Tak disangkal, Bali adalah surga. Surga bagi wisatawan lokal
dan mancanegara. Tapi jangan bayangkan Bali seperti 10 tahun lalu. Awal
April lalu, sebuah majalah Amerika membuat berita dengan judul yang
kurang lebih ; Bali, Pulau Neraka. Di situ juga ada foto sampah yang
menggunung di pantai Kuta.

Seperti itukah Bali kini? Masih bisakah disebut Pulau Dewata? Pulau
seribu Pura? Pura magis yang memelihara masyarakatnya dalam lingkup
spiritual yang kuat? Kini, berubahkah Bali?

‘Perjalanan’ Bali sebagai daerah pariwisata unggulan Indonesia memang
berliku. Berpuluh tahun, Bali menyandang pulau Dewata, tempat
dewa-dewa bertahta. Pulau yang menjadi magnet bagi pariwisata Indonesia.
Tahun 1996-1998 ketika kekacauan di Jakarta terjadi, Bali menjadi
salah satu tempat tujuan bagi orang Jakarta untuk memulai hidup baru.

Sekitar tahun 1998, harga tanah di Bali melambung tinggi. Pendatang
lokal dan asing berebut untuk membeli tanah di sana. Sejumlah kawasan
sempat menjadi tambang emas usaha properti. Di antaranya kawasan Kuta,
Nusa Dua, dan Kota Denpasar. Lahan yang terbatas menjadi rebutan
sehingga harga tanah di kawasan tersebut naik; sekitar Rp 350.000 per
meter hingga Rp 1 juta untuk wilayah pedesaan.

Tahun 2002 Bom Bali I meledak. Pasar terkoyak. Sebabnya, tentu tak sulit dicari: setelah bom meledak, pariwisata di sana drop.
Saat itu, kunjungan pelancong melorot drastis dari 7.000 orang menjadi
784 orang per hari. Pemasukan yang minim membuat masyarakat otomatis
lebih mementingkan perut daripada membeli tanah atau rumah.

Tiga tahun belum pulih, tahun 2005 Bom Bali II meledak. Terpuruk?
Ya, tapi Bali belajar dari bom pertama. Pengamanan ditingkatkan,
pemulihan dipercepat, investor diundang. Tahun 2006 pembangunan pesat di
pulau Dewata itu, kondotel dibangun, rumah toko (Ruko) yang 7 tahun
lalu kosong, kini penuh barang dagangan.

Harga tanah berangsur naik lagi. Per-are (100 meter persegi ) paling
murah seharga 98 juta sampai ratusan juta. Makin ke kota makin mahal.
Orang asing bisa saja memiliki atau menyewa tanah di sana melalui cara
penanaman modal asing (PMA)meski melalui
proses panjang dan berbelit. Misalnya, mereka harus mengantongi izin
dari Badan Koordinasi Penanaman Modal di Jakarta untuk membangun usaha
di Bali. Lalu, ada akta notaris perusahaan lokal yang isinya bisa
terdiri dari orang asing saja atau joint venture dengan orang lokal.

Surat pembebasan tanah yang ditandatangani Menteri Kehakiman juga
wajib dikantongi. Dengan menyewa, orang asing mendapat hak pakai hingga
75 tahun. Banyak yang memilih jalan ini. Kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang yang ingin berbisnis dan tak ingin dipusingkan oleh masalah
hukum di kemudian hari.

Sehingga tak heran, kini Bali padat . “Sekarang Bali penuh sekali,
panas dan tidak menyenangkan,” kata Gede Palgunadi, editor sebuah koran
lokal.

“Jangan bayangkan Bali seperti 20 atau 10 tahun lalu. Sekarang sampah
di mana-mana. Nggak ada bedanya dengan Bandung. Jalanan juga macet.
Sama saja dengan Jakarta,” katanya sambil menyebut, bahwa Bali tak punya
blueprint pengembangan.

Celakanya, investor lokal dan asing lebih tertarik menanamkan uangnya
hanya di 3 kabupaten di Bali Selatan, yaitu Denpasar, Badung dan
Gianyar. Tiga kabupaten itu adalah wajah Bali yang gempita; penuh pub,diskotik, club,
dan mal modern. Juga vila dan hotel berbintang. Di sana terletak Ubud,
Nusa Dua, Jimbaran, Gianyar dengan banyak sarana pariwisata lainnya. Itu
yang membuat Bali sekarang terlihat padat, tak teratur dan penuh
sampah.

Berbeda halnya dengan kabupaten lain; Jembrana, Tabanan, Singaraja,
Klungkung, Bangli dan Karangasem (Bali utara-Timur) Sedikit investor
yang mau menanamkan modalnya di 6 kabupaten ini. Alasannya, sarana dan
prasarana di lima wilayah ini tak mendukung. Padahal keindahan alam dan
pesona adat masyarkatnya juga amat mempesona.

Gubernur Bali yang mantan Kapolda Bali, Made Mangku Pastika tahun
lalu sudah melihat fenomena itu. Di tiga kabupaten Bali selatan
(Denpasar, Badung, Gianyar) Pastika mengeluarkan moratorium (penghentian
sementara) pembangunan hotel dan bangunan pariwisata lainnya sejak 5
Januari 2011 sampai 2015. Alasannya, sarana pariwisata di tiga kabupaten
itu sudah jenuh.
Tercatat dari total investasi senilai Rp 5,6 triliun pada 2010, lebih dari dua per tiganya terkonsentrasi di kawasan ini.

Tiga wilayah itu memang memiliki obyek wisata kelas dunia, semisal
Pantai Kuta, Sanur, dan Istana Tampak Siring. Masalahnya sekarang
wilayah selatan menanggung beban tata ruang, seperti kemacetan,
kepadatan penduduk, dan melonjaknya kebutuhan air bersih.

Pada akhir 2010, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata melakukan penelitian. Tercatat jumlah kamar
hotel, vila, dan pondok wisata mencapai 55 ribu unit atau tumbuh 19
persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 50 ribu unit di antaranya
ada di kawasan selatan. Badung 36 ribu kamar, Denpasar 10 ribu kamar,
dan Gianyar 4.000 kamar.

“Wilayah selatan memang sudah penuh,” kata Direktur Jenderal
Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
Firmansyah Rahim.

Bagi pemerintah Bali, padatnya bagian selatan jadi peluang untuk
mengalihkan investasi pariwisata ke kawasan Bali utara dan barat, yang
relatif sepi properti besar. Wilayah utara dan barat punya obyek wisata
tak kalah aduhai. Sebut saja Pantai Lovina, Tulamben dan Taman Nasional
Bali Barat. Ada juga Ashram Gedong Bagoes Oka untuk wisata spiritual.

“Moratorium di selatan diperlukan demi pemerataan dan keseimbangan Bali,” ujar Gubernur Bali.

Sayangnya, niat baik memeratakan pembangunan menimbulkan kontroversi.
Seluruh bupati di Bali selatan menentang dengan alasan hal itu akan
mengurangi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sikap
pelaku industri pariwisata juga terbelah. Asosiasi Biro Perjalanan
Wisata (Asita) Bali mendukung moratorium. Koordinator Asita Bali dan
Nusa Tenggara, Bagus Sudibya mengatakan tingkat hunian hotel di Bali
hanya 49 hingga 52 persen. Tingkat okupansi kamar hotel idealnya 75
persen. “Kelebihan pasokan kamar bisa menimbulkan persaingan tak sehat,”
ujarnya.

Sebaliknya, Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Bali,
Perry Markus cemas dengan moratorium. Penyebabnya, di wilayah utara dan
barat, jalan dan listrik belum memadai. Pembangunan hotel akan mubazir
bila ketersediaan infrastruktur transportasi dan energi minim.

“Seharusnya infrastruktur itu dulu dibangun, sebelum moratorium dilaksanakan,” ujarnya.

Bupati Gianyar, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati juga pusing.
Banyak investor mengancam akan hengkang dan memindahkan proyeknya ke
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Padahal, kata dia, di Bali selatan masih
banyak lokasi wisata potensial yang belum tergarap maksimal. “Jangan
sampai moratorium malah merugikan potensi daerah,” kata dia.

Bagaimanapun, konflik harus diselesaikan. Jika tidak, energi terserap
konflik dan pariwisata Bali tidak akan lebih baik dari Singapura ,
Malaysia atau Thailand.

Namun kita yakin, Bali tetap pada pesonanya yang membuat jutaan orang
datang. Pulau Surga , tempat dewa-dewa bertahta. Namun pembangunan
pariwisata Bali memang diharapkan merata. Sehingga wisatawan juga
mengenal tempat wisata penuh kesenangan di Bali selatan sampai tempat
wisata spiritual yang penuh ketenangan di Bali timur.(Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36853

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :