(roadshow EMPU oleh Putu Wijaya
& Teater Mandiri)

Tak hanya amarah, tangisan, juga nyanyian kesedihan masih saja berkumandang. Semua menyatu, menjadi sangat umum di hampir setiap pelosok negeri ini. Persoalan demi persoalan, seolah tak lekang membelenggu “kebebasan” yang terkadang harus dibayar dengan darah bahkan kematian. Padahal negeri dimerdekakan 65 tahun silam.


Benarkah kita sudah merdeka?

Derita yang berkepanjangan. Harapan hampir sirna ditelan carut-marut tata kelola negeri yang semakin terpuruk didera berbagai persoalan: Politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, dan sebagainya, terus diterpa berbagai kendala. Segala bencana belum tuntas sampai ke akar-akarnya.

Apakah kita belum merdeka?

Selama lebih dari dua jam, berbagai persoalan itu kembali dihadirkan aktor Putu Wijaya dan  Teater Mandiri (Alung, Bei, Agung) dalam monolog “Empu”, yang digelar di Gedung Achmad  Yani, Magelang, di awal pekan Mei lalu. Mereka bermain dengan beragam metafor yang membuat penonton gelisah tersentil oleh permenungan. Tapi tak urung juga meletup geli dan tawa yang tersodok oleh gaya penampilan yang khas dan tangkas.

Dimulai dengan musikalisasi puisi Rendra – Sajak Suto Kepada Fatima – monolog “Empu” yang terinspirasi oleh kepergian WS. Rendra dan KH. Abdul Rahman Wahid atau Gus Dur, adalah sebuah renungan. Dua guru bangsa yang mewariskan kepada kita pikiran-pikiran yang masih sesuai di tengah jaman yang terus berubah. Utamanya seputar pluralisme. Bagaimana merayakan perbedaan dalam kebersamaan sejati di era keterbukaan dalam berbangsa dan bernegara. Kedua almarhum telah sama-sama mencoba melihat berbagai fenomena dari sudut pandang baru yang aktual dan segar.

Sebuah otokritik untuk mengentalkan kedewasaan bersikap. Agar bisa menjadi lebih peka terhadap lingkungan, tanggap menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di Bumi Pertiwi  Mengajak kita berani tampil di depan untuk mengatakan “tidaaaaak!” terhadap apa yang harus ditentang. Diakhiri dengan nyanyian bersama penonton: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Kita sudah merdeka. Tapi kemerdekaan kita dibatasi oleh kemerdekaan saudara-saudara di sekitar kita yang sama merdekanya dengan kita. “Jadi dalam kemerdekaan tak pernah ada merdeka yang bablas”. (pandhu)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35005

Untuk melihat Berita Indonesia / Seni lainnya,
Klik
di sini

Klik di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported
by :