Belajar akan menemukan maknanya, jika kita menemukan keasyikan di dalamnya, maka carilah keasyikannya itu (Prof Dr.Arief Rahman)

Jaman berlalu cepat. Kompetisi ketat menunggu di depan mata. Siapa yang bodoh akan tergilas. Keadaan jaman yang demikian ditanggapi bak kiamat oleh para orangtua. Mereka berlomba-lomba memasukan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga belajar yang katanya mampu menyulap anak bodoh menjadi pintar dalam sekejap, tring ! Hebat nian

Crash program atau program potong kompas macam ini sedang marak di Jakarta. Terutama menjelang Ujian Nasional (UN), lembaga-lembaga belajar itu berani pasang iklan, ikut Bimbel (Bimbingan Belajar) anu dan itu dijamin lulus Ujian Nasional (UN) seratus persen.

Lupakah mereka bahwa lulus atau tidaknya siswa bergantung dari siswa itu sendiri. Contohnya, bisa saja siswa mengalami tekanan psikologis saat mengerjakan soal ujian kendati soal-soal tersebut sering dilahapnya di kelas Bimbel. Ketika siswa benar-benar tidak lulus, mereka kemudian berdalih dengan bermacam alasan. Sebelum memasukan anak ke dalam crash program(jangka pendek dan mendadak) semacam ini, sebaiknya orangtua memikirkan masak-masak. Pendidikan terbaik yang bisa diberikan adalah dari sekolah dan keluarga. Terapkan disiplin dan kembangkan nilai-nilai positif dalam proses belajar kepada mereka, itu yang penting.

Masyarakat Yang Panik

Banyak bimbingan belajar atau kursus yang mengklaim mampu mencetak anak pintar yang jago matematika. Sebenarnya pentingkah hal tersebut ? Tidak juga. Soal bangga punya anak pintar tentu semua setuju, bahkan kepintaran mereka itu perlu diasah dan dikembangkan. Yang jadi soal, stereotip pintar menjadi demikian sempit dan dangkal. Secara sadar atau tidak, banyak orangtua yang terjebak dogma, anak saya pintar karena jago matematika.

Padahal, tengoklah bagaimana lembaga-lembaga kursus atau bimbel tersebut ‘mencetak’ siswa-siswa pintar. Adakah nilai lebih yang diajarkan ? Nihil. Siswa datang, kerjakan soal, selesai, lalu pulang dengan membawa setumpuk pekerjaan rumah.

Sebenarnya ada apa dibalik fenomena ini ? Kepanikan masyarakat terhadap kemajuan jaman sebenarnya sangat menggejala di dunia pendidikan. Takut anaknya dicap bodoh, takut anaknya tidak lulus ujian, takut dianggap ketinggalan jaman jika anaknya tidak ikut Bimbel. Semuanya adalah pertanda jelas. Pendidikan telah mengalami pergeseran nilai.

Atau bisa jadi ini adalah bentuk lain dari ketidakpercayaan orangtua terhadap kemampuan anak sehingga perlu menambah jam pelajaran mereka ?

Salah Siapa ?

Dalam situasi kekinian, pendidikan telah tereduksi demi mengejar jaman yang berlari. Tereduksi dalam cara-cara instant. Secara langsung dan nyata, ini adalah buah dari kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak jelas dalam sektor pendidikan.

Kebijakan Ujian Nasional yang menerapkan sistem standar nilai secara merata, sungguh menihilkan usaha siswa yang berjuang keras belajar selama bertahun-tahun di bangku sekolah. Bayangkan, seorang siswa bisa tidak lulus sekolah hanya karena nilai matematikanya 3, padahal mata pelajaran lain nilainya memuaskan.

Akibatnya, masyarakat panik dan melupakan nilai-nilai luhur pendidikan. Mereka lalu menitipkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga kursus atau Bimbel. Jika terus berlangsung, bisa jadi muncul skeptisme. Tidak usah rajin-rajin belajar, cukup belajar giat menjelang ujian nasional dan fokus pada mata pelajaran yang diujikan, toh yang dinilai cuma itu.(yayat)

Untuk Share Artikel ini, silakan Klik www.KabariNews.com/?2627

Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari Maret 2008 ( E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

April Insurance

Lebih dari 100 Perusahaan Asuransi di California

Klik www.ThinkApril.com atau telpon sekarang 1-800 281 6175