Sebagai bagian dari komitmen untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam memajukan industri on-demand di Indonesia, Grab Indonesia menyelenggarakan forum diskusi interaktif bertajuk “Dinamika Industri On-Demand di Indonesia: Status Mitra Pengemudi dan Komisi” yang berlangsung di Jakarta.

Forum ini sebagai ruang diskusi terbuka yang melibatkan para pemangku kepentingan untuk mengulas secara seimbang tentang isu-isu yang tengah mengemuka di sektor layanan berbasis aplikasi, termasuk perdebatan mengenai model kemitraan, perlindungan sosial, serta besaran komisi yang diterapkan oleh perusahaan aplikasi (aplikator).

Diskusi ini memberikan pandangan dari pakar ekonomi, asosiasi industri, serta perwakilan dari sektor swasta yaitu Prof. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Ketenagakerjaan Universitas Trisakti; Eisha Maghfiruha Rachbini, Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF); Agung Yudha, Executive Director Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara); Fithra Faisal Hastiadi, Executive Director, Next Policy dan Dosen Universitas Indonesia; Rifqy Weno mewakili Pijar Foundation; serta Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia. Forum ini mendorong dialog berbasis data dan fakta dalam merespons narasi yang berkembang di publik, sekaligus memberikan kontribusi pemikiran terhadap perumusan kebijakan yang lebih berimbang, adil, dan berkelanjutan.

Para pakar menyoroti terkait industri on-demand di Indonesia serta wacana mengubah status kemitraan pengemudi ojek online menjadi karyawan tetap, yang akan mengakibatkan berbagai konsekuensi logis, serta pembahasan mengenai biaya komisi dan platform fee.

Fithra Faisal Hastiadi, Executive Director, Next Policy dan Dosen Universitas Indonesia, memaparkan tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam kurun waktu Januari 2024 hingga April 2025, tercatat 96 ribu pekerja sektor formal terkena PHK, karena industrinya mengalami tekanan ongkos produksi. Dalam kondisi ini, platform on-demand telah berkembang menjadi buffer (penyangga) bagi tekanan sistem ketenagakerjaan yang semakin fluktuatif. Sektor ini memberikan alternatif pendapatan bagi yang terdampak PHK. 

“Platform on-demand telah membentuk ekosistem microenterprise yang fleksibel dan berbasis teknologi. Namun, masyarakat yang mencari peluang pendapatan di platform tersebut dan berstatus mitra ini, tidak dapat disederhanakan dalam kerangka hubungan kerja pada umumnya. Mereka bekerja mandiri dan punya peran penting di ekonomi digital. Karena itu, aturan harus disesuaikan—dengan perlindungan, pelatihan, dan kebijakan yang adil agar ekonomi digital bisa terus berkembang dengan baik,” jelas Fithra.

Prof. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti menekankan perlunya melihat lebih jelas hubungan antara pekerja di sektor informal seperti driver online dan kurir online dengan aplikator. Ia memaparkan tentang pandangan hukum tentang perjanjian melakukan pekerjaan di Indonesia yang terdiri dari tiga jenis yaitu perjanjian pemberian jasa, perjanjian pemborongan, dan perjanjian kerja. 

“Dilihat dari pandangan hukum tersebut, hubungan antara driver online dan platform itu sebetulnya termasuk dalam perjanjian pemberian jasa, bukan perjanjian kerja. Driver online termasuk pemberi jasa. Hubungannya horizontal, yaitu pengusaha dengan pengusaha. Driver ini kan memiliki mobil atau motor sendiri, kemudian aplikator memiliki aplikasi, berarti ini hubungan dua pengusaha yang bermitra, untuk memberikan jasa kepada masyarakat yang membutuhkan layanan transportasi, pengantaran, dan sebagainya,” tuturnya. 

Ia juga mengatakan, negara-negara yang menganggap driver online sebagai karyawan adalah negara yang tidak memiliki definisi terkait pekerja. Sementara di Indonesia, definisi pekerja sudah jelas, yakni seseorang yang bekerja kepada orang lain dan menerima upah.   

