Bulan Agustus setahun lalu, seorang lelaki paruh baya mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
sebagai dosen tamu ilmu Komunikasi. Hari itu dia menerangkan mengenai
pentingnya memanfaatkan teknologi jejaring sosial dan betapa internet
telah mewarnai hidupnya. Nama dosen tamu hari itu ; Harry Van Yogya.

Kehadiran Harry Van Yogya di kuliah tersebut mengagetkan banyak
mahasiswa. Beberapa orang mengenalnya. “Biasa mangkal di jalan
Prawirotaman, Yogya,“ bisik seorang mahasiswa kepada temannya. Dia bukan
doktor, bukan pula lulusan pasca Universitas terkenal. Yang mengajar
hari itu adalah seorang tukang becak.

Siapa sangka, seorang tukang becak bisa berdiri di depan mimbar
kuliah umum dan menceritakan pengalamannya menggunakan jejaring sosial
untuk meningkatkan penghasilan sebagai seorang tukang becak? Harry
adalah sosok tukang becak yang cerdas. Dia berhasil menggaet begitu
banyak pelanggan turis asing dan selalu berkomunikasi dengannya lewat facebook, twitter dan email.

Lelaki asal Bantul ini memang bukan tukang becak biasa. Kesehariannya tak lepas dari benda elektronik seperti handphone
dan laptop. Awal 2010, beberapa media nasional telah memamerkan lelaki
ini sebagai tukang becak yang melek teknologi. Bila tak ada penumpang,
dia menulis pengalaman dan pemikirannya di sebuah laptop. Kini bukunya berjudul The Becak Way, Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek menjadi salah satu buku terlaris di Indonesia.

Ingin Mengubah Nasib

Lahir dan besar di Yogyakarta, 43 tahun lalu. Tukang becak bernama lengkap Blasius Haryadi ini sempat bersekolah di SMA
Kolese de Britto dan Fakultas Matematika Universitas Sanata Dharma
Yogya sampai semester 4. “Saya berhenti kuliah karena tak punya uang
lagi untuk kuliah. Saya menjadi tukang becak sejak 20 tahun lalu,”
katanya.

Harry dibekali otak yang cerdas. Pengalamannya membawa wisatawan
asing membuat Harry cepat belajar bahasa asing. Dia menguasai bahasa
Inggris dan Belanda. Dari wisatawan asing juga dia mengenal internet. “Tahun 1996 saya diajak seorang wisatawan asing ke warung internet dan diajari membuat email,” katanya. Sejak itulah dia akrab dengan internet dan jejaring sosial. Dia rajin membuka apapun. Mulai dari Friendster, Flixter, Hi5, Tagged, Yahoo Massenger, Facebook dan Twitter.

Setelah memiliki akun di jejaring sosial, Harry mulai berfikir untuk
memanfaatkannya untuk menarik wisatawan asing ke Yogyakarta. Apalagi dia
sudah cukup fasih berbahasa Inggris. Selain mempromosikan Yogya dia
menarik wisatawan asing yang ingin memesan becaknya lewat internet.

Merasa memiliki banyak pengalaman menarik sebagai tukang becak dia membuat blog.
Dia menulis pengalaman pribadinya selama menjadi tukang becak. Salah
satu tulisannya berjudul ‘Jejaring Sosial di Mata Tukang Becak’ dimuat
di sebuah media cetak terbitan Jakarta 18 Februari 2010.

Berawal dari situlah Harry mulai rajin dalam bidang tulis menulis. Laptop pemberian Rektor SMA Kolese de Britto Yogyakarta menjadi alatnya sehari-hari. Tapi dia tetap menjadi tukang becak.

Suatu hari dia berbincang-bincang dengan seorang penulis yang dengan
sabar mendengar curahan hati Harry. “Saya harus berjuang membesarkan 3
anak saya. Sudah sepuluh tahun saya jadi tukang becak. Tak ada yang
berubah. Saya ingin mengubah nasib. Saya ingin menulis buku. Tetapi,
mana ada penerbit yang mau dengan saya yang hanya tukang becak?” kata
Harry malam itu kepada Sonny, sang penulis.

Tak disangka, Sonny menawarkan bantuan. Dia mengajak Harry berkenalan dengan Bambang Trim, General Manager
buku umum di penerbit Tiga Serangkai. “Tiba-tiba saja semua dimudahkan
dan lancar. Sejak Nopember 2010, saya mulai membuat buku saya itu,“ kata
Harry. Bulan Mei 2011, Harry meluncurkan bukunya di Goethe Institute Jakarta.

Buku itu banyak menceritakan perjuangan Harry dan becaknya dalam
menyikapi hidup. Dia adalah seorang tukang becak apa adanya. Hidup
dengan kerja keras, membanting tulang hingga rasa lelah. Cucuran
keringat tanpa henti adalah penampilannya setiap hari. Kebersahajaan,
keberanian dan ketulusan dalam menjalani hidup adalah modal penting bagi
manusia untuk berusaha. Harry mencoba menuliskan sebuah semangat kecil.
Lewat buku yang ia tulis, ia sedang mencoba menyapa siapa saja untuk
selalu memberi perhatian terhadap Yogya. Lewat becak, kejujuran,
kesederhanaan dan jejaring sosial. Lewat menulis dan semangat untuk
berbuat yang lebih baik.

Harry juga telah membuka mata orang lain secara pribadi, bahwa ia manusia yang sederhana. Lewat status-status di Facebook
dan jejaring sosial lainnya. Tercermin dalam komentar dan pengakuan
lugu. Betapa kehidupan tukang becak yang setiap kali mendapatkan
penumpang, adalah tragic comedy untuk kita.

Terhadap buku yang dihasilkannya, dia berpendapat “Buku ini sukses
karena saya seorang tukang becak. Coba kalau saya bukan tukang becak,
mungkin ini hanya buku biasa yang berisi curhatan (curahan hati, red),”
katanya. Saat ini dia juga banyak mendapat undangan menjadi pembicara di
beberapa seminar.

Meski tak ingin berganti profesi, namun Harry ingin terus berkarya
untuk mendapat penghasilan tambahan. Karena penghasilannya sebagai
tukang becak memang sering tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Harry memiliki 3 orang anak, sedangkan istrinya telah
meninggal saat gempa Yogya 2006 lalu.

Buku ini memang berdampak buat dia. Banyak tukang becak yang tak
senang Harry tetap menarik becak. “Banyak teman sesama tukang becak
mengira saya punya pendapatan yang banyak dari buku ini. Padahal mereka
tidak tahu pemasukan saya ya biasa-biasa saja,” katanya.

Namun apapun pandangan orang, Harry telah membuka tabir betapa
pentingnya jejaring sosial dan teknologi agar bisa berguna membantu
siapa saja mendapatkan teman, jejaring, persahabatan, cinta dan
pekerjaan. Harry van Yogya telah membuktikannya di tingkat paling
sederhana. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37129

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :