Disaat kita terlelap dengan mimpi indah di malam hari, orang-orang ini justru sibuk mencumbu malam.
Taman
lawang, Sabtu, pukul setengah satu dinihari terasa dingin. Trotoar
jalan membisu. Jalanan lengang. Bulan malu-malu menyembul dari balik
awan. Ira, sebut saja demikian, sibuk merapikan make-upnya. Sesekali ia
menarik roknya jika ada mobil yang lewat, tak lupa senyum dilempar
sambil sedikit pamer (maaf) paha. Malam itu Ira belum dapat ‘pelanggan’
sama sekali. “Wuiih, emang enak pamer paha sama dada tapi gak ada yang
nawar!” kata Ira seolah mencibir diri sendiri.
Ira lalu mengeluarkan sebungkus rokok mild dan menghisapnya sebatang. Ia menarik nafas panjang. Ada makna tersirat dari helaan nafasnya. Tapi entah apa artinya.
Kulit
Ira termasuk putih mulus, tubuhnya sintal, dadanya penuh, wajahnya
berbentuk oval dan hidungnya mancung karena silikon. Tak ada lagi bulu
di betis mulusnya. Bulu? Betul, dulu Ira adalah seorang pria bernama
Suwarno. Suwarno dulu adalah pria kemayu. Suwarno dulu sering diejek
dan dikatai banci. Suwarno dulu adalah seorang pria pengecut! demikian
Ira mulai bertutur. “Saya akhirnya lebih memilih menjadi Ira daripada
menjadi Suwarno, buat apa maksa jadi lelaki kalau dalam hati kecil saya
adalah perempuan?” gugat Ira.
“Ketika menjadi Suwarno, saya memang
penakut dan pengecut, ya gimana yah..badannya aja laki-laki tapi
hatinya sih perempuan, jadi mending jadi perempuan sekalian kan?” tanya
Ira tanpa perlu dijawab. Dengan menjadi ‘Ira’ ketimbang menjadi
‘Suwarno’, Ira merasa lebih percaya diri dan menemukan jati diri yang
sesungguhnya.
Ira sudah hampir 4 tahun berada di Taman Lawang, ia
mengaku terpaksa berada di sana karena kebutuhan ekonomi, “Enggak ada
pekerjaan untuk waria mas, paling banter jadi perias atau pegawai
salon, itu juga harus punya keahlian dan perlengkapan yang cukup.” ujar
Ira sambil menghisap rokoknya.
Ira tinggal di Jatinegara bersama
teman-teman warianya. Tujuh tahun lalu pergi ke Jakarta dari kampungnya
di Temanggung. “Terus terang, keluarga saya sampai sekarang belum bisa
menerima keadaan saya.” katanya datar saja. Tampak sekali ia tak ingin
terlihat sedih. Bahkan terkadang pertanyaan Kabari dijawab dengan
candaan ringan.

Sementara malam semakin larut. Kendaraan
yang berseliweran mulai sepi. Taman Lawang hanyut dalam keremangan.
Kemudian beberapa kawan Ira datang menghampiri. Mereka, Susi, Dian, dan
Yolanda
akhirnya ikut nimbrung bersama kami. Yolanda bercerita
kalau siang hari ia mengajar tari anak-anak. Sementara Susi bercerita
sedang mengikuti kursus menjahit gratis yang diadakan sebuah LSM perempuan.
Mereka tampak bergembira dan senang ngerumpi bersama Kabari. Tapi soal mencari pelanggan, mereka tetap bersaing sehat.
Keberadaan
mereka di sana bukannya tanpa resiko. dikejar-kejar petugas Trantib
(Ketentraman dan Ketertiban) sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan
tidak jarang mereka terpaksa menceburkan diri ke kali atau bersembunyi
di selokan hanya demi menghindari razia.
“Wah saya sering banget Mas dikejar-kejar PP (Polisi
Pamong Praja), Pokoknya kalau mereka datang kita ngumpet dimana aja
deh. Ngumpet di balik pohon, di got, malah saya pernah sampai nyebur ke
kali di depan situ. Udah beberapa kali saya ketangkep, untung saja
temen-temen suka bantuin nebus saya agar bisa keluar, biasa Mas,
Ujung-ujungnya mereka minta duit.” ujar Dian disambut tawa yang lain.
“Ya iyalah masa ya iya dong..!” kata Yolanda menimpali sambil tertawa.
Jika
mereka tertangkap biasanya mereka dibawa ke pusat rehabilitasi sosial
Kedoya, Jakarta Barat. Di sana mereka akan di bina dan diberikan
pengarahan. “Ah dibina apaan, di Kedoya sama aja kayak dipenjara, mana
ada yang betah di sana Mas.” ujar Ira ketus.
Entah sejak kapan
kawasan Taman Lawang ini menjadi tempat mangkalnya para waria. Yang
jelas di sini setiap malam ada saja waria yang menjual jasa seks. Jika
malam Minggu, jumlahnya bisa mencapai puluhan orang. Para waria itu
berjejer ‘adu cantik’ dan ‘adu heboh’ demi menggaet pelanggan. Jika ada
satu mobil berhenti, satu atau waria akan segera menghampiri.
Selanjutnya mereka langsung masuk mobil jika ‘harga jasa’ disepakati.
“Sejujurnya
di sini termasuk kelas kambing Mas, harganya gak mahal-mahal amat, yah
bisa ditawarlah..” ujar Ira tanpa mau merinci berapa biaya sevice seks
yang mereka tawarkan. Taman Lawang semakin larut dan sepi. Seskali
hanya terdengar suara cekikikan para waria yang tengah bergurau. Angin
semilir semakin dingin menusuk. Dua bungkus rokok sudah tandas. Dini
hari sebentar lagi pergi. Ira masih belum juga dapat pelanggan. Tapi
wajahnya tetap terlihat tegar. Sampai kapan Ira begini? Ira hanya
menggeleng tak tahu.

Taman Lawang dengan segala
pernak-pernik didalamnya benar-benar menyihir. Menyihir dan membuat
kita terkesima, betapa ada sekelompok anak manusia yang demikian
‘gigihnya’ mencari sesuap nasi (arip/yayat)

Lihat video wawancaranya di www.KabariNews.com/?31889

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31851

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

BusLoan