KabariNews – Etalase tempat kue cokelat itu tidak terlalu luas, sekitar 0,5×1 meter. Seperti toko kue kebanyakan di Prefektur Kyoto, Jepang, ruang etalase yang terbuat dari kaca tampak menggoda. Kue-kue cokelat mungil yang dipajang sangat menggugah selera. Bagi orang Jepang, kue-kue buatan Yoshino Keiichi, 32,itu barangkali mirip kue cokelat kebanyakan. Namun bagi orang Indonesia, nama-nama kue cokelat yang tertera pada kertas pembungkus itu sangat familiar.

Sebut saja Chocolate Ratu, Chocolate Raja, Chocolate Kacang, Chocolate Kismis, Chocolate Karamel, dan Chocolate Jeruk. Selain huruf kanji, label harga 315 Yen, dan nama juga ditulis dengan bahasa Indonesia. Sangat familiar bukan? Ya, pembuat dan pemilik toko kue cokelat ini memang sedang mendedikasikan hidupnya untuk Indonesia, terutama Sulawesi.

Saat warga Indonesia diimbau mencintai produk dalam negeri, Yoshino telah membuktikan cintanya. Papan nama tokonya bertuliskan, “Dari K” Real Taste of Cacao. Di barisan paling bawah terdapat tulisan, ”We Love Sulawesi”. Di sampingnya terdapat logo kepala tokoh pewayangan Arjuna.

Siapakah Yoshino Keiichi? Dia bukan pemuda Jepang sembarangan. Pemuda asli Kota Kyoto ini merupakan alumni universitas terkenal di dunia.

Yoshino mengawali kuliahnya di Keio University, Tokyo, kemudian melanjutkan kuliah di National University of Singapore. Selanjutnya mengambil master di Kyoto University, dan Oxford University, Inggris. Sederet prestasi mentereng itu mengantarkanYoshino pada karier yang cemerlang. Dia pernah menjabat konsultan keuangan di perusahaan investasi, Morgan Stanley. Karier Yoshino juga sempat mampir di Speedwell (Hedge Fund).

Ada apa pindah profesi? ”Saya selalu gelisah saat memandang layar komputer stock market. Di dalam layar itu, yang selalu saya lihat adalah komoditas kakao,” tutur Yoshino. ”Harga kakao dari Indonesia ini saya amati terus dan ternyata harganya naik terus-menerus selama empat tahun terakhir,” ujar pemuda ini. Kegelisahan ini membawa Yoshino terbang ke Manado, Sulawesi Selatan, awal 2010.

Dia menemui seorang temannya. Dari sini, petualangan Yoshino dimulai. Dengan diantar temannya, Yoshino masuk ke sentra kakao di kawasan Luwu, Sulawesi Selatan. Dia bertemu para petani untuk melakukan survei. Hasilnya sungguh mencengangkan. ”Saat di Luwu, saya menemukan petani tidak memperoleh hasil maksimal dari harga kakao yang sedang naik,” tutur Yoshino dengan gaya bahasa campuran, Inggris dan Indonesia. Pulang dari Indonesia, Yoshino semakin gelisah.

Ada banyak angan-angan yang membuatnya semakin jatuh cinta dengan Sulawesi. Dia ingin melatih petani tentang fermentasi kakao. Pertengahan 2010, Yoshino memilih membuka toko
cokelat dan meninggalkan pekerjaan sebagai konsultan keuangan. ”Ini toko saya.Saya mengambil bahan bakunya dari importir kakao di Sulawesi Selatan,” ungkapnya.

Jika dibandingkan kakao dari Pantai Gading, Ghana, maupun Papua Nugini, kakao Sulawesi memiliki aroma yang sangat khas. Aroma ini yang dijadikan keunggulan cokelat buatan Yoshino. Untuk menjaga aroma kuenya, Yoshino memberi batas kedaluwarsa hingga maksimal tujuh hari. ”Dalam proses pembuatan cokelat, yang terpenting adalah fermentasi kakao.“ katanya.

Menurut Konjen RI di Osaka, Ibnu Hadi, di Jepang, para pencinta Indonesia tidak hanya Yoshino. Di Negeri Matahari Terbit, ada beberapa kelompok yang mendedikasikan diri kepada “Merah Putih”. Ada yang membuat kelompok pencinta gamelan jawa, hingga jatuh cinta dengan Pulau Bali. Jumlahnya lebih dari 10 kelompok. Mereka tersebar di berbagai penjuru Osaka, Kyoto, maupun daerah lain.”Yang kami lakukan adalah membina hubungan baik dengan kelompok- kelompok pencinta Indonesia ini,” ujar Ibnu Hadi.