KabariNews – Bahagia, satu kata yang punya penjabaran tersendiri bagi masing-masing orang. Bahagia menurut Imaculata adalah bisa bercengkrama, perduli dan memberi perhatian kepada anak-anak autis. Ditengah kesibukan sebagai seorang guru dan aktif mengikuti seminar-seminar di seluruh Indonesia serta kegiatan lainnya menjadi komisioner dari Komisaris Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tak membuatnya merasakan lelah bahkan mengeluh untuk terus mendidik anak-anaknya.

Membawa misi menjadikan anak autis mandiri dan tidak terlantar berawal dari panggilan hati dalam dirinya untuk bisa menjadikan anak-anaknya bisa survive dan mandiri.

Ima, demikian ia biasa disapa, menceritakan bagaimana perasaannya mendidik anak berkebutuhan khusus tersebut, “Saya tidak tahu kenapa, namun yang pasti saya melakukan ini dengan mengalir, dengan senang, dan di situ kebahagiaan saya, jadi ketika melakukan ini, saya senang sekali, “ ujar Psikolog dari Unika Atma Jaya Jakarta ini.

Lebih lanjut, ia menambahkan, “Saya punya tujuan bahwa saya ingin membuat anak ini mandiri, tidak terlantar, tidak disepelekan oleh orang, ketika orang tuanya meninggal anak bisa survive, itu yang saya kejar,“ terang Ima saat ditemui Kabari di asrama autis Taman Harapan Baru, Bekasi.

Selama 30 tahun Ima mengabdikan dirinya bersama anak penyandang autis. Ima mengaku sudah jatuh cinta dengan dunia pendidikan anak berkebutuhan khusus bahkan tidak bisa berpaling ke dunia lain. Bagi pemilik nama lengkap Dr. Imaculata Umiyati, S.Pd,M.SI, anak autis bagaikan hidup di lorong yang gelap, menurutnya, mereka adalah anak-anak yang memiliki kemampuan namun hidup dalam ‘kegelapan’, meski demikian, Ima yakin mereka pasti bisa menemukan jalan untuk keluar dari dunianya yang gelap.

“Saya melihat dan saya selalu ilustrasikan bahwa mereka ini sebetulnya ada di dalam lorong yang sangat gelap, dan ada tembok yang begitu tebal, tapi mereka itu sebetulnya bisa keluar, menjadi pribadi anak itu, hidup sesuai dengan kemampuannya dia, cuma bagaimana kita pandai mengambil anak ini, bisa saja kita ilustrasikan bahwa anak ini seperti ikan dibalik karang jadi bagaimana menarik anak ini,“ terang Ima.

Dalam ilustrasinya, Ima meyakinkan, untuk menarik anak tersebut merupakan seni karena membutuhkan ketajaman filing. Seburuk apapun kondisinya pasti ada jalan keluarnya. Cara yang dilakukan bagi dirinya adalah tidak cukup hanya dengan satu trik, “Ketika kita tidak bisa mendekati anak itu, kita bisa betul-betul masuk di dalam anak itu, kita bisa mengeluarkan, ketika kita bisa menerima anak itu apa adanya dan sungguh mencintai anak itu tanpa pamrih, anak betul-betul klik dengan kita, kita bisa mengeluarkan,“ ujarnya penuh keyakinan.

Pertama kali mengajar sekitar tahun 1987 di sekolah umum, SPG Setia Budi yang kini diperkirakan sudah tidak berdiri lagi dan terakhir mengajar di Australian internasional school.
Ima pun makin jatuh cinta dengan pekerjaannya sebagai guru autis, pada tahun 2000 berawal sebagai tempat terapi dengan modal rumah ukuran tipe 21, ia mendirikan sekolah autis dengan tujuan bisa menjangkau pada seluruh lapisan masyarakat. Tiga bulan pertama mendapatkan murid yang cukup banyak sehingga tidak bisa menerima murid lagi, karena pada waktu itu rumahnya hanya bisa menampung sekitar 20 orang dengan 4 ruangan berukuran kecil.

Menurutnya, sekolah sekaligus asrama yang ia dirikan menuai kesuksesan, alhasil muridnya pun makin bertambah banyak serta respon dari para orang tua juga cukup bagus, sekolah tersebut akhirnya ramai dikunjungi murid untuk mendaftar, melalui perjalanan yang tak terkonsep sebelumnya, bagi Ima mendirikan sekolah ini terjadi mengalir begitu saja.

Dimulai dengan niat tulus membantu orang lain, Ima mengawali langkahnya membuat iklan kecil pada kaleng bekas dicat warna putih bertuliskan “Terapi Autis“ kemudian dipasang di berbagai pohon disekitar asrama dengan dibantu teman-temannya sekitar 17 tahun yang silam. Rumah yang awalnya bisa menampung hanya untuk 20 orang, tiga tahun kemudian tempat terapi autis tersebut menjadi asrama yang cukup besar.

Ima memiliki tekad untuk masa depan anak didiknya, saat ini yang ia pikirkan bagaimana mempunyai lapangan pekerjaan sendiri, meski menurut dirinya muluk-muluk namun sederhana. Lalu ia berkisah, anak autis didikannya memiliki produk yang namanya sambal Kecombrang dan diminati banyak orang. Hal seperti ini bagi dirinya merupakan mata pencaharian yang mereka ciptakan sendiri.

“Karena kalau kita jujur ngomong, anak autis jika bekerja ditempat orang sangat tidak mungkin, tidak ada orang yang mau menerima,“ terang Ima.

Menurutnya, anak autis sudah bisa unjuk gigi dengan kreatifitasnya, “Aku berfikir bahwa anak ini harus menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan kita sudah bisa itu, anak-anak sudah bisa membuat boneka, sudah bisa bikin masakan”.

Lebih lanjut ima mengatakan bahwa dirinya sangat terobsesi untuk bisa memiliki lapangan pekerjaan dan anak didiknya sebagai karyawannya.

“Yang aku incar dalam waktu dekat ini adalah punya sebuah kantin yang cukup besar dimana menunya adalah tidak ada yang diluar karena kita ciptakan sendiri. Makanan itu bisa dimakan oleh orang umum tanpa bahan kimia,“ tutur Ima.

Selain itu, Ima juga terobsesi untuk membuka toko yang besar untuk menjual barang bekas layak pakai, impiannya itu diharapkan dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi anak autis, oleh sebab itu karyawan kantin dan toko nantinya adalah anak – anak autis didikannya.

Anak – anak dinilai Ima memiliki kemampuan pekerjaan seperti misalnya mencuci, memasak,mengepel, semua bisa dilakukan. Intinya adalah anak-anak bisa dikaryakan sesuai dengan bidang yang mereka bisa lakukan.

Belum lama ini, anak didiknya yang tergabung dalam band musik mendapat penghargaan dari kementerian pariwisata. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru seperti Ima mampu memberikan contoh keteladanan untuk anak autis.

Dengan ketulusan hatinya, Ima sangat berharap agar mereka bisa mandiri, “Kita bisa jadikan anak ini mandiri sesuai dengan bidangnya,“ tutur Ima.

Baginya, ketika orang tua mereka sudah dipanggil Tuhan, anak bisa survive, Ima pun berharap anak tidak terlantar, tidak akan tersia-sia, tidak akan hilang, karena sudah ditanamkan sikap kemandirian dalam diri anak autis, meskipun penyandang autis, namun mereka juga memiliki masa depan yang baik.(kabari1008)