Happy Salma, salah satu seorang pelaku seni tanah air yang memiliki ketertarikan yang besar terhadap sastra Indonesia. Keseriusannya ditandai dengan terbentuknya Titimangsa Foundation di tahun 2007, yang hingga kini terus berupaya mengembangkan karya sastra Indonesia.

Wanita yang memiliki nama lengkap Jero Happy Salma Wanasari (38) ini mengawali karirnya melalui dunia peran yang kurang lebih sudah bermain di 30 judul sinetron pada tahun 2008 yang silam. Selain itu, Happy juga bermain dalam pementasan Teater Nyai Ontosoroh di Gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada tahun 2007 lalu. Dan kemudian, ia melarikan diri dari dunia selebritas ke dunia sunyi, dunia menulis.

Penggagas Titimangsa Foundation ini pernah sukses mementaskan Bunga Penutup Abad pada tahun 2016 dan 2017 yang silam. Naskah pementasan yang diprakarsainya merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer.

Keseriusannya mengenalkan karya sastra di era milenial ini tidak diragukan lagi, sebagai bentuk kecintaannya terhadap karya seni sastra, Titimangsa Foundation berama Dia.Lo.Gue dan didukung oleh Djarum Foundation menggelar pameran karya sastrawan Tanah Air handal, Pramoedya Ananta Toer.

Pameran yang digelar 12 tahun pasca meninggalnya Pramoedya ini diberi tajuk Namaku Pram: Catatan Arsip. Happy mengaku alasan mengapa ia memilih tema ini pada gelaran tersebut.

“Saya main ke rumah beliau di Bojong Gede. Waktu itu untuk minta izin pementasan Bunga Penutup Abad. Terus saya lihat rumah beliau banyak sekali karya, arsip dan catatan-catatannya. Jadi kalau pertunjukan saya sukses, saya ingin memamerkan karya ini,” ujar Happy Salma saat acara pembukaan pameran Namaku Pram: Catatan dan Arsip di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta.

Selain itu, ia berkisah, “Bayangkan, saya ketinggalan pulpen tahun 2004 aja masih ada catatannya. Tulisannya ‘Milik Happy Salma, tahun 2004, jam sekian’ saya aja sudah lupa. Bagi saya dokumentator terbaik adalah Pramoedya Ananta Toer. Jadi apa yang sudah dikumpulkan oleh Pram saya mikir gimana caranya biar bisa dilihat semua orang,” kenang Happy.

Menurutnya, pameran ini dinilai penting karena selain mengenalkan karya sastra juga mengedukasi para generasi muda bahwa Indonesia pernah memilki sastrawan terbaik dengan karya bernilai tinggi. Karya Pramoedya Ananta Toer juga masih relevan untuk dinikmati para pecinta sastra lintas generasi.

Happy Salma mengaku menjadi salah satu penggemar sastrawan tanah air ternama Pramoedya Ananta Toer sejak dirinya masih di bangku kuliah, “Ada buku yang saya penasaran sekali, waktu itu saya membaca Gadis Pantai, Sang Pemula,” katanya.

Selain itu, karya Pramoedya Ananta Toer atau yang dikenal dengan nama Pram, banyak tulisan Pram yang mewakili wanita Indonesia, bagi Happy sangat berpengaruh pada keghidupannya sebagai kaum hawa, “Tidak bisa dipungkiri, saya secara pribadi, dalam memilih dan bertindak dalam hidup saya terpengaruh juga karena karya-karya Pram, karena Pram selalu megatakan dalam karya building karakter, membentuk karakter dan saya pikir banyak sekali terinspirasi dan memberi kekuatan saya di dalam menjalani kehidupan dan itu karena karya-karyanya Pram dan itu energi positif yang saya ingin tularkan kepada banyak orang,” katanya.

“Berbahagialah orang yang bisa makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”

Kutipan di atas merupakan kutipan yang sangat menginspirasi Happy Salma dalam kehidupannya sehari-hari. “Itu persis ibu saya suka katakan, intinya jangan pernah meminta sebaiknya kita memberi di kaki kita sendiri,” ucap Happy.

“Karyanya Pram bisa menembus zaman sampai kapan pun, ceritanya dia semua tentang kisah hidup, dan ga ada kamusnya yang hanya bisa kita dapatkan dari seseorang yang menuliskannya dengan baik, penuh riset, penuh perasaan dan dedikasi yang luar biasa yang saya hanya mendapatkan dari seorang Pramoedya Ananta Toer,” pungkasnya.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan karya-karyanya mulai dikenal sejak tahun 1950-an seperti cerpen dan novel. Selama 7 dekade masa hidupnya dipakai untuk menulis lebih dari 50 buku, dan cerita-ceritanya ini diterjemahkan ke dalam 42 bahasa dunia termasuk di antaranya bahasa Spanyol pedalaman dan bahasa Urdu.

Pramoedya Ananta Toer merupakan satu-satunya penulis Indonesia yang berkali-kali menjadi kandidat peraih Nobel sastra. Pramoedya Ananta Toer dan karya-karyanya lebih dari sekedar hadiah nobel atau sejumlah penghargaan lainnya yang ia terima dari dunia Internasional.

Pramoedya tak pernah berhenti menjadi inspirasi banyak orang demi memaknai sejarah perjuangan kemanusiaan di tengah berbagai penindasan. Terutama lewat empat novelnya yang terpenting yang ditulisnya semasa menjalani tahanan di Pulau Baru. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca merupakan 4 novel yang dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru, Kepulauan Maluku.