Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa sakral dan paling bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Meski begitu, proklamasi juga menyisakan kisah-kisah yang terdengar sepele namun menarik disimak.

Seperti dua penggal kisah dari dua orang sosok yang sebenarnya saling bertalian. Mereka adalah Shimizu Hitoshi dan Chaerul Basri.

Siapa Mereka?

Shimizu Histoshi adalah petinggi Jepang yang memimpin program Propaganda 3A Jepang, yakni 1) Jepang Pemimpin Asia, 2) Jepang Pelindung Asia, dan 3) Jepang Cahaya Asia.

Dia mengepalai Kantor Jawatan Propaganda Jepang (Sedenbu). Sedenbu merupakan sebuah jawatan yang bertugas menyukseskan propaganda Jepang di Indonesia lewat bermacam media. Mulai dari koran, selebaran, poster, foto, buku, hingga siaran radio.

Selain itu, jawatan ini juga bertugas memantau aktivitas penduduk sipil dan pergerakan para pemimpinnya. Tak heran, ketika menjalankan tugas ini, Shimizu berhadapan dengan Soekarno. Sosok yang harus diikuti gerak-geriknya oleh Shimizu.

Berbeda dengan petinggi Jepang yang kebanyakan berperangai kasar, Shimizu adalah seorang politisi yang pandai. Dia dikenal mengutamakan dialog dalam melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno dan Hatta.

Sebab lain, ia menyadari betul Soekarno dan Hatta adalah tokoh penting yang patut dirangkul untuk menyukseskan tugas-tugasnya sebagai Kepala Jawatan Propaganda Jepang.

Banyak tokoh Indonesia yang percaya kepadanya, meski banyak pula yang menganggap  kebaikan Shimizu hanyalah taktik. Terlepas dari itu, kehadiran Shimizu sedikit banyak memberi warna dalam proses kemerdekaan RI.

Suatu hari sekembalinya dari pengasingan di Bengkulu pada tahun 1942, Soekarno datang ke Gunseikanbu (Kantor Pertamina sekarang-red) bertemu Shimizu. Dua tokoh tersebut terlibat pembicaraan serius. Tak lama kemudian, Shimizu memanggil Chaerul Basri yang  berada di luar ruangan.

Shimizu memperkenalkan Chaerul Basri kepada Soekarno. Shimizu lalu berkata kepada Chaerul “Pemuda, bisakah cari rumah buat orang besar?” Tentu saja yang dimaksud orang besar itu adalah Soekarno yang sedang duduk. Chaerul lalu menjawab, “Bisa.”

Sore harinya, bersama Adel Sofyan, Chaerul bersepeda mencari rumah di daerah Menteng. Tetapi kebanyakan rumah di daerah tersebut sudah ditempati pembesar Jepang. Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 milik orang Belanda, Baron van Asbeck. Chaerul lalu memilihkan rumah itu untuk Soekarno.

Ia sempat khawatir Soekarno menolak. Tapi ternyata tidak, Soekarno mau menempati rumah  tersebut. Chaerul senang sekali. Saat rumah itu ingin diambil alih, Chaerul mengusulkan  kepada Shimizu agar pemindahan si pemilik rumah dilakukan melalui pemerintah dan diberi ganti rugi yang layak. Shimizu juga memberikan Soekarno sebuah mobil limosin merek Buick buatan Amerika. Mobil ini kelak menjadi mobil kepresidenan pertama RI.

Bagi Chaerul, seorang pemuda asal Bukit Tinggi, peristiwa itu tentu membuatnya bangga. Apalagi beberapa tahun kemudian rumah yang dipilihnya menjadi tempat pembacaan teks proklamasi.

Kisah lain yang masih terkait Shimizu dan Chaerul Basri adalah ketika Ibu Fatmawati sibuk mencari kain merah dan putih untuk persiapan kemerdekaan.

Kala itu pada tahun 1944  seiring terdesaknya Jepang oleh sekutu, Jepang telah menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih sudah diizinkan untuk dikibarkan dan lagu Indonesia Raya juga boleh dikumandangkan.

Namun hingga saat itu, Indonesia belum punya bendera ‘resmi’. Ibu Fatmawati yang ikut sibuk memikirkan soal bendera lalu memanggil Chaerul Basri. Ibu Fatmawati menyuruh Chaerul Basri menemui Shimizu untuk minta dicarikan kain merah putih.

Shimizu yang memang sudah dianggap ‘teman’ mengabulkan permintaan Ibu Fatmawati. Dia lalu menghubungi pejabat Jepang yang lain yang mengepalai gudang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, dan mendapatkan kain berwarna merah dan putih.

Puluhan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1977 Shimizu datang kembali ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto. Selain itu Shmizu juga mengadakan pertemuan dengan para sejumlah tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang.

Pada kesempatan itu, Shimizu bertemu kembali dengan Ibu Fatmawati, kawan lamanya. Ibu Fatmawati mengucapkan terima kasih kepada Shimizu yang telah memberikan kain berwarna merah dan putih, yang kini menjadi bendera pusaka. Sementara Chaerul Basri tercatat menjalani karir militer hinga pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal.  (yayat)

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35251

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri
nilai dan komentar
di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :