Rumah tempat tinggal keluarga Darsem
terletak di Kampung Trungtum Desa Patimban, Kecamatan Pusakanegara, Kabupaten
Subang, Jawa Barat kelihatan sangat sederhana. Februari lalu, kondisi rumah
tersebut tampak kumuh dan berdinding dari bilik bambu. Tapi, Mei lalu sudah
berubah. Dinding tak lagi terbuat dari bambu, tapi sudah ditembok dan
diperluas. Perubahan juga terjadi pada lantai. Jika sebelumnya lantai rumah
hanya dari semen, kini sudah dikeramik. Bahkan, kini sudah dipasang sumur pompa
air.

Seperti diberitakan, Darsem adalah TKI
perempuan di Arab Saudi yang menjadi terdakwa pembunuh majikannya yang berkebangsaan
Yaman. Dalam persidangan Darsem mengaku terpaksa membunuh karena akan diperkosa
majikannya. Kisah pilu perempuan 25 tahun itu mencuat pada 6 Mei 2009.

Ketika itu pengadilan di Riyadh, Arab Saudi,
langsung menjatuhkan vonis mati bagi Darsem. Hukuman yang bakal dijatuhkan
adalah pancung. Ketika vonis turun, pemerintah Indonesia menggandeng Lajna Al
Afwu (lembaga mediasi, Red) untuk mendapatkan maaf dari keluarga korban. Di
aturan Arab Saudi, hukum pancung memang bisa dibatalkan jika ahli waris korban
memberikan maaf bagi pembunuh. Beruntung bagi Darsem, keluarga tersebut
bersedia memaafkannya.

Syaratnya, Darsem harus membayar denda
atau diyat sebesar 2 juta Riyal atau setara dengan Rp 4,7 miliar. Uang sebesar
itu harus disiapkan keluarga Darsem maksimal enam bulan dari rencana
pelaksanaan hukum pancung. Jika tidak, perempuan itu harus merelakan nyawanya
kepada algojo. Rencananya, eksekusi dilakukan pada 7 Juli mendatang.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Muhaimin Iskandar pada kesempatan lain mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan
anggaran untuk membayar denda tersebut. Bahkan, kata Muhaimin, dana itu sudah
disetujui DPR. Rabu lalu(22/6), tim Kementrian Luar Negeri sudah berangkat ke
Arab Saudi untuk mengawal proses penyelesaian pembayaran tebusan itu.

Meski demikian, langkah pemerintah itu tak otomatis melegakan keluarga
Darsem. Mereka tetap saja khawatir. Apalagi, dalam kasus Ruyati, pemerintah
disebut kecolongan. ”Kami tetap khawatir dengan nasib Darsem,” kata Sawinah,
ibu kandung Darsem. Ketika diberi tahu bahwa pemerintah akan membayar denda
untuk Darsem, wajah perempuan 55 tahun itu biasa saja.

”Saya tetap belum percaya, karena sampai
sekarang belum ada (wakil dari pemerintah) yang datang ke sini untuk memberi
tahu,” paparnya. ”Tapi, kalau memang betul pemerintah mau membebaskan Darsem,
saya ucapkan terima kasih,” lanjutnya.

Ketika Darsem berangkat ke Arab Saudi
dia meninggalkan Syafi’i, anaknya yang baru berumur 9 bulan. ”Kasihan anaknya. Dia terus bertanya kapan
ibunya pulang. Dia tak tahu wajah ibunya. Kalau ditanya, dia ingin dicium
ibunya,” paparnya. Sifat Syafi’i, menurut Sawinah, persis dengan ibunya, pemalu
dan penurut.

Sawinah mengaku, kasus Ruyati yang telah
dihukum pancung membuatnya resah. Dia sangat khawatir hal itu juga terjadi pada
Darsem. ”Karena itu, sejak kasus Ruyati ramai, tiap malam saya menangisi anak
saya. Saya pun sampai tak berani nonton TV,” paparnya sambil terisak.

Di mata Sawinah, Darsem adalah anak yang
sangat berbakti. Darsem hanyalah tamatan kelas 5 SD. Ketika orang tuanya tak
mampu menyekolahkannya, dia tak protes, tapi langsung mencari pekerjaan. Darsem
lalu menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta. Namun, karena alasan tidak
betah, dia memutuskan kembali ke kampung halaman dan bekerja seadanya.
Hari-hari Darsem dihabiskan untuk membantu membelah ikan yang dibuat ikan asin.
Upahnya Rp 1.000 per kilogram dari pengepul ikan. Biasanya, dalam sehari Darsem
hanya mampu menyelesaikan 10 kilogram. Karena melihat perekonomian keluarga
yang sangat jauh dari cukup, Darsem memberanikan diri untuk berangkat ke Arab
Saudi menjadi TKI.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36938

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :