Mayat atau boneka biasa digunakan mahasiswa fakultas kedokteran untuk belajar anatomi hingga operasi. Selain mahal, mayat sulit didapatkan. Kondisi itu mengilhami Sugeng Rianto untuk mengembangkan simulator bedah sebagai pengganti mayat.

Drs Sugeng Rianto, Msc PhD adalah dosen Fisika Medis-MIPA di Universitas Brawijaya. Sugeng mengganti mayat itu dengan layar komputer. Alat itu mulai dikembangkan pada tahun 2006 saat dia menyelesaikan studi S3 di Curtin University of Technology, Australia.

Alat itu terdiri dua bagian., Pertama satu set Personal Computer (PC) dengan dua layar LCD. Dua property berupa mouse dan haptic yang dibaratkan sebagai pisau bedah. Dengan sigap Sugeng memperagakan penemuannya itu.

Bayi yang baru lahir divisualisasikan pada layar komputer. Semacam pisau bedah pun tampak di layar. Sugeng memutar-mutar visualisasi bayi itu menggunakan mouse 3D (tiga dimensi). Mouse mirip pegangan tutup panci dikendalikan tangan kirinya. Sementara, visualisasi pisau bedah bisa digerakkan dengan haptic di tangan kanan. Haptic semacam mouse robot khusus virtual. Bentuknya mirip pena yang terhubung dengan lengan ke sebuah kotak motor listrik.

Perlahan, Sugeng membedah kulit bayi berwarna abu-abu tersebut. Pisau bedah bisa diarahkan sesuai keinginan. Sayatan demi sayatan pisau bedah itu tampak di layar monitor. Apa yang dia lakukan dengan pisau bedah itu ternyata juga terasa secara mekanik. Kekenyalan kulit, adanya kulit yang teriris, dan gesekan pisau bedah dengan kulit juga bisa dirasakan tangan kanannya yang memegang haptic.

Tekstur kulit itu membuat haptic tersendat, bergetar, dan tergesek. Nyaris mirip rasanya apabila tangan memegang langsung pisau bedah itu untuk mengiris. “Kalau sudah sempurna, kulitnya yang dibedah nanti mengeluarkan darah. Ada detail otot dan syarafnya juga tampak tulangnya,” ungkap bapak tujuh anak ini.

Sudah delapan tahun ini tahun ini Sugeng serius mengembangkan sebuah program aplikasi yang ia namakan bedah virtual. Dengan program aplikasi itu, membedah tubuh atau bagian tubuh manusia bisa dilakukan melalui tampilan layar komputer. Objeknya pun duplikat dari objek nyata. Hanya wujudnya berupa tampilan gambar tiga dimensi.

“Untuk membuat duplikat, bagian tubuh yang dibedah di CT-scan dulu. Setelah direkonstruksi dengan bahasa pemograman, nanti objek di layar komputer sama dengan objek sesungguhnya,” ungkap penemu alat seharga 40 juta ini.

Bedah virtual punya banyak keunggulan. Menurut Sugeng, bisa untuk latihan mahasiswa kedokteran dalam memahami anatomi tubuh. Mahasiswa tak lagi membutuhkan mayat untuk praktik anatomi. Saat ini mayat yang terlantar sudah sangat sulit didapat untuk praktik mahasiswa kedokteran. Ke depan, tak mungkin lagi mengandalkan mayat untuk praktik. “Penggunaan boneka manusia juga membutuhkan biaya besar. Setelah dibedah-bedah, boneka pun akhirnya tak bisa digunakan lagi,” ungkap dosen kelahiran 1969 ini.

Bagi dokter spesialis bedah, adanya program aplikasi bedah virtual juga bermanfaat bagi perencanaan pembedahan. Dokter bisa merencanakan pembedahan karena memiliki gambar tiga dimensi. Dokter tak lagi menduga-duga atau mengira-ngira lokasi pembedahan atau sasaran pembedahan.
“Dokter nanti sudah tidak lagi mengendalkan perkiraan. Sudah dibedah, eh.. kurang ke bawah sedikit. Setelah pisau diturunkan, ternyata kurang ke kiri sedikit. Kalau yang bedah mikro, bisa merusak semua jaringan kalau dokternya main perkiraan,” jelas dosen asli Kota Batu ini.

Menurutnya, gambar mendekati objek nyata, karena yang divisualisasikan juga dari objek nyata. Hasil CT-scan yang telah direkonstruksi memunculkan gambar tiga dimensi yang sama persis dengan aslinya. Rekonstruksi data menjadi gambar tiga dimensi menggunakan tiga buah bahasa program. Yakni C++, Python, dan VRML (virtual reality modelling languages).Tak hanya visualisasi yang sama persis, rasa terhadap tekstur gambar juga nyata. Dibuat persis seperti aslinya. Kulit terasa kenyal, otot agak kaku, dan tulang terasa keras. Semua itu bisa dirasakan lewat alat yang disebut haptic. “Kalau kekenyalan kulit digambar 3D sama dengan aslinya, tekanan pisau bedah juga sesuai. Tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal saat membedah,” katanya.

Ia serius belajar medical imaging science semenjak ia menuntut ilmu S3 di Curtin University Australia, awal 2000 lalu. Kebetulan disertasinya membuat sebuah program bedah virtual di daerah telinga. Bedah di telinga itu untuk memasang sebuah alat pendengaran mikro. Setelah berhasil mem-virtualkan sebuah kasus medis tersebut, dia tertarik memvirtualkan banyak kasus medis lainnya.

“Saat ini saya tengah memvirtualkan bedah arthroscopy di lutut seorang pasien. Kalau tanpa divirtualkan, sulit untuk menentukan jalan masuk ke lutut yang sakit,” kata anggota ICMI ini.

Ke depan, hasil penelitiannya diharapkan bisa menyumbang kemudahan bagi dunia medis di Malang bahkan di Indonesia. Di dunia, bedah virtual juga masih jarang. Setidaknya diketahui Sugeng dari keikutsertaannya dalam workshop medical imaging science di beberapa negara. Tapi dia mengaku sudah pernah mempresentasikan hasil temuannya ke beberapa universitas dan rumah sakit di Indonesia. Juga di Negara-negara seperti Perancis, Rusia dan Amerika Serikat. ” Saya yakin alat ini sangat dibutuhkan bagi dunia kedokteran dan pembelajaran kedokteran. Agar dokter bedah tak hanya mengandalkan insting dan perkiraan saja,” harap dosen yang punya bacaan favorit buku The Judgment Day (hari kiamat) ini.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36560

Untuk
melihat artikel Pendidikan lainnya, Klik
disini

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported
by :