Sebelum menjadi satu “Djiwa” mereka adalah individu yang berlainan, masing-masing punya ego dan ambisi. Perlu waktu dua tahun menjadikan mereka satu “Djiwa”, bukan hanya benturan tapi konflik menjadi makanan sehari-hari. Tapi mereka bertahan dan jadilah “Djiwa”.

Gomez (Vokal), Herdy (Gitar), Atho(Bass) Ipay (Keyboard) dan Ekky (Drum) adalah lima pemuda dengan talenta musik yang lahir dan tumbuh dari pentas kafe. Mereka kemudian “diambil” oleh wanita penggila musik Ira Nata Praja yang kebetulan berhasrat sekali mengorbitkan band baru. Sebelumnya, Ira Nata Praja sempat berkeliling ke kafe-kafe di Jakarta dan Bandung. Tapi akhirnya pilihan jatuh kepada mereka berlima melalui pertimbangan-pertimbangan yang hanya Ira saja yang tahu.

Kelimanya lalu diminta tinggal bersama di satu rumah yang di sediakan Ira. Di rumah itu juga mereka disediakan studio musik, dan diminta untuk membikin satu band. Praktis setiap hari kerja mereka cuma makan, tidur dan nge-band. Lucunya meski nge-band setiap hari, mereka belum punya nama band, untuk beberpa bulan pertama.

Konflik dan Friksi

Ira Nata Praja sempat memberi “ultimatum”. “Jika kalian tidak bisa duduk dan tinggal bersama dalam sebuah kesatuan, maka jangan pernah mimpi punya band besar.” Mereka juga diminta tidak memikirkan hal lain kecuali musik. Pokoknya tugas mereka hanya satu, bermusik dan bermusik.
Tinggal bersama dengan lima macam isi kepala berbeda tentu bukan hal yang mudah. Konflik dan friksi pasti sering terjadi, terutama dalam hal penciptaan musik. Apalagi, mereka berangkat dari latar belakang musik berbeda, sehingga yang namanya adu argumen dan debat, sudah seperti “vitamin” tambahan.

Sampai akhirnya salah satu anggota band tak mampu menjalani ujian, Ipay sang keyboardis terpaksa mundur karena berbagai alasan. “Salah satunya barangkali karena kita sering berantem ” kata Gomez terkekeh. Berantem maksudnya bukanlah secara fisik, tetapi adu argumen dan berdebat.
Soal adu argumen ini diamini oleh Ekky (Drum) “Setiap kita latihan, selalu ada selisih paham. Misal si Gomez pengen reff nya gini, si Ato pengen gini, sementara Herdy malah pengen begitu, pokoknya kadang bikin kita semua be-te!”timpal drummer berkepala plontos ini. Lain lagi kata Atho “Gimana gak berantem mulu, lima cowok dengan gaya masing-masing tinggal bersama, kebayang enggak sih kalau sudah berantem seperti apa?”.

Kepergian Ipay tidak membuat mereka patah semangat, tapi justru memunculkan tantangan baru. Berhubung mereka tidak mencari pengganti Ipay, mereka harus menyiasati dengan mengerahkan seluruh musikalitas mereka untuk menutupi kekosongan keyboard. Tetapi, karena keadaan, akhirnya mereka malah terbiasa nge-band tanpa iringan keyboard.

Lambat laun mereka mulai terbiasa dengan segala konflik. Mereka mulai menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing dan perlahan mereka mulai saling memahami.

Jadilah satu Djiwa

Nama “Djiwa” akhirnya dipilih sebagai nama band. Alasannya, selain mudah diingat, “Djiwa” mengandung makna yang dalam. “Jiwa adalah roh. Dan roh adalah yang membuat sesuatu menjadi hidup. Kami ingin menjadi jiwa atau roh semacam itu, ingin membuat sesuatu menjadi hidup lewat musik kami” papar Gomez sang Vokalis.

Sependapat dengan Gomez, Atho menimpali “Nama Djiwa juga menjadi satu penanda bahwa kita sudah satu Djiwa. Setelah dua tahun bersama, kami menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan kini”.
“Djiwa” mengusung aliran musik pop rock alternatif. Pilihan jenis musik ini didasarkan pada kenyataan, keempat anggota “Djiwa” suka aliran pop rock. Akhirnya setelah dua tahun, pada medio Juli lalu “Djiwa” merilis album pertama yang berlabel sama.

Album ini diproduksi Frogys Production dan Virgo Ramayana Record. Album yang berisi 12 lagu ciptaan sendiri ini, beberapa diantaranya tengah syuting video klip. Lagu yang mereka andalkan sebagai hits adalah “Asmara” dan “Jangan”.

Kerja keras itu kini telah berbuah. “Djiwa” dengan sabar dan berliku mengikuti lika-liku nasib. Sekarang mereka sudah bikin album, yang katanya bajakannya sudah ada dimana-mana. Tinggal menunggu, apakah nasib membawa mereka langsung pada popularitas? Yang jelas, segala sesuatu perlu ketekunan dan kesabaran. Dan “Djiwa” sudah melakukan itu (yayat)