Hampir semua manusia menginginkan masa depan yang lebih baik.
Begitu juga keluarga Hendry Adam dan istrinya Engelin Driessen. Mereka
bertempat tinggal di Sorong – Papua. Karena keadaan alam Papua yang
bergunung dan sangat luas, transportasi kerap dilakukan dengan pesawat
udara. Melihat kebutuhan pesawat udara penting dan kebutuhan akan pilot
sangat tinggi di Indonesia, maka Hendry Adam memunculkan cita-cita
semasa kecil; menjadi pilot.

Tabungannya selama delapan tahun bekerja dikumpulkannya. “Tapi tak
cukup untuk ikut sekolah pilot di Indonesia yang berkisar antara Rp 600 –
700 juta. “ kata istrinya. Suatu saat di tahun 2010, suaminya melihat
promosi sekolah pilot di Amerika Serikat, yang dimiliki oleh orang di
Indonesia bernama Oscar Matulessya.

Biaya yang ditawarkan oleh sekolah yang bernama Aerotech Academy / Accelerate 36 Inc
adalah US$ 30.000 termasuk biaya hidup, dengan sistem 50:50 dimana
$24.000 akan ditanggung oleh sekolah apabila telah selesai memperoleh Commercial Pilot License (CPL).
Pendidikannya selama 7 bulan. Itu jumlah yang cukup murah untuk ukuran
sekolah pilot. “Setelah kami berdiskusi, akhirnya saya dan suami
sepakat menggunakan dana dan harta yang ada untuk biaya sekolah pilot ke
Amerika. Kami pertaruhkan segala yang kami punya untuk masa depan yang
lebih baik” kata Driessen.

Tanpa kontrak tertulis yang rinci, pada bulan Januari mereka
mentransfer uang sebesar US$ 30.000 ke rekening perusahaan Oscar M.
Setelah melalui pengurusan visa, pada bulan April 2011, akhirnya Hendry
Adam berangkat menuju negara bagian California – AS.

Hendry mulai sekolahnya pada bulan April. Sekolah itu beralamat di
1849 N. Wabash St 92374 Redlands, California. Awalnya, semua berjalan
dengan baik dan Hendry berhasil mendapat Private Pilot License (PPL) pada bulan September.

Namun setelah kedatangan siswa batch 3 pada bulan Juni,
semuanya berubah drastis. Menurut Driessen, klimaksnya bulan Desember.
“Menurut suami saya, tidak ada kegiatan yang efektif dan sejak Januari
sekolah sudah menghentikan program trainingnya,” kata Driessen.
Mendengar itu semua hatinya sangat sedih. “Cita-cita suami saya belum
tercapai padahal semua sudah kami korbankan, materi maupun kebersamaan
kami,” katanya.

Driessen tak sendirian. Istri Taufan Djenadi dan Randy Christian,
ayah dari YN juga mengeluhkan hal yang sama. YN dari keluarga pengusaha
kecil yang cukup tapi tak berlebih. Sejak lama YN meminta untuk sekolah
pilot. Namun Randy tak langsung menyetujui, karena dia juga terbeban
dengan anak lain yang membutuhkan pendidikan.

“Tapi anak saya ini begitu kokoh dengan tekadnya, dia terus berusaha
untuk mencapai tujuannya ; mulai dari mencari sekolah murah, mencoba
beasiswa, sampai akhirnya memperoleh kabar mengenai sekolah pilot ini
dari internet,“ kata Randy. Menurut Randy, anaknya menemukan Aerotech Academy/ Accelerate 36
adalah sekolah pilot di AS, milik orang Indonesia dan berbiaya murah.
“Biaya sekolah pilot di Indonesia rata-rata 2 kali lipatnya,“ kata
Randy.

Randy dan istri akhirnya mencari dana untuk cita-cita anaknya.
Tabungan mereka memang tak cukup, tapi mereka meminjam dana pada
keluarga terdekat. “ Harapan kami, ketika nanti dia sudah bekerja, dia
bisa menjadi tulang punggung keluarga, membantu adik-adiknya dan ekonomi
keluarga, “ kata Randy.

Setelah beberapa bulan lancar, tak diduga berakhir dengan buruk.
Beberapa bulan terakhir, sekolah tak bisa memenuhi kewajibannya.
“Menurut anak saya tak ada pesawat yang bisa dipakai, tak ada seorang
instruktur pun yang bisa ditemui di sekolah, dan si pemilik sekolah
gadungan ini pun tak lagi pernah bisa dijumpai, bahkan tak lagi bisa
dihubungi oleh siswa,“ kata Randy sedih.

