KabariNews, Aparat penegak hukum merupakan ujung tombak pemenuhan keadilan bagi korban dalam sebuah proses hukum, termasuk pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dibutuhkan persamaan presepsi di kalangan aparat penegak hukum yang responsif gender untuk mengedepankan pemenuhan kepentingan korban perempuan dan anak.

 

Demi mewujudkan hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menyelenggarakan Pelatihan Sensitivitas Gender dalam Upaya Perlindungan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi Aparat Penegak Hukum (APH),” sejak tanggal 27-30 Juli 2018 di Bali.

 

“Keberhasilan sebuah proses hukum sangat ditentukan pada kualitas pemahaman dan responsifitas APH dalam penanganan yang mampu menyelesaikan kasus hukum dan melindungi para korban, termasuk perempuan dan anak sesuai dengan amanat Undang-Undang,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Vennetia R, Danes.

 

Vennetia sapaan akrabnya mengemukakan beberapa kendala, di antaranya yang paling dirasakan saat ini adalah belum tercapainya kesamaan presepsi yang responsif gender di kalangan APH tentang alat bukti kasus kekerasan yang kompleks, mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, serta koordinasi dalam pemenuhan hak korban.

 

“Hal ini juga mengakibatkan kurangnya responsifitas terhadap para korban yang mengalami taruma dari kekerasan itu sendiri,” kata vennetia.

 

Di sisi lain, Vennetia memberi apresiasi kepada arapat Kepolisian terkait adanya perkembangan pesat di kepolisian dengan bertambahnya Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek selain di Polres dan Polda. Ini merupakan langkah signifikan untuk meningkatkan ujung tombak proses hukum.

 

“Namun, kurangnya Polwan dan SDM yang terlatih masih menjadi kendala yang cukup besar,” akunya.

 

Kegiatan pelatihan diikuti oleh 250 peserta yang terdiri dari Hakim, Jaksa, Polisi, dan Advokad pendamping hukum Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

 

Dalam kegiatan tersebut, peserta mendapatkan paparan dari para ahli di bidangnya, di antaranya dari Kementerian PPPA, Aparat penegak hukum, berpengalaman, Obdsman RI, Komnas Perempuan, Akademisi, dan pihak UPT P2TP2A.

 

Selain itu, para peserta juga dibekali pengalaman melalui studi kasus dan simulasi penanganan serta perlindungan bagi perempuan korban kekerasan.

 

Berdasarkan hasil survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) di tahun 2016 yang dilakukan oleh Kemneterian PPPA bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), 1 dari 3 perem[puan di Indonesia telah mengalami kekerasan oleh pasangannya dan selain pasangan selama hidupnya.

 

Survey tersebut juga menemukan, bahwa 15,8 persen perempuan yang pernah atau sedang menikah pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangannya.

 

Sementara itu, 34,4 persen perempuan yang belum pernah menikah mengalami kekerasan seksual dari selain pasangannya.

 

“Yang patut disayangkan adalah belum semua perempuan yang menjadi korban tersebut dapat mengakses keadilan, karena lemahnya penegak hukum yang akhirnya membuat pelaku tidak mendapat efek jera dan kasus kekerasan terhadap perempuan terus terjadi,” kata Vennetia kembali.

 

Wanita kelahiran 27 Maret 1962 ini berharap, dengan adanya pelatihan ini dapat terwujud peningkatan kualitas pelayanan hukum, penguatan komitmen, koordinasi dan kerjasama di antara APH dalam sistem peradilan pidana terpadu melalui penegak hukum yang responsif gender.

 

“Peningkatan kualitas pelayanan hukum dapat diwujudkan melalui keterampilan advokasi, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan yang responsif gender dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak,” pungkasnya.