Kabarinews, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengeluarkan sikap mengenai krisis kebocoran data 50 juta pengguna facebook. APJII menilai, krisis yang mendera facebook melibatkan Cambridge Analytica terkait upaya pemenangan Presiden Trump di Amerika Serikat itu harusnya bisa menjadi momentum mengevaluasi facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Selain itu perlu didorong bangkitnya media sosial yang dikreasi anak bangsa.

Kabid Hubungan Antar Lembaga APJII Tedi Supardi Muslih (kiri) dan Ahli Digital Forensik Rubi Alamsyah di Jakarta.

Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga  APJII, Tedi Supardi Muslih mengatakan, berdasarkan hasil survey lembaganya, jumlah pengguna internet di Indonesia di tahun 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa dari total 262 juta jiwa penduduk Indonesia. Kebanyakan dari jumlah itu menggunakan internet untuk berinteraksi di media sosial.

“Kebocoran data itu adalah momentum untuk mengevaluasi Facebook, apalagi Facebook juga mencatat sebagai pemilik Whatsapp dan Instagram. Sebaiknya ini juga sebagai momentum kebangkitan media sosial Indonesia, jangan sampai masyarakat Indonesia hanya jadi pengguna saja”, ujar Tedi Supardi Muslih dalam perbincangan dengan wartawan di Jakarta, Senin (02/04).

Pria yang akrab disapa Tedi ini selanjutnya memberi penjelasan, berdasarkan hasil riset lembaganya pada tahun 2017, pertumbuhan penestrasi internet di Indonesia sepanjang tahun 2017 menunjukkan, separuh pengguna teknologi internet adalah melenial sebesar 49,52 persen.

Pengguna internet bukan hanya dinikmati oleh yang berada di perkotaan lanjutnya, bila dianut berdasarkan wilayah, terungkap bahwa penestrasi pengguna internet terbesar ternyata berada di pulau Kalimantan, dengan penestrasi hingga 72 persen, jauh di atas pulau Jawa yang hanya mencapai 58 persen populasi penduduk.

“Ini berarti, ada akses yang relatif sama bagi melenial di seluruh Indonesia,” ucap Tedi.

Dengan jumlah pengguna internet sebanyak itu kata pria yang juga pemilik dan pendiri PC24 Group ini, Indonesia tercatat sebagai negara pengguna Facebook terbanyak ke-4 di dunia. Dengan potensi pelanggan sebanyak itu, harusnya bisa muncul media sosial Khas Indonesia.

“Kita tidak hanya menjadi konsumen saja,” ujar Tedi.

Menurutnya, Indonesia sebaiknya bisa mencontoh China yang bisa melaju di dunia internet dengan media sosial seperti Baidu, Weibo, dan Wechat.

Senada dengan Tedi, ahli Digital Forensik, Rubi Alamsyah menanggapi khusus kebocoran data Facebook itu sebagai pembelajaran mengenai pentingnya ke hati-hatian dan privasi di media sosial.

“Media sosial ini kita gunakan secara gratis, banyak manfaat yang kita dapat. Tapi sejak mendaftar dan instal, sering kali banyak orang yang lupa mengenai ke hati-hatian membagikan data-data yang bersifat pribadi,” tutur Rubi.

Lebih dalam Rubi menjelaskan, pengguna media sosial di Indonesia, masih perlu diedukasi mengenai pentingnya perlindungan data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga.

Di Amerika kesadaran mengenai privasi sudah sangat tinggi. Berbeda dengan di Indonesia, kita masih sangat rendah. Kita menggunakan media sosial sering kali kebablasan membagikan data yang bersifat pribadi secara sukarela “padahal itu penting”, tegas Rubi.

Di sini perlu dan penting adanya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. (Foto: dok. Ist)