Eisha Maghfiruha Rachbini, Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) berpendapat pemerintah perlu merumuskan regulasi yang adaptif, tidak membebani inovasi, namun juga melindungi pelaku model bisnis baru di era gig economy seperti saat ini. “Inovasi dan teknologi harus tetap berkembang agar menciptakan pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai kebijakan justru menjadikan demotivasi untuk inovasi. Menurut saya yang paling penting adalah pemerintah memberikan perlindungan kepada setiap masyarakat yang bekerja di sektor formal maupun informal untuk mendapatkan jaminan sosial yang baik,” ucapnya  

Sementara itu, Agung Yudha, Executive Director Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) menyampaikan, “Layanan digital di sektor pengantaran dan mobilitas menopang sekitar 5 juta entitas dalam ekosistemnya, dari pengemudi hingga warung kecil atau UMKM. Untuk menjaga pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, diperlukan regulasi yang mampu menyeimbangkan perlindungan konsumen, kesejahteraan mitra, dan para pelaku usaha,” tegasnya.

Terkait model bisnis dan skema kemitraan dari layanan on-demand, Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs, Grab Indonesia menuturkan bahwa Grab memiliki ekosistem bisnis yang unik dan model usaha yang berbeda dari industri konvensional, dengan model kemitraan menjadi pendekatan utama. Pola kemitraan dapat memberikan fleksibilitas waktu, penghasilan dan kebebasan dalam memilih platform. Lewat skema ini, Grab akan terus memastikan agar para Mitra tetap memiliki pilihan dan kendali dalam menjalankan aktivitasnya. 

Tirza juga menegaskan bahwa Grab tidak pernah mengenakan komisi lebih dari 20%. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

“Kami ingin menegaskan bahwa terkait ojol, Grab tidak pernah mengenakan komisi lebih dari 20%. Kami menyayangkan adanya kesalahpahaman dalam perhitungan biaya komisi yang terjadi saat ini dimana perhitungan komisi seharusnya dihitung atas tarif dasar, bukan total keseluruhan biaya yang dibayarkan konsumen yang mana mencakup biaya jasa aplikasi (platform fee) dan biaya tambahan lainnya seperti emisi karbon. Dari komisi ini kami kembalikan ke dalam ekosistem untuk kebutuhan inovasi dan sejumlah manfaat lainnya untuk Mitra Pengemudi,” ucap Tirza.

Sebagai platform penyedia layanan transportasi daring, sumber pendapatan Grab berasal dari dua hal berikut:

  1. Komisi/biaya layanan yang dikenakan kepada Mitra Pengemudi atas tarif dasar dalam penggunaan aplikasi Grab.
  2. Biaya jasa aplikasi (platform fee) yang dikenakan kepada Penumpang atas penggunaan aplikasi Grab sebagai bagian dari total biaya yang dibayarkan konsumen.

Pemanfaatan Biaya Layanan Grab dikembalikan untuk berbagai inisiatif untuk kesejahteraan Mitra Pengemudi, seperti untuk pengembangan dan pemeliharaan platform, dukungan operasional, program strategis untuk pengembangan kapasitas Mitra pengemudi serta Asuransi kecelakaan untuk melindungi Mitra Pengemudi dan penumpang.

Diskusi ini menyimpulkan bahwa industri on-demand hanya akan berkembang secara sehat apabila dibangun di atas kerangka regulasi yang kontekstual, adaptif, dan tidak memaksakan model konvensional pada ekosistem digital. Grab percaya bahwa menjaga keseimbangan antara pendapatan Mitra Pengemudi, keterjangkauan bagi konsumen dan keberlanjutan operasional platform adalah kunci untuk keberlangsungan ekosistem transportasi daring dengan menawarkan solusi terbaik dan tetap relevan bagi pemangku kepentingan di industri, melalui dialog terbuka dan partisipatif yang mempertimbangkan suara mitra pengemudi, pelaku industri, serta kebutuhan konsumen dan pemerintah.

Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 214

Simak liputan Kabari dibawah ini