KabariNews – Beberapa waktu yang lalu perhatian publik di Indonesia tertuju pada dua kejadian yang menyangkut aspek kewarganegaraan yang sama-sama memiliki benang merah. Dua kejadian tersebut yaitu, pencopotan seorang Menteri karena memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat (AS) dan pembatalan seorang anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) karena memiliki paspor ganda dari ayahnya yang berkebangsaan Perancis. Walaupun pada akhirnya, ia diberi kesempatan untuk andil dalam upacara penurunan bendera Merah Putih di Istana Negara pada 17 Agustus 2016 lalu.

Ada hal yang menarik dalam konteks kejadian itu, yaitu aspek Regulasi atau Undang-Undang  (UU) Kewarganegaraan yang perlu disoroti. Karena menurut beberapa kalangan, Menteri yang di copot dari jabatannya itu, merupakan seorang pengusaha sukses dan berkecukupan yang lama tinggal di AS. Namun karena rasa nasionalismenyalah yang mendorong untuk menerima pinangan Presiden menjadi seorang Menteri. Begitu juga dengan seorang anggota Paskibraka yang telah melewati berbagai tahapan tes untuk bisa menjadi anggota Paskibraka. Tentunya kedua orang tersebut menunjukkan rasa nasionalismenya yang tinggi.

Mengacu dari dua contoh kejadian tersebut timbulah pertanyaan, bagaimana ‘nasib’ dari para diaspora Indonesia di luar negeri?. “Term” diaspora sendiri dapat diartikan sebagai eks warganegara yang telah tinggal di luar negeri dan menjadi warga negara setempat, namun mereka memiliki karir dan kehidupan yang layak. Populasi diaspora Indonesia di luar negeri hampir menyamai jumlah penduduk negara Swedia dan Austria, bahkan hampir 48% diaspora Indonesia di AS memiliki kualitas di atas sarjana yang menunjukkan mereka adalah orang-orang pintar.

Menurut Dosen prodi pada Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang dan Peneliti, M. Syaprin Zahidi, M.A., mengapa mereka (diaspora) lebih memilih berkarir dan tinggal di luar negeri? Disana mereka lebih dihargai dan diberi fasilitas untuk mengembangkan kreativitasnya, dimana kondisi tersebut sangat sulit terwujud di Indonesia. “Namun, jangan ditanya soal rasa nasionalisme mereka. Karena mereka berkontribusi besar dalam pembangunan bangsa ini”  ujar Zahidi.

Kemudian Zahidi mengambil contoh, pada tahun 2016 ini sejumlah diaspora Indonesia yang tergabung dalam Tim Akademi Diaspora Indonesia USA, menjalankan program transformasi sistim pendidikan tinggi dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dengan Provinsi lain di Indonesia yang dipimpin oleh Ida Wenefrida Utomo, Profesor Bioteknologi di Lousiana State University. Begitu juga dengan para diaspora Indonesia di luar negeri selain di AS. Apa yang mereka lakukan sebagai bentuk dari rasa nasionalisme (cinta tanah air) yang tinggi.

Adalah hal yang lumrah bagi sebuah negara dalam memberikan kebijakan khusus kepada para diaspora dalam era globalisasi ini. Karena tidak dapat dipungkiri peran diaspora dalam memajukan Tanah Air sangatlah penting. Seperti Pakistan, India, Bangladesh, serta Filipina mengeluarkan berbagai kebijakan khusus kepada para diasporanya sehingga mereka dapat berkontribusi pada peningkatan Gross National Product negaranya.

Mengutip pernyataan Dino Patti Djalal (Chairman IDN Global), “Kebijakan tersebut dapat menjadi jalan pulang bagi para diaspora Indonesia untuk memajukan pembangunan, terutama untuk meningkatkan daya saing bagi Indonesia di tingkat global”.

Sejalan dengan itu, perlu adanya revisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang masih tidak mengakui Dwi kewarganegaraan. Menurut pernyataan ketua DPR, Ade Kommarudin beberapa saat setelah mengikuti Upacara HUT RI ke-71 di Istana Negara mengatakan, “Ada peluang untuk merevisi UU Kewarganegaraan menjadi program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini”. Undang-Undang nomor 12 tahun 2006, saat ini masih dalam perdebatan dan menjadi hal yang lumrah jika menimbulkan pro dan kontra.

Ada atau tidaknya revisi UU tentang Kewarganegaraan bukan menjadi permasalahan. Yang penting pemikiran dan upaya serta sumbangsih para diaspora Indonesia dapat diterima oleh bangsa ini sebagai wujud nyata rasa nasionalisme mereka. (Yan-Jatim)