Saat ini, tantangan perguruan tinggi maupun mahasiswa Indonesia makin ketat. Karena setelah lulus harus bersaing, bukan hanya dengan lulusan dalam negeri dan luar negeri, tetapi juga orang asing dari perguruan tinggi di luar negeri. Saat ini ada sekitar 2 juta sarjana menganggur.

Sekretaris Dewan Perguruan Tinggi pada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional, Nizam mengatakan bahwa adanya sarjana yang menganggur, maka perguruan tinggi maupun lulusannya jangan mengandalkan menjadi pegawai negeri sebagai tumpuan harapan. “Namun harus mampu dan mau kreatif menciptakan lapangan kerja bagi dirinya”, katanya mengutip Antara. Yang lebih mulia lagi, di tengah masih banyaknya pengangguran, sarjana harus mandiri, mampu, dan mau membuka lapangan kerja bagi dirinya dan bagi orang lain.

Saat ini memang banyak minat orang Indonesia menyekolahkan anaknya di luar negeri. Hal ini, perlu menjadi perhatian kalangan perguruan tinggi, terutama mengenai mutu penyelenggaraan pendidikan serta biaya yang harus dikeluarkan.

Nizam mengatakan, perguruan tinggi nasional, baik swasta maupun negeri harus memperhitungkan betul mutu dan biaya pendidikan. Selain itu, pendidikan tinggi harus memacu mahasiswanya untuk meningkatkan kualitas diri. “Sebab, sekarang lulus perguruan tinggi dari negara lain sudah banyak yang mencari lapangan kerja di Indonesia. Misalnya, dari India dan Vietnam sudah ada yang mencari pekerjaan di Indonesia,” katanya.

USD 500 juta pertahun untuk Pendidikan di Luar Negeri.

Menurut data Direktorat Pendidikan Tinggi, saat ini jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri ada sekitar 50.000 orang dengan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan mencapai USD500 juta per tahun.

Devisa negara sebesar itu melayang ke negara lain karena fasilitas pendidikan di Indonesia belum memadai. “Sedikitnya USD 500 juta devisa negara melayang ke negara- negara sebagai biaya 50.000 orang Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri dengan asumsi setiap kepala saja memerlukan minimal USD10.000,” ujar Nizam dalam diskusi “Pendidikan Tinggi: Untuk Komersialisasi atau Masyarakat” yang diselenggarakan Fraksi PKB di DPR, Jakarta, kemarin (6/4). Menurut Nizam, dana sebesar itu sebenarnya bisa diinvestasikan pemerintah untuk membangun perguruan tinggi-perguruan tinggi berkelas internasional.

Kalau pemerintah mau menginvestasikan dana sebesar itu untuk membangun perguruan tinggi di Indonesia, diyakini devisa negara yang sebesar itu dapat dihemat. Dunia pendidikan di Indonesia juga akan jauh lebih maju dari sekarang. Hal ini juga seharusnya perlu menjadi perhatian kalangan perguruan tinggi, terutama untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan.

Saat ini pelajar dan mahasiswa Indonesia tersebar di beberapa negara, antara lain Australia (10 ribu orang), Amerika Serikat (7 ribu), Jepang (2 ribu) dan Mesir (5 ribu). Adanya minat orang Indonesia menyekolahkan anaknya di luar negeri harusnya menjadi cambukan bagi perguruan tinggi di dalam negeri untuk meningkatkan kualitasnya.

Pasar kerja meminta Sarjana plus

Umumnya pasar kerja di Indonesia cenderung bersifat kaku. Mereka menerapkan aturan yang terlalu ketat menyangkut umur, indeks prestasi kumulatif dan ketrampilan penunjang. Meski demikian, beberapa perusahaan terutama di beberapa kota besar tak terlalu kaku dalam menerima pegawainya. Mereka cenderung menekankan pada ketrampilan penunjang, kreativitas dan integritas.

Hal ini dialami oleh Dino Mahesa Wardana. Sarjana teknik industri kelas internasional, Universitas Katolik Atmajaya-Yogyakarta. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) nya hanya berkisar 2,7. Ketika dia melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar dan terkenal di Indonesia, dia sempat grogi. “Saya harus bersaing dengan 2 kandidat lainya. IPK mereka sangat tinggi.  Berkisar antara 3, 6 dan 3,2′, katanya. Dua saingannya itu lulusan universitas dalam negeri juga. Perusahaan itu menerapkan syarat IPK minimal harus 3.0 untuk calon karyawannya.

Dalam wawancara dan tes, terungkap, meski Dino hanya ber IPK 2,7 tapi dia memiliki ketrampian plus. Misalnya bahasa Inggris, aktivis organisasi kemahasiswaan dan ketika mahasiswa, ia sangat mandiri. “Ketika mahasiswa, saya aktif di kegiatan mahasiswa dan membuka counter HP di sekitar Gejayan (Yogyakarta-red). Uang kost dan kebutuhan sehari-hari saya cukupi sendiri”, katanya.

Sedangkan dua mahasiswa lainnya, meski memiliki nilai akademik dan ketrampilan berbahasa Inggris yang baik, namun dalam psikotes, ada hal-hal terungkap yang tak sebaik lulusan universitas Atmajaya ini. Dia diterima di perusahaan besar itu. Ternyata, perusahaanlah yang harus menyesuaikan dengan persyaratan yang semula diajukan.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36584

Untuk melihat artikel Pendidikan lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :