AKU ORANG DESA MASUK AMERIKA !
Lir-ilir, lir-ilir tandure
wus sumilir …
(Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi)
Tak ijo royo-royo, tak
sengguh temanten anyar …
(Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang
pengantin baru)
Sebut saja aku Bowo. Aku ndak jelas mengapa tembang dolanan masa kecilku itu terbayang lagi.
Seperti syair lagunya, aku memang baru saja aku terbangun. Sedikit mumet karena jetlag. Aku
melihat lagi warna hijau menyejukkan suasana alam pedesaan sekitarku. Ada pematang sawah, orang sarungan dan
satu dua cah angon (penggembala ternak). Tapi aku sadar, aku bukan lagi
pengantin baru. Usiaku sudah 45 tahun sekarang. Aku duda tanpa anak. Ditinggal
istri gara-gara merantau ke Amerika.
Banyak orang bilang, aku ini wong ndeso. Suaraku medok. Aku ndak sakit
hati. Begitulah kenyataannya, apa adanya. Aku memang lahir dan besar di satu
dukuh di kabupaten Madiun, Jawa Timur. Tiga jam naik bus Patas dari Surabaya. Ndak
punya nomor rumah, telepon, apalagi internet. Tapi untungnya mbakyu-ku sudah punya henpun.
Alhamdullilah! Betapa senengnya aku ini pulang
kembali ke desaku. Baru tiga hari lamanya. Terus terang, akhir Juni lalu aku dideportasi dari Amerika. Dan acara menghitung
hari di Penjara Imigrasi El Paso tinggal kenangan.
Ya, aku satu lagi orang Indonesia yang
digrebek petugas ICE di Pabrik Plastik Pocono, Philadelphia. Jumlahnya 81
orang. Aku satu penjara dengan
Anton, orang Borneo, di El
Paso, Texas.
Kalau dihitung-hitung, tujuh tahun lamanya
aku bekerja tanpa surat di Amerika. Satu tahun terakhir meringkuk di tahanan
imigrasi. Sejujurnya aku melewati
hari-hari di El Paso dengan pasrah saja. Kersaning
Allah (Kehendak Tuhan-red), kata batinku. Nasib terkatung-katung, setahun ndak ketahuan kapan keluar penjara. Uang
pas-pasan. Tongpes tepatnya. Merasa
bersalah karena ndak bisa lagi ngirim
dollar ke desa. Terutama seperti lebaran tahun lalu.
Salah satu hiburanku di penjara adalah
acara keluar barak. Sumpek di dalam terus. Setiap hari tahanan memang diberi
waktu dua jam untuk berjemur atau main olahraga di luar ruang. Dari lapangan
inilah, aku bisa melihat pesawat terbang naik turun dengan suara bising.
Airport El Paso memang di sebelah penjara. Aku seringkali tercenung kangen.
Kapan ya bisa pulang ke Indonesia ketemu keluarga, pikirku.
Soal mengobati rasa rindu tanah air, aku ndak seberapa terasa. Soalnya ada Gary, teman sesama Jawa Timur.
Dia satu barak di El Paso juga. Wis,
tiap hari ngomonge Basa Jawa terus.
Di sekitar kita kebanyakan orang berbahasa Spanyol atau Inggris. Kadang kita
berdua membahas soal makanan Indonesia. Gara-garanya, ya majalah yang sampeyan baca sekarang ini. Satu kali ada tulisan soal Rawon Setan dan
Soto Padang. “Wah, makan soto trus minumnya kopi tubruk. Wuih, uenak pol, “
kata Gary. Lha namanya di penjara, ngomong besar percuma saja. Akhirnya cuma ngiler,
bolak-balik mliliki gambar rawon dan soto.
Trus, ngimpi enake rawon dan soto tiga hari tiga
malam!
Pengalaman dipenjara dan dideportasi sebetulnya
cuma sebagian kecil petualanganku di Amerika. Semenjak zaman krismon dulu (1997),
banyak agen TKI (Tenaga Kerja Indonesia) merekrut warga desa di berbagai pelosok
daerah untuk bekerja ke luar negeri. Termasuk desaku. Setahuku, boss-nya PJPTKI
ada di Jakarta. Negara tujuan TKI ini ke Malaysia, Timur Tengah, Jepang, Taiwan,
Hongkong, Korea Selatan. Bahkan sampai Amerika Serikat.
