Perserikatan bangsa-bangsa menyerukan agar makin banyak negara menandatangani konvensi tentang kenirwarganegaraan (tanpa warganegaraan). Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masalah ini makin memburuk karena banyak anak lahir dari orangtua tanpa warga negara, sehingga mereka juga akan jadi anak tanpa warga negara.

Persoalan ini dinilai paling parah terjadi di Asia Tenggara, Asia Tengah, Eropa Timur dan Timur Tengah serta Afrika. “Orang-orang ini sangat membutuhkan bantuan karena mereka hidup ditengah ketidakpastian status hukum,” kata Antonio Guterres, dari Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) mengutip kantor berita Reuters akhir minggu lalu.

“Selain dari penderitaan karena terusir dari negaranya, dampak peminggiran sekelompok orang dari beberapa generasi juga menciptakan stres besar pada masyarakat dimana mereka mengungsi dan kadang menjadi problem dan konflik baru,” katanya.

Karena tak punya kebangsaan, orang tanpa kewarganegaraan bisa menghadapi berbagai masalah termasuk kesulitan memiliki rumah, rekening bank, menikah secara resmi atau mendaftarkan kelahiran seorang anak untuk dicatat secara hukum.

Sebagian lagi menghadapi masa tahanan yang sangat panjang, karena mereka tak bisa membuktikan siapa mereka dan dari mana berasal.Sangat sedikit negara yang bersedia membantu orang tanpa kewarganegaraan.

Sekitar 66 negara yang sudah menandatangani Konvensi 1954 tentang orang tanpa kewarganegaraan agar orang-orang tersebut bisa mendapat perlakuan dengan standar minimum. Sementara baru 38 negara yang meneken Konvensi 1961 tentang pemberian kerangka hukum bagi mereka diantaranya Kroasia, Panama, Filipina dan Turkmenistan. Kelompk yang sering didapati tanpa warganegara ini adalah suku Rohingya di Burma, sekelompok warga suku di pegunungan di Thailand, kelompok Roma di Eropa serta warga suku Bidoon di negara-negara Teluk.

Indonesia

Indonesia juga sering mengahadapi masalah orang tanpa warganegara ini. Terutama seringnya warga Rohingnya di Burma yang terdampar di kepulauan Indonesia. Februari lalu, aparat Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darusalam menangani sebanyak 129 orang warga etnis muslim Rohingya, yang ditemukan dalam sebuah perahu di perairan dekat Pelabuhan Krueng Raya.

Orang-orang dari Birma dilaporkan terkatung-katung beberapa hari di laut setelah mesin perahu kayu mereka macet. Perahu yang berukuran panjang 14 meter ditarik oleh warga setempat. Orang-orang asing itu juga menyatakan mereka telah berada di laut selama 20 hari sebelum akhirnya diselamatkan oleh warga Aceh. Ketika ditemukan, orang-orang Rohingya itu dalam keadaan sangat lemah dan kelelahan. Tujuh diantaranya harus dirawat dengan infus. Di Burma, mereka mengaku alami banyak tekanan.

Aparat kepolisian biasanya berkoordinasi dengan pemda setempat, aparat imigrasi, dan kementerian luar negeri untuk memutuskan penanganan mereka selanjutnya. Biasanya mereka diarahkan ke negara ketiga yang mau menampung.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37244

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :