Dalam diskusi dengan media, Grab Indonesia menjawab sejumlah isu, mulai dari status mitra pengemudi, pemotongan tarif aplikasi hingga penghasilan para mitra. Hal ini disampaikan dalam acara “Fakta di Balik Layar Ojol: Menguak Berbagai Realita Industri On-Demand” di Jakarta, pada Jumat (13/06/2025).
Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi, menilai bahwa mengubah status mitra pengemudi menjadi karyawan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi para mitra pengemudi ojek daring. Karena apabila seluruh mitra pengemudi harus diangkat menjadi karyawan, hanya sebagian kecil yang kemungkinan besar bisa diserap oleh perusahaan.
Ia mencontohkan kasus di Spanyol di mana pada 2021 pemerintah negara tersebut mengeluarkan kebijakan Riders’ Law yang mewajibkan mitra kurir daring diangkat menjadi karyawan. Saat penerapannya, salah satu aplikasi yang beroperasi di negara tersebut hanya mampu mengangkat 17 persen mitra pengemudi menjadi karyawan tetap.
“Kebayang kalau di Indonesia hanya 17 persen yang bisa diserap, yang lain mau ke mana? Bagaimana mereka mendapatkan income (pendapatan)?” ujar Neneng.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa status sebagai karyawan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dibandingkan dengan skema kemitraan. Dengan status sebagai karyawan, pengemudi akan memiliki jam kerja tetap, melalui proses seleksi ketat seperti wawancara dan evaluasi rutin, serta bisa diberhentikan jika kinerja tidak memenuhi standar perusahaan. “Begitu dia di-PHK, panik cari kerja, kan nggak gampang. Kecuali memang banyak sekali lapangan pekerjaan tersedia,” jelasnya.
Di samping dampaknya terhadap pengemudi, Neneng juga menyoroti efek domino terhadap sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menurut Neneng, menyusutnya jumlah mitra pengemudi akan berdampak langsung terhadap layanan pengantaran makanan dan barang dari pelaku UMKM, yang selama ini bergantung pada platform daring.
Ia mengambil contoh di Jenewa, Swiss, di mana setelah Uber Eat diwajibkan menjadikan mitra pengemudi sebagai karyawan, permintaan layanan makanan menurun hingga 42 persen. “Sebanyak 90 persen merchant GrabFood adalah UMKM. Kalau jumlah mitra menyusut, ini bisa menggerus arus ekonomi UMKM yang mayoritas mengandalkan pesanan online,” katanya. “Banyak UMKM menggunakan layanan pengantaran dan mobilitas digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas dari sekadar area mereka beroperasi. Tanpa platform, bisnis mereka bisa stagnan atau bahkan rugi,” sambungnya.
Bagi konsumen, skema pengangkatan mitra pengemudi ojol menjadi karyawan tetap juga mengakibatkan proses order layanan transportasi maupun lainnya menjadi terhambat. Terlebih, bagi mereka yang tinggal di kawasan tidak terintegrasi dengan angkutan umum. “Itulah beberapa dampak yang perlu diperhatikan bersama bagi kelangsungan bisnis platform, mitra hingga pengguna,” tegasnya
Sementara itu, Grab menjelaskan bahwa pemotongan tarif aplikasi sebesar 20 persen dilakukan berdasarkan tarif dasar, bukan keseluruhan tarif yang dibayar oleh penumpang kepada para mitra pengemudi.
Neneng Goenadi mencontohkan, kalau tarif dasarnya Rp13.000 maka Grab mengambil potongan komisi Rp2.600 atau 20 persen dan mitra pengemudi berhak memperoleh Rp10.400.
Selain membayar tarif dasar, penumpang juga harus membayar komponen biaya tambahan seperti biaya layanan platform Rp2.000 dan biaya karbon Rp200. Dengan demikian, setelah dikurangi potongan promosi Rp1.000 penumpang total harus membayar biaya Rp14.200.
Neneng mengatakan bahwa biaya-biaya tambahan yang dibebankan kepada penumpang bukan bagian dari tarif dasar yang dipotong Grab dari mitra pengemudi. “Driver (pengemudi) itu sering kali menghitungnya 20 persen dari Rp14.200. Padahal, harusnya 20 persen dari tarif dasar Rp13.000. Jadi driver membawa pulang Rp10.400,” katanya. “Dan ini sesuai dengan KP 1001 tahun 2022. Jadi komisi 20 persen itu harus dihitung dari tarif dasar,” kata Neneng.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 tahun 2022 mengatur komisi maksimal untuk aplikasi dari layanan ojek daring sebesar 15 persen + 5 persen.
Neneng menjelaskan penghitungan potongan aplikasi dari ongkos layanan ojek daring karena selama ini ada salah kaprah mengenai potongan tarif aplikasi, yang membuat penumpang dan mitra pengemudi merasa Grab mengambil komisi terlalu besar dari biaya perjalanan.
Ia menyampaikan bahwa potongan tarif aplikasi 20 persen digunakan untuk menyediakan berbagai dukungan kepada mitra pengemudi, termasuk dukungan asuransi, tunjangan operasional, dan pengembangan fitur-fitur keamanan.
“Penggunaan komisi bagi hasil ini untuk apa? Untuk asuransi keselamatan. Jadi, 100 persen perjalanan di aplikasi itu terproteksi oleh asuransi Grab, baik pengemudi maupun penumpang,” katanya.
Hal lain yang dijelaskan Neneng Goenadi terkait pendapatan para mitra. Neneng mengatakan bahwa besaran pendapatan mitra atau pengemudi (driver) roda dua alias ojek online (ojol) kategori jawara menyentuh Rp 6.839.136.
Angka ini tercatat pada periode 1-30 April 2025. Neneng menyebut, nilai tersebut dibukukan oleh para driver jawara yang melakukan kegiatan di Bali. Sedangkan pendapatan pengemudi dengan kategori yang sama di Makassar, Sulawesi Selatan, berada di angka Rp 6.480.518.
Di Bali, rata-rata pendapatan tersebut diperoleh karena jumlah hari driver jawara mencapai 25 hari selama periode 1-30 April.
Kemudian, jam nariknya selama 6 jam per hari dengan volume orderan yang selesai mencapai 20 per hari. “Kalau jawara pendapatan rata-rata ya ini Rp 6,8 juta. Dia jumlah harinya narik tuh 25 hari, dari 1-30 April, jumlah jam nariknya itu sekitar 6 jam, jumlah orderannya sekitar 20 per hari,” ujar Neneng.
Menurut dia, driver jawara sangat fokus pada profesi yang mereka jalankan. Bahkan, mereka tidak menggunakan lebih dari satu aplikasi. “Jadi kalau dilihat ini, dia sangat benar-benar fokus dan hanya menggunakan satu aplikasi, makanya bisa dapat segini (Rp 6,8 juta). Kan teman-teman tahu ya, di sini itu banyak teman-teman driver yang punya empat sampai lima aplikasi,” paparnya.
Berbeda dengan pengemudi jawara, driver tipe anggota mendapat income yang cukup kecil, yaitu Rp 1.618.159. Mereka hanya melakukannya 13 hari dengan hanya 3 jam per hari. Untuk jumlah orderan yang selesai, kurang dari sembilan. “Nah yang berikutnya adalah, kalau dilihat ini adalah yang anggota, dia dapatnya Rp 1,6 juta. Kenapa? Karena dia juga cuma narik rata-rata cuma 13 hari, terus jumlah jam nariknya juga cuma 3 jam,” beber Neneng. “Mungkin pagi-pagi dia narik sebentar sebelum ke kantor, gitu ya. Terus siang dia narik sebentar sambil makan, atau malam dia sambil pulang, sambil bawa penumpang juga, gitu. Jumlah orderannya 9, pendapatannya segini,” tutupnya.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 215
Simak liputan Kabari dibawah ini