Memang tersedia jalur resmi untuk beberapa
negara tujuan tadi. Dari itung-itunganku, kemungkinan penghasilan yang paling
besar ya jelas Amerika. Tapi, terang-terangan, mana ada jalur cepat dan resmi
untuk Amerika? Apalagi, aku cuma tamatan SMA Ponorogo saja. Setahuku, rata-rata
orang desaku hanya bermodal nekad (bonek). Sejujurnya, aku tergiur dengan banyak
teman sedesaku yang berhasil begitu pulang desa. Sesudah bekerja di luar negeri
dalam tempo singkat, mereka bisa
membangun rumah, membeli sebidang sawah, mempunyai sepeda motor baru,
bahkan membuka usaha kecil-kecilan.
Apa boleh buat. Akhirnya aku main
spekulasi juga. Meski berat,
aku bayar calo TKI di Madiun sebesar $5000 untuk bekerja di Amerika! Setelah
mendapat briefing di Jakarta,
akhirnya pada hari Jumat malam Mei 2000 aku mendarat di bandara Los Angeles.
Aku masuk Amerika dengan visa pelaut. Terus terang, nama di pasporku nama orang lain! Trus, foto di paspor itu
ditempel foto asliku. Begitulah kenyataannya. Asli tapi palsu!
Kemudian mulailah aku bermain sandiwara di
sini. Aku berlagak seperti layaknya seaman atau pelaut. Pakai celana jeans, kaos santai, pakai topi dan tas
kecil. Dengan jantung deg-degan aku serahkan paspor aspalku. Dan dengan Inggris
pas-pasan, kira-kira beginilah pembicaraanku dengan petugas visa.
+ Kemana
tujuan anda?
– Miami,
Florida
(aku perlihatkan Surat Letter
of Guarantee (LG) aspal dari satu perusahaan perkapalan di Miami)
+ Mengapa
anda ke Los Angeles?
– Oh,
hanya transit saja, baru besok ke Miami
Plong! Sandiwaraku berhasil! Orang desa
lolos masuk Amerika. Setelah tak pikir-pikir, meski sebetulnya ndak bener, calo-calo TKI ini ada saja akalnya mengelabuhi petugas
imigrasi Amerika. Mengatur orang masuk Amerika dengan drama sebagai misi
kesenian, misi perfileman atau tim bola basket. Untuk kasusku, aku yakin mereka
sudah kongkalikong dengan oknum di kantor perkapalan Miami untuk membikin LG aspal
tadi. Bisa gawat kalau petugasnya langsung menelpon ke sana. O ya, pesawatku
kan datangnya Jumat malam. Mana mungkin kantor di Miami masih buka selarut itu.
Tetapi, setelah kejadian 9/11 2001, masuk Amerika semakin ketat. Akal-akalan
memakai paspor aspal ini rasanya bisa segera ketahuan.
Setelah masuk Amerika, aku kembali ke
rencana semula. Aku berangkat
ke Columbia. Berkat kenalan, aku mendapat pekerjaan pertama sebagai cook helper di sebuah mal besar di
ibukota South Carolina. Berawal dari sana, aku ganti-ganti kerja sebagai cook, tukang
jagal sapi, sampai buruh pabrik. Dari New York, Boston, Harrisburg, Hartford, Philadelphia
sampai Pocono. Aku kerja sekitar 12 jam
sehari. Yah bangsa 2000-an per bulan, dipotong ongkos makan dan tinggal.
Waktu di Penjara El Paso, aku gak kuat
bayar bond US$ 20 ribu. Dan aku pernah mencoba membeli waktu tinggal di Amerika
lewat jalan mengajukan suaka politik (asylum). Ceritanya bagaimana? Yah, itu
bisa-bisanya aku saja. Semuanya kan serba spekulasi, kan? Sesudah melewati
benang kusut imigrasi Amerika, aku kalah telak. Daripada sengsara, mendingan
pulang desa!
Giliranku orang desa masuk Amerika sudah
lewat. Duh Gusti, meski kapok, aku pingin balik ke Amerika dengan surat! Yah,
siapa tahu aku dapet lotere green card
atau ada cewek Amerika kepincut duda di internet. Meski wong ndeso, tampangku lumayan kok.
(bowo/peter)
Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31696
Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari Agustus 2008 ( E-Magazine )
Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini
_____________________________________________________
Supported by :
Lebih dari 10 Program Asuransi Kesehatan
Klik www.TryApril.com Email : Info@ThinkApril.com
Telp. 1-800 281 6175