Kabari News – Hasratnya menggebu manakala banyaknya pengalaman hidup yang ingin dituliskan. Perjalanan yang  telah dilaluinya selama tiga tahun belajar di Philip Exeter Academy (PEA), Amerika Serikat menjadi semacam pemicu, Brea harus menuangkannya dalam sebuah buku. Hingga tiba saatnya,  jeda waktu setahun sebelum kembali menuntut ilmu di Amerika dimanfaatkannya untuk meracik kembali serpihan pengalamannya kata demi kata.  Alhasil buku pertamanya yang berjudul Bright Eyes pun tercipta dan sudah dijual di toko-toko buku belum lama ini.  Tidak tebal, namun cukuplah bagi Brea untuk berbagi cerita tentang pengalaman hidupnya selama tiga tahun, jatuh bangun yang dilalui selama menimba ilmu disana. Simak petikan wawancara penulis muda Brea Olivia Salim bersama kabarinews.com (15/7) di sebuah mal di bilangan Senayan mengenai buku perdananya ini.

Kabari: Bisa diceritakan buku Bright Eyes yang Anda tulis yang  belum lama ini diterbitkan mengisahkan tentang apa:

Buku saya ini bercerita soal pengalaman saya waktu sekolah di Philip Exeter Academy sebagai anak Indonesia satu-satunya selama tiga tahun kesana. Sekolah asrama ini bisa dibilang sekolah yang prestisus dan melahirkan alumni-alumni, semisal Dan Brown yang terkenal dengan bukunya Da Vinci Code, Mark Zuckerberg dengan facebook-nya, dan lainnya. Saya pas apply tidak pernah menyangka akan masuk dan tidak juga menduga setelah saya masuk, saya dikelilingi oleh anak-anak yang pintar yang mempunyai ambisi yang besar. Dan saya sempat shock juga menghadapinya, walaupun di sekolah dulu sering juara kelas tetapi saya merasa bukanlah apa-apa dibanding mereka. Contohnya di Philip Exeter Academy itu yang terkenal adalah hardness system-nya, jadi setiap kelas di Philip Exeter Academy  pelajar duduk around hardness table dan berdiskusi. Mungkin karena sudah bertahun-tahun sekolah di Indonesia, saya tidak terbiasa namun akhirnya terbiasa juga dengan keadaan yang ada.

Di buku itu juga menceritakan homesick-nya saya, pernah dua minggu sebelum tahun kedua disana saya kena demam berdarah sewaktu pulang keIndonesia dan waktu balik ke Amerika Serikat kondisi belum sembuh total. Saat itu dokter itu tidak ada yang tahu demam berdarah, dan tidak ada mengerti penyakit saya itu, benar-benar saya waktu itu merasa sendiri dan merasa jatuh. Tetapi dari perasaan jatuh ini saya merasa saya menemukan jati diri saya sebagai orang Indonesia. Berhubung juga saya suka menulis, saya menulis saja pengalaman saya disana tapi dari sudut pandang saya sebagai orang Indonesia dan buku ini merupakan kompilasi dari tulisan saya sewaktu di Philip Exeter Academy.

Kabari: Jadi bisa dikatakan buku perdana ini sebagai buku curhat Anda? Bagaimana awalnya Anda bisa masuk ke Philip Exeter Academy?

Ya bisa dikatakan begitu juga, saya tiga tahun disana dari tahun 2009 waktu berumur 15 tahun sampai tahun 2012. Philip Exeter Academy itu adalah sekolah asrama seperti halnya SMA tetapi sifatnya private school dan  saya di satu-satunya orang Indonesia selama tiga tahun. Kalau dilihat dari waktu berdirinya sekolah itu sampai sekarang, saya adalah orang Indonesia ketujuh yang pernah sekolah disana, dan saya wanita Indonesia kedua yang pernah masuk. Untuk masuk kesananya sih sendiri sih sama seperti kita ingin masuk ke sekolah lainnya, saya mengirimkam aplikasi kesana dan melakukan berbagai tes yang ada.

Kabari: Bagaimana dengan adaptasi Anda disana karena seperti yang diketahui Anda masuk sebagai orang baru dengan lingkungan yang juga baru?

Itulah yang saya ceritakan di buku ini, orang tua saya bukan lah yang termasuk ambisius. Saya jadi pas kesana mereka berkata kamu belajar saja semampu kamu.  Dan ini berbeda dengan teman-teman saya yang punya prinsip work as hard, kamu harus masuk Harvard, Yale dan yang lainnya. Saya di tahun pertama belum terlalu ngeh dengan kondisi yang ada, tetapi setelah tahun berikutnya, saya benar-benar merasakan ketatnya kompetisi yang ada. Berada dalam situasi ini, saya juga sering curhat ke orangtua soal problema saya disini. Kamu itu orang  Indonesia dan orang jawa, pasrah saja ke Tuhan merupakan jawaban terbaik.

Kabari:Buku Anda terbit dalam bahasa Inggris, adakah rencana untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia?

Mungkin nanti, karena originaly write-nya dalam bahasa inggris saya hanya ingin pembaca membacanya dalam bahasa Inggris. Belum tentu juga dengan menerjemahkan tulisannya ke dalam Bahasa Indonesia cerita yang ingin saya sampaikan punya makna yang sama. Tapi jika buku ini banyak yang ingin berminat untuk di bahasa Indonesiakan kenapa tidak?

Kabari:Buku ini sendiri sepertinya tanpa melibatkan penerbit ya katakanlah penerbit besar dan sepertinya dalam proses pembuatan buku ini Anda melakukannya sendiri?

Seperti Indie books saja, saya yang mengerjakan semuanya senndiri,hanya untuk editornya saya mencari orang Amerika, desain dan ilustrasinya saya menggunakan jasa orang juga. Selain itu saya yang melakukannya sendiri, mulai dari approach ke bookstore, nge-print sendiri, sampai ke launchingnya. Dalam proses ini saya bisa menempati posisi saya sebagai creative control dari buku saya sendiri.

Kabari:  Dari terbitnya buku Bright Eyes ini apa yang Anda harapkan atau sampaikan kepada para pembaca Anda tentang buku ini?

Dengan buku ini saya dapat berbagi pengalaman selain saya juga suka menulis, saya menulis tentang saya sedang terpuruk dan itu termasuk unik bagi orang yang jauh-jauh datang ke Amerika Serikat. Mungkin biasanya orang menulis pengalaman isinya adalah hal-hal yang mengasyikkan atau menyenangkan  saja saat ada di Amerika Serikat, tetapi di buku ini saya tidak demikian. Selain itu saya juga  ingin berbagi bahwa di usia saya yang ketika itu masih belasan tahun, perasaan jatuh atau yang lainnya adalah part of human process dan kita bisa belajar supaya menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya. (1009)  

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?68109

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

lincoln