Cikeusik mendunia. Kota kecamatan yang berpenduduk 55 ribu jiwa, kini dikenal oleh para aktivis HAM di banyak negara. Reaksi tewasnya 3 orang anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Di mana dan bagaimana Cikeusik selama ini ?

Cikeusik, pesisir penghasil kelapa, berjarak 200 KM arah timur Jakarta. Termasuk kabupaten Pandeglang, Banten. Diapit Serang di utara dan Rangkasbitung di barat. Kecamatan ini memiliki pantai indah. Dia juga punya dua pulau. Pulau Tinjil dan Deli. Sebagian besar warganya adalah petani.

Meski pariwisata mulai banyak diusahakan di kawasan itu, penduduk tak pernah menikmati manisnya dunia pariwaisata. Kawasan Wisata Tanjung Lesung dan Pulau Umang, disukai banyak wisatawan. Warga pesisir Panimbang-Cikeusik-Cibaliung-Sumur tidak seperti warga Jimbaran – Bali yang menjual hasil tangkapan ikannya dengan harga mahal. Keuntungan bidang wisata hanya dinikmati oleh para investor dan penguasa yang menikmati upeti.

Sebagian besar anak mudanya, hanya jadi penonton. Mereka tak pernah menyiapkan diri atau tak pernah dipersiapkan untuk menikmati manisnya investasi di bidang ini. Jalan mulus dengan aspal baru saja mereka nikmati. Selama berpuluh tahun, mereka harus memakai jalan berlumpur.

Pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan hanya jadi isu jelang Pemilu atau Pemilukada (Pemilihan Umum Kabupaten dan Daerah). Dengan modal uang, para politisi atau calon kepala daerah mengekspoitasi penduduk daerah ini dengan bujukan uang. Bagi para pemilik uang, kemiskinan dan keterbelakangannya, justru menjadi keuntungan, karena bisa membeli suara dengan harga murah.

Jalur Panimbang-Cikeusik, Cibaliung-Sumur, meski berada di kawasan pedalaman Banten, adalah daerah yang ramai didatangi pendatang. Komposisi penduduknya beragam. Tak semua orang Pandeglang asli. Ada dari Cirebon, Serang hingga daerah lain. Dalam kondisi terbuka seperti itu, berbagai budaya masuk. Sejauh ini penduduk setempat cukup terbuka melihat keberagaman itu.

Namun rupanya, keberagaman itu berlaku pada budaya atau bahasa saja. Rasa toleransi itu hanya pada umat berbeda keyakinan untuk sekadar kesantunan. Toleransi tak berlaku dalam ritual. Itulah yang menjelaskan mengapa hingga kini, tak pernah ada gereja berdiri di Pandeglang. Jangankan gereja. Bioskop saja tak pernah ada. Menonton filmpun, harus pergi ke Serang atau Rangkasbitung.

Lelucon, sering dilontarkan pada daerah ini. Seorang kyai ditanya soal komposisi penduduk Pandeglang, “Alhamdulillah, warga Pandeglang mah 90 persen Islam”. “Yang lainnya kyai?”. “Yang sepuluh persennya, Muhamadiyah,” ujarnya. Orang tersenyum kecut mendengar lelucon ini.

Karena itu, reformasi dua belas tahun lalu, tak mampu merubah kawasan ini. Tokoh reformasi Amien Rais yang mencoba peruntungan dalam Pemilu 1999, jeblok di kawasan Pandeglang. Dalam dua pemilu ini, PAN (Partai Amanat Nasional) tak mampu menempatkan satu wakil pun di DPRD Banten dan Pusat dari daerah pemilihan Pandeglang. Untuk mengecilkan nama Amien dan PAN misalnya, cukup bilang kalau Amien yang menang, tak ada lagi tahlilan di daerah ini. Maka, masyarakatpun enggan memilih Amien Rais.

Warga sekitar Cikeusik, sangat marah ketika tahu ada Ahmadiyah di daerah ini. Penduduk, mungkin tak semuanya patuh dan menjalankan semua perintah dan menjauhi larangannya, namun mereka bisa sangat marah ketika seorang ustad atau kyai menyebut, kelompok ini telah menodai agamanya. Bahkan menyebutnya sesat. Bagi sebagian warga, keyakinan JAI bahwa masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Mirza Ghulam Ahmad dari India, adalah sesuatu yang tidak bisa mereka terima.

Tapi, kemarahan itu jauh melampaui rasio dan pemahaman, bahwa Allah tak pernah mengijinkan hambanya, menyakiti hambanya yang lain.”Negara agama pun tidak dibenarkan membunuh orang yang berbeda keyakinan,” kata akademisi Islam, Komaruddin Hidayat.

Lepas dari persoalan itu, seharusnya kematian 3 warga JAI juga tak perlu terjadi, jika polisi cepat tanggap dan memiliki intelijen yang bagus. Ketika Suparman, dimintai keterangan lalu dipindahkan dari Polsek Cikeusik ke Polres Pandeglang, seharusnya polisi menempatkan intelejen di kawasan ini. Sehingga adanya pergeseran umat JAI ke tempat ini, bahkan mengantisipasi datangnya ribuan orang yang akan datang menghabisi warga JAI dapat terdeteksi dengan mudah. Saat warga mengumpulkan massa yang begitu banyak, sebenarnya cukup bagi polisi untuk mengumpulkan anggota Dalmas (Pengendalian Masyarakat – Polisi) dari Pandeglang dan mengirimkan ke Cikeusik. Atau mendatangkannya dari Serang, tempat Polda Banten bermarkas. Hanya setengah jam bermobil. Kalau belum cukup juga, satu batalyon Kujang 320, berada di Cadasari, 5 km dari Pandeglang, juga bisa diminta bantuannya.

Ironisnya, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengakui pihaknya tidak mengetahui adanya pergerakan massa yang menyebabkan insiden penyerangan jamaah JAI di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Ini membuktikan sebagai sumber utama terjadinya insiden tersebut. JAI memang salah memilih tempat berlabuh di Pandeglang. Warga yang menyerang juga salah. Polisi juga begitu.

Jatuhnya korban memang menyedihkan, dan memalukan karena mereka meninggal ditangan saudaranya yang sama-sama meneriakkan Allahu Akbar. Terakhir, tak ada alasan sekuat apapun untuk membunuh, hanya karena beda keyakinan.

Untuk share atikel ini klik www.KabariNews.com/?36328

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :