KabariNews – “Iri rasanya melihat teman-teman sebayaku bermain, berlarian kesana-kemari mengejar keceriaan. Namun apa daya aku tak mampu melakukan itu. Yang ada hanyalah sayatan hati yang perih kurasakan. Menangis adalah jalan satu-satunya pelampiasanku. Namun air mata ini sudah tak bisa menetes dan kering. Tuhan, jika Engkau menciptakan aku seperti ini, aku rela, namun berikanlah aku sepasang sayap kecil, aku akan terbang sesuka hatiku”.

Sebuah ungkapan hati Sarina Rantesalu, dara kelahiran Makassar, 10 Juli 1987 ketika teringat masa kecilnya dulu. Ia dilahirkan dengan kondisi fisik yang tidak normal, kedua tangannya hanya sebatas siku dan tidak memiliki dua kaki. Namun, tanpa tangan dan kaki bukan berarti Sarina tidak bisa berkarya. Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki, Sarina tetap merasa beruntung karena Tuhan memberinya talenta, dia bisa melukis keindahan alam dengan mulutnya.

Kabari berkesempatan berbincang dengan Sarina, yang kala itu sedang melukis di booth Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dalam acara Jatim Fair 2016 di Grand City Surabaya yang berlangsung pada 6 – 16 Oktober 2016.

Sarina bercerita awal mula menyukai seni lukis.  Sejak pertemuannya dengan Sadikin, seorang pelukis disabilitas yang kemudian menjadi gurunya, bakatnya mulai terasah. Hanya dalam waktu kurang dari satu tahun Sarina sudah bisa membuat lukisan dengan mulutnya. Kini, dalam satu hari, sarina bahkan mampu menyelesaikan dua lukisan. “Dia hebat, saya sebagai pembimbingnya belajar bertahun-tahun untuk bisa melukis dengan menggunakan mulut” tutur Sadikin saat dihubungi Kabari melalui telepon.

Sarina memang istimewa dan cerdas. Menurut para ahli otak, Sarina memiliki tipe kecerdasan ganda dan masuk dalam tipe kecerdasan Intrapersonal dan Naturalis. Terungkap lewat goresan mulutnya, ia lebih senang melukis alam sebagai ungkapan imajinasinya. “Saya mencintai alam, semua lukisan saya bertemakan alam. Orang bilang, saya menganut aliran naturalis”, kata Sarina.

Sarina juga menuturkan, jika dirinya masih perlu belajar lebih banyak. Karena menurutnya melukis tidak hanya sekedar mewarnai kanvas saja, namun harus diimbangi dengan daya imajinasi yang kuat serta idealisme untuk menghasilkan sebuah lukisan  yang berkarakter kuat.

“Memang keberanian saya dalam mengaplikasikan imajinasi ke dalam lukisan masih kurang. Saya butuh proses belajar lebih banyak termasuk mental. Di Jatim Fair ini saja saya masih canggung untuk melukis“, ungkapnya.

Diakui Sarina, rasa percaya diri dan pengendalian emosional sangat dibutuhkan untuk menjadi seorang pelukis disabilitas. Malu dengan kondisinya jadi batu sandungan terbesar baginya, karena itu ia ingin terus belajar mengendalikan diri. Dia tidak akan putus asa, dan melanjutkan untuk berkarya dengan sebuah mimpi.

Mimpinya tidak muluk-muluk, satu harapannya saat ini, yakni membuka sanggar lukis  yang diperuntukkan bagi para disabilitas. Ia ingin menularkan bakatnya kepada sesama, seperti yang dia dapatkan juga dari Sadikin gurunya.