KabariNews‘Tuhan sudah mencukupi kebutuhan kita. Jadi sekarang kita coba mencukupi kebutuhan orang-orang di sekitar kita’. Kalimat ini menjadi kekuatan bagi Harry Widjaja yang kini memilih hidup untuk orang banyak melalui Uni Papua.

Kepada Kabari, pria yang pernah bekerja di bank ini menceritakan momentum membangun Uni Papua. “Suatu hari di Biak, saya ngeliat masalah-masalah di Papua itu cukup membuat saya depresi. Kok ada di Indonesia, ada satu daerah yang disebut Papua, yang katanya kaya kekayaan alamnya tapi ironis. Menurut saya waktu itu, 10- 15 tahun lalu, saya sih lihat tragis. Banyak bencana, kematian. Saya juga sering kirim peti mati dari Jawa ini, karena anak mahasiswa yang meninggal karena TBC, tabrakan dan banyak kasus. Jadi saya ingin lakukan sesuatu, satu kali dalam hidup saya, untuk meninggalkan warisan kepada generasi saya. Saya pikir kalau saya di Indonesia ini bukan kebetulan. Saya pikir hidup mencari untuk mendapatkan. Saya mendapatkan, kalau orang bilang passion. Saya sebut calling, panggilan hidup untuk Papua, saya tidak mau melakukan yang sama, saya minta semua yang pernah dilakukan itu tidak saya lakukan lagi, tapi saya melakukan sesuatu yang baru, inovatif dan kreatif, supaya saya melengkapi yang sudah ada. Nah melalui persetujuan keluarga, akhirnya saya memutuskan mendedikasikan diri untuk Papua, untuk lebih fokus ke anak-anak Papua, dan ternyata setelah Papua, saya dibawa ke satu pengalaman untuk anak-anak Indonesia. Jadi sebagai orang Indonesia, saya mengambil pilihan untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia. Dari Papua untuk Indonesia ke dunia. Jadi kita jangan melulu bahwa dari luar negeri bagus terus, toh dari Indo banyak yang bagus,” terang Harry yang menghabiskan masa kecil di Cirebon, Jawa Barat

Karena ingin membesarkan Uni Papua, Harry meninggalkan pekerjaannya dan kini fokus membangun Uni Papua. “Kalau ingin Uni Papua sustain, mau makin berdampak, mau ga mau, punya waktu untuk fokus urus Uni Papua. Jadi karena ada kepengurusan di Uni Papua ini, satu-satunya yang bisa memimpin dan punya waktu banyak, ini harus take care secara serius. Sudah membawa nama Indonesia, sudah membawa masa depan anak-anak, jadi sayalah yang dikorbankan,” ujar tertawa.

Pria yang pernah memiliki perusahaan advertising ini mengaku membangun Uni Papua memiliki tantangan tersendiri. “Sepakbola sosial tidak dikenal di Indonesia, makanya saya minta teman-teman media, lalu datangi pemerintah untuk perkenalkan Uni Papua. Karena sepakbola sosial sama sekali baru di Indonesia, karena baru, tidak dikenal jadi dukungan tidak begitu banyak. Padahal mereka setelah tau, kaget-kaget, ini kok keren sekali. Jadi kita butuh waktu untuk sosialisasi. Tantangan lain yang saya hadapi adalah Indonesia ini besar sekali, jadi kadang-kadang kalau kita ingin mengirim bola, perlengkapan, peralatan, barangnya ada, tapi biaya kirim ga ada. Karena Uni Papua ada di daerah pelosok, pedalaman, terpencil, pedesaan. 70 persen wilayah Uni Papua ya seperti itu, tapi memang kita pilih repot seperti itu karena sedikit yang take care,” kata CEO Uni Papua ini.

Pilihan hidup Harry memperhatikan orang banyak didukung sang istri, Joanny A. Wirjanto. “Istri saya sudah tau sejak awal, bahwa saya memang ada passion, kalau sesuatu ini tidak dikerjakan ini kurang puas. Hidup ini ga cuma sekadar kebutuhan, tapi bagaimana kita memberi,” kata Harry.

Bagi Harry dan keluarga, materi bukan persoalan utama. “Karena menurut saya, hidup bukan untuk mencari kebutuhan. Kita punya pandangan tentang hidup itu berbeda. Hidup itu memberi, menghasilkan suatu karya, apalagi ini tentang bangsa yang kita pikirkan. Apa yang Uni Papua lakukan adalah nation character building, kita membentuk karakter bangsa. Saya percaya Tuhan sudah mencukupi kebutuhan kita. Jadi sekarang kita coba mencukupi kebutuhan orang-orang di sekitar kita,” tutupnya.