“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri…” ~ Ir. Soekarno
Banyak insan Indonesia yang menggandrungi sepak bola terutama di musim Piala Dunia. Akan tetapi, masih belum banyak yang mengetahui rekam jejak bangsa Indonesia di tingkat Piala Dunia tersebut.
Sebelum menjadi bangsa yang merdeka dari kuasa penjajah, Indonesia pernah berpartisipasi dalam Piala Dunia 1938 yang diselenggarakan di Perancis. Alhasil, sejarah FIFA pun mencatat Indonesia sebagai tim Asia pertama yang berpartisipasi di ajang bola paling bergengsi tersebut. Semasa pemerintahan penjajahan transisi Belanda-Jepang tersebut, para pesepak bola Indonesia bergabung dalam Tim Nasional Hindia Belanda (Dutch East Indies).
Timnas kesebelasan Hindia Belanda tersebut dikapteni oleh Achmad Nawir, seorang pria Minang kelahiran 1 Januari 1911. Dengan demikian, beliau merupakan orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang pernah memimpin sebuah tim nasional di tingkat Piala Dunia. Selain itu, kacamata yang dikenakannya juga menorehkan sejarah tersendiri dalam perjalanan FIFA sebagai pesepak bola pertama yang mengenakan kacamata di ajang Piala Dunia. Timnas Hindia Belanda tersebut harus pulang ke tanah air setelah kalah 6-0 dari Timnas Hungaria pimpinan Georgy Sarosi, yang juga seorang dokter sebagaimana dr. Nawir.
Dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana di daerah Maninjau (Sumatera Barat), pria yang akrab disapa dr. Nawir tersebut tidak pernah menduga akan menjadi pesepak bola berkelas internasional, apalagi tampil di ajang Piala Dunia 1938. Sepulangnya dari Perancis, ia kembali berkecimpung dalam dunia kedokteran yang digelutinya sembari terus memberikan sumbangsihnya dalam dunia persepakbolaan nasional. Di era kemerdekaan Indonesia, beliau sempat menjadi pelatih klub sepakbola Persebaya. Sampai akhir hayatnya di tahun 1995, beliau tetap aktif mengkontribusikan pikiran dan tenaganya untuk kemajuan PSSI dan Persebaya.
Berikut cuplikan wawancara dengan putra tunggal dr. Nawir yang juga merupakan seorang seniman batik di Amerika Serikat, Ferril Nawir. Hasil wawancara tersebut diambil dari arsip percakapan kontributor Kabari News di Los Angeles dengan Ferril Nawir:
Bagaimana riwayat perjalanan Bapak sebagai pemain sepak bola sampai bisa ikut ke ajang Piala Dunia 1938? Pada tahun 1938, Papa sudah menjadi tokoh sepak bola di Surabaya karena Papa sedang kuliah di Universitas Airlangga. Lewat persepakbolaannya juga, Papa mendapat beasiswa untuk kuliah kedokteran. Waktu itu, Papa sudah merupakan pemain bola andalan di klub HBS Surabaya.
Apakah ada pengalaman menarik yang Bapak ceritakan selama berada di Prancis waktu itu? Pengalaman waktu itu lebih ramai sebagai orang awam yang tidak pernah ke luar negeri. Cuman, mereka tidak lama di Perancis karena diganyang 6-0 oleh tim Hungaria. Setelah kalah, mereka semua pulang.
Sebagai pesepakbola tenar, apakah pernah Bapak mengarahkan Anda, terutama sebagai putra tunggal beliau, untuk juga menjadi pemain sepak bola? Sebenarnya beliau terserah. Kebetulan saja, saya waktu kecil main sepak bola. Tetapi oleh Bapak tidak pernah diarahkan atau diumbar.
Selain berkecimpung di dunia persepakbolaan nasional, Bapak juga dikenal sebagai seorang dokter pada zaman kemerdekaan Indonesia. Apakah ada cerita dan pengalaman beliau yang menarik selama beliau menjadi dokter pada masa transisi tersebut? Ada banyak sekali. Waktu Jepang masuk Indonesia, kamp-kamp konsentrasi Jepang merajalela di Surabaya. Pendek cerita, Papa saya mendapat kuasa dari Palang Merah Internasional. Di mana ada korban penganiayaan dan orang meninggal, Papa saya harus memberikan stempel dan mendata mereka. Papa saya juga sering menolong korban perang dan penganiayaan Jepang lalu membawa mereka ke kliniknya di Jalan Raya Darmo 26, Surabaya. Selain itu, Papa saya juga sempat menjadi dokter PSSI setelah sempat juga menjadi pelatih.