Bahkan, para murid tak lagi dikirimi makanan yang sebelumya
dijanjikan oleh sekolah, karena biaya untuk program pendidikan ini sudah
dibayar lunas.

Menurut Randy, para murid sudah membawa permasalahan ini ke Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI)
di Los Angeles. Namun, belum ada solusi tuntas atas masalah ini. “Anak
saya dan teman-temannya terkatung-katung, dalam waktu 2 minggu sudah
harus meninggalkan apartemen, karena tak dibayar lagi oleh sekolah”,
kata Randy. Driessen juga menempuh hal yang sama. Dia menyurati KJRI Los Angeles.

Di satu sisi, Oscar Mattulessya sebagai salah satu penanggungjawab
sekolah pilot ini sampai sekarang tidak bisa dikonfirmasi. Padahal semua
persoalan menyangkut biaya dan administrasi , Oscarlah yang mengurus.
Hanya saja, sang pendiri, Rudy Bangsawan (seorang mantan pilot Garuda)
dan Freddy Bangsawan, mengatakan kepada murid-murid sekolah pilot
tersebut, jika pihaknya tak bisa mengajar karena Rudy mendapat serangan stroke pada sekitar bulan Juni. Ini adalah stroke kedua yang dialaminya.

“Saya prihatin terhadap masalah ini, karena saya tahu bagaimana
perjuangan keluarga, sedangkan nasib mereka tak jelas di negara orang,”
kata Kapten Hifni Assegaf, yang membantu para murid sekolah pilot ini
mencari solusi.

Upaya yang dilakukannya antara lain melaporkan kepada pihak berwajib dalam hal ini FBI dan mendampingi para murid melapor ke KJRI Los Angeles. Hifni juga menghubungi Oscar, namun tak mendapati jawaban yang baik.

Secara hukum, sekolah ini memang legal. Dia mengantongi TSA (Transportation Security Administration) sebagai sekolah pilot di AS sejak Januari 2011. Latihan secara rutin dilakukan di Redlands Municipal Airport (KREI). Tetapi, kegiatannya tak berjalan normal sejak Rudy mengalami stroke.

Namun anehnya, meski mulai Juni pengajaran sudah tak lagi bisa maksimal, Oscar masih membuka pendaftaran di website. Pada awal Desember lewat akun Facebook Accelerate 36,
mereka masih mengajak pihak yang berminat untuk mendaftar ke sekolah
ini. Bahkan pada tanggal 30 Desember, menuliskan bahwa pihaknya memberi
selamat kepada Dhafie Ramadhan, Aditya Wiraatmaja dan Herwinsyah yang
telah melampaui tes tertulis untuk PPL.

Beberapa pihak menduga, yang dilakukan Oscar tak lebih dari penipuan.
Bila bermaksud baik, pada Juni di mana Rudy – sang pengajar mendapat
serangan stroke, dia tak lagi boleh menerima murid baru.
“Otaknya, orang yang sama. Makelarnya, orang itu-itu juga,” ujar
Pricilla yang pernah bermukim di AS dan pernah berhubungan dengan Oscar.
“ Saat itu kami ditawari status ‘permanent resident’ dan hampir sepuluh
ribu dollar kami berikan kepada dia, hasilnya nol,” ujar Pricilla
emosionil.

Ia berharap praktek penipuan yang sering menelan korban masyarakat
perantau di Amerika harus dicegah dan diberantas. Tak mudah memang.
Karena semuanya seakan normal; semua dokumen tampaknya legal,
prosedurnyapun masuk akal. Bahwa kenyataan di lapangan jauh berbeda,
tidak terbayangkan sebelumnya. Satu hal yang pasti, pihak yang dirugikan
bisa menempuh jalur hukum. Jalur hukum yang ditempuh para korban
penipuan sekolah pilot adalah langkah yang tepat.

“Jalur hukum yang ditempuh Kapten Hifni Assegaff dan para siswa
penerbangan tepat sekali. Ini negara hukum. Dan hukum itu betul-betul
dijalankan. Jadi, kami mendukungnya,” ungkap salah satu staf Kedutaan
Besar Indonesia di Washington DC.

Enam belas murid di Amerika Serikat adalah harapan keluarga dan
bangsa. Nasib beberapa orang ada di pundak mereka. Seluruh murid
berangkat ke AS dengan harapan untuk memperoleh penghidupan yang lebih
baik. Dan tak ada yang lebih kejam daripada merampas masa depan mereka
dengan menipunya. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37852

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :