari 150 anak yang lahir, menderita autisme.

Gejala autisme mulai muncul di Indonesia sekitar tahun 1990. “Gejala
ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun
golongan ekonomi sosial,” kata Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI)
dr. Melly Budhiman. Kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang
autisme menurutnya membuat penanganan yang dilakukan tidak maksimal dan
sering salah. Bahkan oleh keluarga penderita autismaeitu sendiri.

Penanganannya berjalan lambat dan rumit. Para profesional, usaha
edukasi dan tempat terapi yang memadai, masih terkonsentrasi di
kota-kotau besar di pulau Jawa. Hanya ada 40 psikiater anak yang khusus
mengetahui soal autisme. Selain itu, biaya terapi yang mahal dan
berkepanjangan menjadi penyakit ini begitu terkesan eksklusif.
Pengobatannya sering tak terjangkau oleh golongan sosial ekonomi
menengah ke bawah. Parahnya, pendidikan untuk anak autisme belum bisa
dilaksanakan dengan baik, karena kurangnya kesiapan sekolah-sekolah.

Anak autisme tidak mendapat prioritas oleh karena keadaannya tidak
gawat dan autisme tidak menyebabkan kematian. Padahal, apabila para
penderita autisme tidak ditangani dengan benar, maka anak tersebut akan
menjadi sosok dewasa yang tidak bisa mandiri dan menghidupi diri
sendiri. Ia akan menjadi beban bagi keluarganya maupun pemerintah.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia baru akan mencanangkan pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme. Menurut
Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, pemerintah menargetkan
1000 sekolah khusus bagi penyandang autisme pada tahun 2014. Saat ini
hanya 200 sekolah khusus. Pihak Kementerian Pendidikan Nasional memang
telah mengeluarkan himbauan pada semua sekolah umum untuk menerima
anak-anak berkebutuhan khusus (inklusif). Namun kesiapan guru-guru untuk
memberikan pendidikan masih jauh dari memadai. Ketidaksiapan guru-guru
ini menyebabkan sekolah sering menolak untuk menerima anak berkebutuhan
khusus.

Sejarah autisme yang telah 68 tahun, sejak Leo Kanner menemukan 11
anak “aneh” terus menyisakan pertanyaan berat bagai misteri bagi para
orangtua, para ahli, para peneliti dan pemerintah. Tapi di balik
ketiadaan jawaban untuk mengatasinya, siapa pun masih dapat bernafas
lega dengan perjalanan beberapa individu autistik yang brilian dan
berjalan normal seperti yang kita temukan di sosok Temple Grandin.
Grandin seolah ingin menyudahi misteri yang belum terungkap itu dengan
kecemerlangan yang disuguhkannya. (Indah)

Untuk share atikel ini klik www.KabariNews.com/?36407

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :