Pers memiliki keistimewaan. Berempati ketika obyek teraniaya
dan menjadi kritis ketika obyek telah mapan. Dengan apa kekritisan itu
dibangun? Kepekaan terhadap realitas, ketajaman menganalisa, kekritisan
melihat fenomena, dan kejernihan dalam berpikir adalah dasar untuk
selalu melihat obyek dengan dialektis, tidak linier. Itu merupakan hal
yang harus dimiliki wartawan. Jika tidak, ia tidak dapat berbuat banyak
untuk kemanusiaan.

Kemanusiaan. Itu yang ditekankan oleh Jakob Oetama, pendiri
suratkabar terbesar di Indonesia; Kompas. Bagi tokoh pers yang
mendirikan harian Kompas bersama PK Ojong pada tahun 1965 ini, tugas
wartawan adalah setia pada obyektivitas, kebenaran dan kemanusiaan itu
sendiri. Bagi Jakob, pers harus bertindak bijaksana dalam masyarakat
yang terus berubah. Pers harus dapat melihat gejala-gejala dan
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat.

Tapi membesarkan Kompas bukan berarti lewat jalan tol. Terkait
hubungan antara pers dan kekuasaan, Jakob sempat diancam oleh pemerintah
untuk menghentikan Kompas yang dipimpinnya. Pada 5 Februari 1978.
Harian itu, Kompas, boleh terbit kembali jika Jakob mau menandatangani
surat permintaan maaf terhadap pemerintah, yaitu tidak mempersoalkan Dwi
Fungsi ABRI, tidak menurunkan berita yang
memperuncing konflik, dan tidak menulis tentang asal-usul kekayaan
Presiden Soeharto (hal. 24). Dengan berat hati, Jakob menandatangani
surat tersebut.

Namun Jakob punya alasan. Bersandar pada apa? Kemanusiaan tadi.
Dengan sikap yang terkesan kompromistis itu, ia dapat berbuat sesuatu
untuk masyarakat. Jika Kompas mati, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi,
begitu ia mengistilahkan. Selain itu, karena dia harus menghidupi 2000
karyawan dan ribuan agen dan pengecernya di seluruh Indonesia.

Namun, bagi sosok yang lebih senang disebut wartawan ketimbang
pengusaha itu, apa yang ia lakukan saat itu bukanlah semata-mata hasil
keputusannya, namun diyakini karena berkenannya Allah (providentia dei).
Itu sebabnya Jakob menekankan perlunya untuk bersyukur tiada henti
untuk semua yang telah terjadi.

Jakob adalah putra seorang pensiunan guru di Sleman, Yogyakarta. Setelah lulus SMA (Seminari) di Yogyakarta, ia mengajar di SMP Mardiyuwana (Cipanas, Jawa Barat) dan SMP
Van Lith Jakarta. Tahun 1955, ia menjadi redaktur mingguan Penabur di
Jakarta. Jakob kemudian melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi
Publisistik Jakarta dan Fakultas Sosial Politik UGM
Yogyakarta. Bersama PK Ojong mula-mula mendirikan majalah Intisari dan
kemudian harian Kompas. Kini Kompas mempunyai tiras 600 ribu setiap
harinya.

Buku ini terbit untuk memperingati ulang tahun Jakob Oetama ke 80.
Kini, bisnisnya tak hanya media massa, tapi juga jaringan penerbitan
buku, majalah , televisi dan hotel. Buku ini tidak hanya berisi
bagaimana wartawan harus menjalankan profesinya, namun juga bagaimana
setiap orang harus memaknai segala peristiwa dan pencapaian dalam
hidupnya sebagai anugerah dan berkat dari yang di Atas.

Judul: Syukur Tiada Akhir
Penulis: St. Sularto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: September 2011
Halaman: 669

(indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37526

Untuk

melihat artikel Buku lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :